Repost dari blog lama.
FIKSI: PUSARAN CINTA
Penulis: Anggarani Ahliah Citra
Suhu badan Ibu tak kunjung normal, hanya alunan zikir yang terdengar lirih dari bibirnya. Tak ada perubahan, walaupun telah minum obat dari puskesmas di dekat perkampungan kumuh jatinegara ini. Alya, adikku terus menemani sambil mengompres dahi Ibu.
"Ibu ... Ibu ..., kenapa?"
"Tenanglah, Raihan. Yang harus kita lakukan adalah berdo'a agar ibu cepat sembuh." Kucoba menenangkan si bungsu.
Alya mengganti air kompres yang sudah mulai dingin, tanpa suara, namun terlihat jelas butiran - butiran bening berjatuhan dari sudut mata anak pendiam itu, sifatnya tak jauh berbeda denganku. Beban kehidupan keluarga membuat kami tidak bisa ceria seperti anak-anak seusia lainnya.
Ibu harus di bawa ke rumah sakit, tapi bagaimana caranya?
Tak ada kendaraan, sudah terlalu larut jika aku harus membangunkan tetangga.
Bagaimana juga dengan biayanya?
Ya Allah, kepada siapa aku meminta tolong?
Bapak dan Ibu Sasongko?
Tak mungkin.
Aku ingat sekali, begitu marahnya Pak Sasongko saat menagih uang sewa kamar yang telat 1 bulan, padahal waktu itu belum genap 40 hari kepergian Bapak. Tetapi, Pak Sasongko tak peduli, bahkan mengancam akan mengusir bila tak melunasinya.
"Ya, Allah. Jangan tinggalkan kami di saat seperti ini."
Aku segera mengambil wudhu untuk tahajud berharap pertolongan-Nya, semoga ada jalan keluar terbaik bagi kami.
"Tahajud dulu, Alya, doakan Ibu. Biar Kak Rizki yang mengompres Ibu."
Kugantikan Alya mengompres Ibu, sambil melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Raihan tertidur pulas di lantai karena lelah menangis, akupun meminta Alya tidur saat ia selesai tahajud.
Adzan subuh terdengar, Alya dan Raihan bangun dari tidurnya. Ibu bertayamum, melakukan sholat di tempat tidur. Setelah kami berwudhu, kugandeng Raihan ke Masjid. Mengiba, berharap pertolongan-Nya.
**
Pagi ini, ibu terlihat lebih segar, syukurlah. Kuputuskan tidak masuk sekolah, biarlah Alya dan Raihan yang berangkat karena sekolah mereka dekat rumah.
"Terima kasih, Rizki. Kau telah menjaga Ibu," Ibu tersenyum cantik.
"Dunia ini sementara, sedang akhirat selama-lamanya. Dalam keadaan susah atau senang, kau harus mengingat hal itu. Dan, dalam kesulitan pasti ada kemudahan. Itu janji Allah, Nak.
Yakinlah.
Tanamkan selalu dalam hatimu. Kau anak laki-laki yang kuat, jagalah kedua adikmu."
Ibu berkata sambil membelai rambutku yang duduk di tepi kiri ranjang, aku membalas dengan senyuman dan berusaha menahan agar kesedihan tak menetes dari mata ini. Setelah itu, kulihat Ibu meletakkan tangan kanannya di atas paha dengan posisi jari menunjuk.
"Asyhadu an-Laa Ilaaha Illallah wa Asyhadu an-Na Muhammadarrosuululloh." Ibu menutup matanya.
"Innalillahi wa inna ilaihiroji'un."
Kutahan kesedihan yang menusuk ini dengan merapatkan rahang dan mengepalkan tangan. Karena, aku adalah anak laki-laki yang kuat.
Jangan sampai air mata ini menetes mengiring kepergian Ibu yang hanya berbeda 6 bulan setelah Bapak.
Ibu pasti bahagia berkumpul kembali dengan Bapak di sana.
Apa jadinya kedua adikku, jika aku tidak bisa menguasai diri atas rasa kehilangan ini?
Akan kemana mereka nanti? Adakah yang mau merawat mereka selain diriku? Sekarang hanya akulah yang tertinggal untuk mereka.
