Oleh: Anggarani Ahliah Citra
Bincang-bincang setelah makan malam menjadi hening. Hal ini jauh dari perkiraan Wibowo, ia tahu kedua orang tuanya memiliki pemikiran yang modern dan terbuka, itulah yang membuatnya berani mengenalkan Aleen--gadis Belanda--kekasihnya.
Pada awalnya acara makan malam berjalan dengan hangat. Asih--ibunda Wibowo telah menyiapkan hidangan khas Indonesia sesuai dengan permintaan darinya. Asih dan suaminya paham bahwa ini adalah makan malam berbeda dari yang lain. Karena putranya akan mengenalkan seorang putri cantik yang akan menjadi ibu dari cucu-cucu mereka. Tak ada masalah dengan rambut pirang, mata biru dan kulit pucat yang dimiliki gadis itu, tapi semua berbeda ketika sang gadis menyebutkan nama lengkapnya--Aleen Sarkies.
Hariyono--ayah Wibowo ikut menampakan raut wajah yang sulit diterka. Ia paham betul apa makna dari nama belakang gadis Belanda yang berada di hadapannya, nama yang berhasil memberikan warna kulit pucat pada istrinya dan juga mata abu-abu kebiruan pada Wibowo--putra satu-satunya.
Aleen mendaratkan pandangan secara bergantian pada ke tiga orang yang berada di hadapannya. Ia menarik napas panjang. Ia menyadari bahwa malam perkenalan ini tidak berjalan dengan lancar. Tatapan terakhir ia labuhkan pada sosok hitam manis yang telah berhasil memikat hatinya. Pandangan mereka bertemu, tapi tak ada sepatah kata yang keluar untuk mencairkan suasana.
Hariyono merangkul pundak Asih saat mereka berdiri di teras rumah untuk mengantar Wibowo dan Aleen masuk ke dalam mobil. Setelah mobil Wibowo melaju menembus malam kota Surabaya mengantar Aleen pulang, Hariyono mengajak Asih duduk di kursi teras. Ia tahu bagaimana perasaan istrinya saat ini, sekian lama nama itu menghantui diri Asih, membayangi setiap langkahnya, membuatnya bertahan dalam hidup yang penuh cemooh orang banyak, dan juga berusaha kokoh melindungi sebuah jiwa rapuh yang beberapa tahun lalu pergi meninggalkannya tapi tidak membawa serta dongeng yang selalu Asih dengar setiap malam menjelang tidur. Tidak. Itu bukan dongeng. Itu adalah kisah nyata tentang asal usul terciptanya Asih, kisah yang tak pernah tercatat dalam sejarah mana pun selain dalam catatan hidupnya. Kisah cinta antara dua insan yang terjebak dalam sebuah situasi antara kaum penjajah dan terjajah.
~O~
November 1945.
Desingan peluru terdengar jelas, kibaran bendera merah, putih dan biru di hotel Yamato membuat para pemuda marah. Indonesia telah merdeka! Hal itu akan dipertahankan hingga ajal menjemput.
“Penduduk marah, mereka mengira eik akan kembali merebut bangsamu, eik hanya ingin merebut kembali hotel milik keluarga ini dari tangan Nippon. Kita harus segera pergi.”
Seorang lelaki Belanda yang fasih berbahasa dengan logat Belanda berjalan cepat sambil menggandeng perempuan berkebaya dan bersanggul sederhana. Tak lama perempuan itu berhenti, menarik tangan dan mengatur napasnya yang terengah-engah.
“Eik tak pernah tertarik dengan politik, Lastri. Ikutlah ke negaraku.”
Perempuan itu menelan ludah. Ia tahu bahwa ia sangat mencintai lelaki yang telah menikahinya secara diam-diam. Tapi ia pun mencintai negerinya. Impian kemerdekaan telah terwujud, tapi kini akan direnggut paksa dengan kedatangan tentara sekutu. Para pemuda dan pelajar yang berada di lapangan depan hotel Yamato mulai berusaha masuk ke dalam hotel, karena ulah Mr. Ploegman yang tidak mengizinkan penurunan bendera dan mulai melakukan pengusiran.
