GADIS RUANG PUTIH

GADIS RUANGAN PUTIH
Oleh. Anggarani Ahliah Citra



Tatap mata ini kosong. Lelah menangkap warna putih yang berada di sekeliling. Aku terpasung, sejak entah. Mungkin sesaat setelah dirinya pergi meninggalkanku, tidak, merekalah yang memaksanya untuk pergi. Ruang putih ini menjadi sahabat sejatiku, aku sering berpikir siapakah yang membuat ruangan ini menjadi serba putih. Membosankan!

Dinding – dinding putih ini memang setia padaku, telinga-telinga mereka selalu siap siaga mendengarkan apa saja yang kukatakan, baik itu secara terisak, tertawa bahkan berteriak. Telinga-telinga itu pun berwarna putih, warna itu tak pernah pudar dari tahun ke tahun. Pernah sesekali aku memasangkan anting pada telinga-telinga itu agar mereka semua terlihat cantik. Ya, hitung-hitung sebagai upah karena selama ini mereka mau mendengarkan semua ocehanku. Andai saja dinding ini memiliki tangan, pasti akan kupasangkan cincin pada jari-jari mereka. Sebuah cincin emas bermahkotakan intan berlian, seperti yang saat ini aku pakai. Ehm, tapi cincin ini hanya satu, aku tak rela membaginya pada siapa pun.


Tirai ruangan ini juga berwana putih, sering sekali meliuk-liukkan tubuh indahnya. Membuatku jengah melihatnya dan aku tidak menyukainya. Entah sudah berapa laki-laki yang menjadi korbannya. Ia tak segan memperdaya siapa saja, tak peduli laki-laki itu memang menyukainya atau sekedar lewat depan hidungnya. Ia akan segera menari walau tanpa musik. Menarik lalu memeluk laki-laki itu lalu melumatnya sampai habis hingga tersisa tulang belulang. Aku ingin sekali memercikan warna merah atau warna apa pun pada tubuh tirai itu. Warna putih sangat tidak sesuai untuk dirinya.

“Dasar munafik!!!”

Hanya dinding yang mendengar umpatanku. Tirai putih itu tak punya telinga, hingga ia tak mendengar cacian yang kuberikan.

Kursi yang berwarna putih hanya berjalan mondar-mandir jika ia melihatku sedang memaki-maki tirai. Meja yang memiliki bibir tebal pun ikut berceracau. Tentu saja, siapa pun yang tahu tingkah tirai pasti akan ikut memaki. Kursi pernah hampir menjadi korban tirai, saat itu bibir meja yang tebal langsung menariknya dengan kuat. Telat sedikit saja, bisa bahaya. Aku sendiri tidak mengerti, entah apa kekurangan si meja, meja itu sangat baik pada tirai.

Aku membencinya, semua yang berada di ruang ini juga membencinya. Tetapi sepertinya tidak bagi jendela, ia terlihat tenang tinggal berdampingan dengan tirai. Jendela pasti ikut membantu tirai, dengan mengerlingkan kedua mata indahnya dan kulit putihnya untuk memanggil laki-laki lalu diserahkan pada tirai. Tindakan bodoh. Apa mereka sama sekali tidak memikirkan nasib wanita-wanita pemilik laki-laki yang telah menjadi korban kebejatan mereka? Menerima tulang belulang lelaki yang telah lama tak kunjung pulang.

Pintu berwarna putih, ia memiliki taring di sekujur tubuhnya. Tetapi sayang, ia tak mau tahu tentang kemaksiatan yang terjadi di dekatnya, tak peduli. Bahkan taringnya akan semakin tajam jika aku mulai berteriak mamaki tirai dan juga jendela. Tidak ada yang lebih bodoh dari pintu, lihat saja ia pasti akan kena batunya.

Aku bosan dengan ruangan ini. Teman-teman di sini tidak baik, walau pun ada dinding dengan telinganya. Tapi ia tidak dapat kuajak diskusi, yah karena ia tidak punya mulut tentunya. Sedangkan meja, bibir tebalnya selalu saja tidak berfungsi dengan benar, apalagi kalau bukan menangkap kursi jika sudah mulai mendekati tirai. Hiburanku satu-satunya adalah cincin emas berrmahkota berlian yang melingkar di jariku. Tapi aku tak dapat benar-benar menikmatinya. Sebuah selang plastik terkadang menghalangi pandanganku.

Selang ini tak mau pergi dariku. Ingin sekali aku membuangnya, andai saja di jariku ini tak ada cincin pasti aku akan melepaskan seluruh tanganku dan melemparkannya keluar ruangan.

Aku bosan dengan ruangan ini. Aku berjalan menuju pintu, tiba-tiba saja taringnya berubah menjadi jauh lebih tajam dari sebelumnya.

“Izinkan aku pergiiiiiii... Kalian semua telah menyiksakuuuu....”

Aku menjerit sekuat tenaga. Pintu tak juga mau membukakan dirinya untukku. Taringnya berubah menjadi pedang-pedang yang semakin tajam.

Dua orang berpakaian putih-putih masuk ke dalam ruangan. Bila mereka yang lewat taring-taring pada pintu itu hilang entah kemana. Dua orang yang selalu datang memberikan cairan pada selang di tanganku. Entah apa cairan itu yang pasti saat cairan itu masuk badanku terasa teramat lemas. Jadi tak usah ditanya lagi apakah aku membenci mereka atau tidak.

Jika tubuhku lemas seperti ini maka aku akan mulai berhalusinasi. Dinding putih itu akan mulai kehilangan semua telinganya. Tubuhnya akan mulai retak dan berbentuk kotak yang lumayan besar, dan perlahan akan muncul seorang bocah laki-laki yang duduk di tepi kotak itu.

Bocah itu lucu. Tapi aku tak dapat menyentuhnya. Syukurlah saat bocah itu muncul tirai tak pernah meliukkan tubuh haramnya dan juga pintu tak mengeluarkan taring-taringnya. Tapi entah mengapa saat tubuhku mulai bertenaga bocah itu pergi menghilang. Tinggallah aku bersama cincin di jari ini.

"Kembaliiiiii ...."

Cincin ini tak sanggup menggantikan bocah itu. Dia telah pergi, seiring munculnya telinga-telinga pada dinding, taring-taring pada pintu, bibir pada meja dan kursi. Dan tirai kembali menari mencari korban-korban lainnya.



Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "GADIS RUANG PUTIH"

Post a Comment

Tinggalkan jejakmu di sini :)
Maaf, mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar. Thanks.