Batinku gemuruh, menahan segala lara.
Isak tangis Alya dan Raihan mengiringi pemakaman Ibu hari itu juga.
"Alya, Raihan kuatkanlah hati kalian."
***
Kami harus menerima kenyataan, satu bulan sudah kepergian Ibu. Kami bertahan hidup dengan meneruskan usaha Ibu setelah ditinggal Bapak, menjual gorengan. Dulu, Alya sering membantu Ibu di dapur. Setelah sholat subuh Alya menggoreng dan kami menjualnya di sekolah pada teman-teman.
"Assalamu'alaikum." Terdengar suara lelaki dari luar kamar sewa kami.
"Sudah waktunya kalian membayar sewa kamar ini." Tanpa sempat kami menjawab salam, Pak Sasongko datang sambil marah-marah menagih uang sewa.
"Jangan seperti itu, Pak. Malu dengan tetangga."
Ibu Sasongko meminta agar suaminya meredakan suara, kulihat para tetangga mengintip dari kamarnya masing-masing.
"Aaakh... Peduli apa dengan mereka? Apa mereka mau membayarkan sewa kamar ini? Rizki, ayo bayar! Kalian belum membayar sewa selama 5 bulan sejak Bapakmu meninggal, dan sekarang Ibumu meninggal. Kalian pikir, rumahku ini panti asuhan?"
Aku dan Alya perpandangan, Raihan bersembunyi di belakangku.
"Ka...ka..kami hanya punya simpanan uang seratus ribu, Pak." Alya mencoba berbicara, karena selama ini ialah yang mengatur keuangan kami.
"Apa seratus ribu? Uang sewa kamar ini tiga ratus ribu per bulan, kalian sudah menunggak selama 5 bulan dan hanya mau membayar seratus ribu?" Alya memegang lenganku, kami berdua gemetar tak tahu apa yang harus dilakukan.
"Sudah, Pak. Mereka terlalu kecil, cobaan mereka berat. Pikir saja Rizki itu baru kelas 11, Alya kelas 7 dan Raihan itu baru kelas 2 SD. Dimana belas kasihanmu, Pak? Mereka bisa bertahan hidup, itu sudah Alhamdulillah." Kulihat Bu Sasongko menarik-narik tangan suaminya.
"Jangan sok jadi malaikat kamu, Bu. Ini hak kita menarik uang sewa kamar. Dengar kalian bertiga, kalau sampai besok siang kalian tidak bisa membayar uang sewa, lebih baik kalian pergi dari sini."
**
Pagi hari kami berangkat sekolah, kulihat wajah Alya diliputi ke khawatiran. Begitu pula denganku, bagaimana cara kami mendapatkan uang untuk melunasi uang sewa?
"Tenanglah Alya, kita pasrahkan semuanya kepada Allah."
***
Bel tanda pulang telah berbunyi, Aku menuju mushola untuk sholat Dzuhur. Namun langkahku terhenti, karena melihat dari kejauhan Alya dan Raihan berdiri di luar pagar sekolah, masing-masing membawa dua bungkusan plastik besar. Aku menghampiri mereka.
"Kalian disini? Alya, kenapa kamu menangis? Pak Sasongko marah-marah lagi?"
Aku mengajak mereka masuk ke mushola.
"Pak Sasongko, mengusir kita, Kak. Saat aku dan Raihan pulang, baju dan buku kita sudah di luar. Lemari, kasur, kompor dan juga peralatan masak disita untuk melunasi hutang sewa kamar kita, Kak."
Aku menunduk mendengar penjelasan dari Alya.
"Sudahlah, tak usah dipikirkan. Kalian sudah sholat belum? Kita sholat dulu, sekalian ganti baju."
Sekuat tenaga kusembunyikan kebingungan di depan mereka.
"Kenapa Bapak dan Ibu tidak mengajak kita, Kak? Kalau boleh, Raihan mau ikut Bapak sama Ibu."
Pertanyaan Raihan hanya bisa kujawab dengan membelai rambutnya. Aah, Raihan, andai pilihan itu benar-benar ada.