“Aku tak akan ikut denganmu, Mr. Sarkeis!”
“Kowe jangan keras kepala Lastri. Kowe sedang mengandung anak eik.”
Beberapa pemuda telah berada di sekeliling mereka, peluru Tentara Sekutu pun mulai menghujani sekeliing membuat mereka otomatis berlindung.
“Pergilah!"
Lastri meminta lelaki Belanda itu segera pergi. Ia sulit memilih antara cinta kepada suami atau negaranya. Yang pasti ia tidak ingin melihat lelaki Belanda itu terluka, ia memaksa lelaki itu segera pergi sebelum suasana semakin kacau.
Pemuda yang berhasil memasuki hotel mulai melakukan perlawanan terhadap Tentara Sekutu yang berjaga-jaga, perkelahian pun terjadi. Lastri yang bekerja sebagai karyawan hotel Yamato berhasil keluar dengan cepat karena ia mengenal hotel itu luar dalam.
Lastri teringat mata abu-abu kebiruan milik suaminya yang ia lihat terakhir kali saat berada di dalam hotel, mata yang penuh pesona saat menatap, yang selalu memperlakukan dengan hangat dan tidak menganggap Lastri seperti karyawan hotel yang bekerja, lelaki yang berhasil membuat Lastri jatuh cinta dan melanggar semua adat yang berlaku dengan menikah. Suasana tidak terkendali membuaat mereka terpisah. Lastri hanya berharap suaminya berhasil lolos dari kekacauan tersebut.
Sambil memegang perut, Lastri berhasil keluar jauh menembus kekacauan, memandang pertikaian yang terjadi di hotel Yamato, sebuah perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang baru saja berkumandang melalui proklamasi bulan Agustus lalu. Proklamasi telah menabur semangat dan kebahagiaan wajib dipertahankan selamanya, bukan hanya bertahan selama dua bulan seperti saat ini, seluruh Bangsa Indonesia pasti rela menumpahkan darah untuk itu. Seperti halnya tiga orang pemuda yang telah berhasil memanjat tiang bendera tiga warna yang tengah berkibar, bendera tiga warna itu diturunkan, dirobek warna birunya hingga Dwiwarna tercipta dan mereka kibarkan.
“Merdeka!”
Pekik para pemuda yang memadati lapangan Tambaksari. Tangan kanan Lastri pun ikut mengepal ke atas dan berteriak sekeras-kerasnya, sedang tangan kirinya mengusap pelan perut yang mulai mengeluarkan suara detak jantung penuh semangat. Lastri bertekad akan selalu mempertahankan kemerdekaan dan juga benih detak jantung yang kini berada dalam rahimnya.
~O~
Asih mengusap air mata, ia kembali menangkap kesedihan yang selama ini dirasakan bersama ibundanya yang telah pergi. Masih terlintas jelas dalam ingatan bagaimana bertahan hidup melewati masa-masa setelah kemerdekaan, mendengarkan kisah cinta yang tak akan pernah dipahami oleh orang lain, kisah cinta milik sang ibunda yang rela terpisah demi negara. Masih melekat pula ingatan tentang cemoohan yang menyebut dirinya pengkhianat sedari kecil, melewati masa remaja, mengalami masa lajang yang panjang hingga akhirnya ia bertemu dengan Hariyono saat memasuki usia awal empat puluh, tak mudah menyakinkan dirinya sendiri untuk menerima pinangan saat itu, karena ia takut kalau Hariyono akan ikut dicemooh seperti dirinya yang merupakan putri dari Lastri--istri simpanan seorang kompeni Belanda.
Deru mesin mobil tak lama memasuki halaman rumah, Asih dan Hariyono masih duduk di teras. Setelah mengucapkan salam, Wibowo mencium punggung tangan kedua orang tuanya lalu berkata dengan lunglai,
“Aleen titip salam untuk Ayah dan Ibu. Besok ia akan kembali ke Belanda."
>
>
0 Response to "Di Balik Dinding Yamato"
Post a Comment
Tinggalkan jejakmu di sini :)
Maaf, mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar. Thanks.