"Sabar Raihan, sabar yah. Kan ada Kak Rizki dan Kak Alya. Dan ada Allah, saat ini kita harus benar-benar mendekatkan diri pada-Nya." Hanya itu yang dapat kukatakan padanya, termasuk untuk diriku sendiri.
"Hari ini jualanku banyak sisanya, Kak. Uangnya dapat 7000" Alya menghampiri kami di depan mushola setelah kami selesai sholat.
"Raihan juga, Kak. Cuma dapat 3000"
Raihan menyerahkan uangnya pada Alya, akupun tak berbeda hanya dapat 5000.
"Kita ke kantin dulu, kalian pasti belum makan juga kan?"
Aku mengajak mereka, para pedagang di kantin sedang merapikan meja dagangan mereka bersiap-siap untuk pulang. Kuhampiri Bu Jojo
"Bu, nasinya masih ada?"
"Kalau nasinya ada, tapi lauknya habis."
"Ya, bu. Nasinya saja,"
Bu Jojo mengambilkan nasi dipiring. "Bu, kalau pakai nampan bisa? Soalnya makannya bareng-bareng adik-adikku."
Bu Jojo mengabulkan permintaanku.
“Bismillaahi rahmaani rahiim. Allahumma baarik llanaa fiima razaqtanaa waqinaa adzaa ban-naar."
Alya meletakan kain dari plastik yang ia bawa di atas lantai sebagai alas makan kami, aku menaruh nampan di atasnya dan beberapa sisa gorengan di atas nasi sebagai lauknya.
"Bismillahi wa ala barokatillah."
Kamipun mulai makan.
Tak berapa lama.
"Rizki sudah selesai? Ibu sudah mau pulang."
Bu Jojo menghampiri kami.
"Alhamdulillah, sudah. Berapa, Bu?"
"Tidak usah, simpanlah untuk kalian."
"Alhamdulillah. Makasih banyak ya, Bu."
Kami keluar, karena jika pedagang kantin pulang tandanya gerbang sekolah akan segera dikunci.
Tanpa tujuan.
Sepanjang jalan aku berpikir, bagaimana jika kami kembali ke kamar sewa kami? Mungkin ada tetangga yang mau menampung kami.
Mana mungkin?
Bukankah ukuran kamar sewa disana kecil?
Rata - rata terisi 4 sampai 6 orang.
Atau ke rumah salah satu temanku?
Tapi siapa?
Kumandang adzan Ashar membuyarkan lamunanku.
Masya Allah.
Di saat orang-orang sulit menerima, hanya Engkau yang memanggil kami. Kami pun menuju mushola terdekat, membersihkan diri dan berada di sini, setidaknya sampai sholat Isya.
Waktu terus berjalan, Sholat Isya telah lewat, saatnya kami harus pergi dari mushola. Kami susuri jalan-jalan di sepanjang wilayah Jatinegara.
Beruntung, gorengan kami tersisa banyak sehingga dapat berhemat, uang hanya digunakan untuk membeli air minum.
"Kak, Raihan cape. Ngantuk. Kita tidur di mana nih, Kak? Apa kita jalan terus-terusan?"
Aku terdiam, saat ini kami berada di depan kompleks pertokoan yang telah tutup. Aku meminta mereka duduk di depan salah satu toko.
"Kita di sini saja dulu, kalian tidurlah biar aku yang menjaga."
Alya mengeluarkan kain dari bungkusan yang kami bawa untuk alas tidur.
Jakarta semakin larut, semua terlelap dalam mimpi masing - masing begitu pula Alya dan Raihan. Maafkan aku, hanya ini yang dapat aku lakukan. Uang kita tak cukup tuk menyewa kamar. Tidurlah, aku akan menjaga kalian...
"Kak Rizkiii... Kak Rizkiii... Bangun, Kaaaak. Tolong Kak Alya, Kaaak..."
Teriakan Raihan terdengar dan kurasakan guncangan keras pada tubuh.
Astagfirullah, ternyata aku tertidur. Raihan dan Alya berteriak-teriak. Kulihat Alya sedang ditarik-tarik oleh 2 orang pemuda mabuk.
Raihan mencoba menolong Alya, namun karena tubuhnya kalah besar Raihan terlempar terkena tendangan dari salah satu pemuda mabuk itu. Aku segera bangun. Kucoba menghadapi pemuda mabuk yang menendang Raihan tadi. Kuarahkan kepalan tangan ke arah perutnya, dia melepaskan tangan Alya dan beralih ke arahku. Dengan garang pemuda itu membalas pukulan ke arah wajah, dengan gesit aku berhasil menghindar.
Pukulan demi pukulannya berhasil kuhindari.
Tapi naas, saat aku sedikit lengah membuat pemuda mabuk itu berhasil memegang leherku dengan kedua tangannya. Semakin lama dia mencekik semakin kencang hingga mengangkat badanku.
Napasku sesak.
Semakin sesak.
"BUUGH."
Raihan memukul kepala pemuda itu dengan balok yang lebih besar dari lengannya, aku pun terbebas.
Pemuda itu berbalik kearah Raihan. Ia memukul dan menendang dengan keras membuat Raihan kesakitan. Kuambil balok yang terjatuh dari tangan Raihan.
"Lepaskan adikku!"
Kupukul pemuda itu bertubi-tubi.
"Kak Rizki, tolong Kak Alya."
Raihan mengingatkan. Aku beralih ke pemuda lainnya, yang mencoba menindih Alya.
"Tak kan kubiarkan kau melakukan itu! Mereka adik-adikku, akan kujaga sampai akhir hidup!"
Kuarahkah balok ke wajah pemuda itu .
"Pergi kau, Pemabuk!"
Kuhajar hingga ia terjatuh.
"Lariiiii, Raihan, Kak Rizki, cukup. Ayo kita lari."
Teriak Alya sambil menarikku, kedua pemuda itu bangun dan bersiap untuk menyerang kami kembali. Aku menuruti kata-kata Alya, walaupun mereka mabuk tapi badan dan tenaga mereka jauh lebih besar dariku.
Segera aku ambil plastik bungkusan baju-baju kami lalu berlari menyusul Raihan dan Alya.
Kami terus berlari, menembus gelapnya malam. Berharap pemuda-pemuda mabuk itu tidak mengejar kami.
"Bapaaaaaaak... Bapaaaaak..."
Tiba-tiba Raihan berteriak saat kami berada di depan masjid.
"Raihan, kamu kenapa?"
Alya bingung.
"Ayo, Raihan. Nanti mereka bisa mengejar kita."
Pintaku dengan napas tersengal-sengal, Raihan tidak peduli dia tetap berteriak memanggil Bapak sambil berlari ke arah masjid, mencoba membuka pagar masjid yang terkunci. Raihan tak menyerah sambil terus berteriak dia memanjat pagar masjid tersebut.
Aku dan Alya semakin bingung dengan tingkah Raihan. Di tengah kebingungan, terdengar suara dua pemuda mabuk tadi. Segera kutarik Alya, membantunya memanjat pagar. Kulihat di dalam masjid itu ada beberapa orang yang terjaga, pasti kami bisa meminta tolong pada mereka.
"Bapaaak... Ini Raihan, Paaak."
Raihan tetap berteriak sambil berlari ke teras masjid. Di dalam teras memang kulihat seorang Bapak sedang berdiri tapi itu bukan Bapak kami, hanya pakaian, dan jenggotnya saja yang sama dengan Bapak.
Aah, Raihan hari ini pasti sangat berat untukmu, hingga kau begitu merindukan Bapak yang selalu menjagamu.
"Bapaaaaak..."
Raihan memeluk Bapak yang berdiri di teras masjid itu. Aku mencoba mencegahnya, tapi Bapak itu mengangkat tangan, membiarkan Raihan memeluknya.
"Bapaaaak... Huuu... uuu... Raihan, mau ikut Bapak ajaaaaa... Kenapa cumaa Ibu yang Bapak ajak?
Hiks... hiks...
Pak Sasongko jahat, kita diusir, Paaaak.
Tetangga ga ada yang nolongin kita. Raihan, cape jalan terus-terusan. Tidur di emperan toko. Terus ada orang yang mau jahatin Kak Alya. Kak Rizki sama aku dipukulin. Sakiiiit, Paaaak.
Hiks... huu.. huu...
Raihan mau ikut Bapaaaak. Jangan tinggalin Raihan lagi, Paaak."
Raihan terus mengadu sambil menangis dalam pelukan orang yang dia pikir Bapak.
Aku dan Alya tertegun melihatnya.
Tak berapa lama terdengar kegaduhan di luar pagar, ternyata dua pemuda mabuk itu. Aku dan Alya segera bersembunyi di balik dinding masjid. Kulihat dua orang dari dalam masjid menghampiri mereka, entah apa yang mereka katakan sehingga kedua pemabuk itu pergi.
Raihan melepaskan pelukannya, dipandangi Bapak yang baru saja ia peluk. Sepertinya Raihan sadar kalau yang dipeluknya itu bukanlah Bapak.
"Maaf, Pak. Saya kira Bapak saya."
Raihan mengusap air matanya lalu mundur menghampiriku dan Alya. Bapak itu berjongkok di depan kami, mengusap rambut Raihan. Sambil tersenyum dan memperkenalkan diri, Pak Alam namanya asal Sumatra. Beliau bersama rombongan sedang beritikaf sambil berdakwah selama 3 hari di masjid ini. Mereka ada 6 orang, 4 dari Sumatra dan 2 dari lingkungan masjid.
Kami duduk di teras masjid, aku memperkenalkan diri dan adik-adikku. Kami menceritakan semua kejadian yang telah kami alami.
"Sekarang, Nak Rizki dan Nak Raihan bisa tinggal di masjid bersama kami. Tapi kita antar dulu Nak Alya ke rumah Pak H. Jaya tidak jauh dari sini. Di sana ada istri-istri kami yang sedang berdakwah dan juga belajar agama, Insya Allah, Alya aman di sana. Setelah itu kalian kembali ke masjid bersama kami."
Kami dan Pak H. Jaya mengantar Alya, setelah itu kembali ke masjid. Tenang rasanya hati ini. Setidaknya untuk 3 hari kami punya tempat tinggal.
Tiga hari kami berada di masjid, mereka benar-benar memperlakukan kami dengan baik. Sepulang sekolah kami mengikuti semua program yang dilaksanakan di dalam masjid.
Hari ini, terakhir. Setelah ini jamaah akan pindah masjid, lalu bagaimana dengan kami?
Ya Allah, haruskah kami mengalami kejadian seperti waktu itu?
Selesai ceramah subuh, Pak Alam memanggilku dan Raihan.
"Rizki, Raihan. Ada yang ingin Pak H. Jaya sampaikan."
"Begini, kebetulan Bapak sedang mencari marbot. Sebelumnya ada 2 orang yang menjadi marbot di sini, satu orang pulang kampung ingin beristirahat, yang satu lagi memilih berdagang karena telah menikah."
Aku memerhatikan apa yang dibicarakan oleh Pak H. Jaya.
"Tanpa bermaksud merendahkan, mengingat cerita tentang kehidupan kalian, Bapak ingin menawarkan pekerjaan sebagai marbot ini untuk kalian. Kalau kalian mau, bisa menempati ruangan marbot di belakang masjid. Memang tidak terlalu besar, tapi tersedia kamar untuk Nak Alya. Dan ada dapur kecil, yah cukup untuk kalian bertiga. Pekerjaan bisa kalian lakukan sepulang kalian sekolah. Nanti, setiap bulannya akan ada honor yang diberikan dari pengelola Masjid untuk kalian. Bagaimana?"
Alhamdulillah, Masya Allah. Sujud syukur kulakukan saat itu juga menerima tawaran Pak H. Jaya. Kupeluk Raihan, tak terasa air mata ini membasahi pipiku.
Terima Kasih Ya Robb, satu langkah aku mendekati-Mu, seribu langkah Kau mendekatiku. Kau berikan jalan keluar untuk masalah kami.
__end__
0 Response to "Fiksi: PUSARAN CINTA-NYA"
Post a Comment
Tinggalkan jejakmu di sini :)
Maaf, mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar. Thanks.