Sebuah lagu dangdut yang dibawakan
oleh penyanyi terkenal dengan suara yang sangat merdu. Lagu ini serasa mengajak
ke era jaman lalu. Jaman Evie Tamala,
Mansur S dkk, tanpa harus meninggalkan kreasi baru. Aransemen lagu itu terdiri
dari 3 kombinasi jenis musik. Ada India-indianya, musik dangdut jaman dulu dan
ada nada-nada melayu Malaysianya. Lalu beralih ke video lainnya dengan lagu
yang berbeda dari penyanyi yang sama. Sebuah lagu dengan versi akustik dan aku
sangat suka lagu ini.
Walaupun bukan mania dangdut tapi ada
satu hal yang menarik hatiku, ko tomben musiknya beda dengan dangdut
sekarang ini?! Iya, dangdut jaman sekarangkan kebanyakannya mulai dari lirik, aransemennya
dan tampilan visualnya sensual, vulger bahkan porno. Sangat berbeda dengan
dangdut jaman dulu, yang terlihat santun baik dari lirik, musik bahkan pakaian
penyanyinya.
Dan ini sangat memancing
keingintahuanku apa di balik semua itu. Telusur-telusur. Dari komen video
tersebut, video-video lain sampai nanya ke embah google. Dan oow.. akhirnya
ketahuan (sambil nyanyi). Ternyata lagu itu ciptaan pendatang baru dari salah seorang peserta kdi.
Pantesan, pendatang baru, tho.
Hal ini mengingatkanku sebuah drama
yang menceritakan seorang reporter terkenal. Reporter ini masih kuat dengan
nurani kebenarannya, sehingga apa yang ingin ia sampaikan sesuai dengan fakta. Sayangnya
setiap naskah berita, selalu harus melewati manager. Yang nanti oleh menager,
harus dipertimbangkan apakah itu menguntungkan atau merugikan perusahaan. Jika itu
akan merugikan perusahaan, berita yang akan disampaikan kepada masyarakat diberi
polesan sana sini sehingga tidak sesuai lagi dengan faktanya. Yang penting yang
hangat dan laris dipasaran.
Di sisi lain, ada seorang gadis
wartawan media online. Bekerja pada seorang bos, yang dulunya mempunyai latar
belakang, pernah keluar dari sebuah perusahaan media berita karena tak sesuai
lagi dengan visi dan misi nuraninya.
Namun ketika dia jadi direktur, dia
harus bertanggung jawab pada nasib perusahaan, maka dia pun terjangkit dengan
penyakit yang sama. Yang penting sesuai
prospek pasaran, sehingga menarik pengunjung dan klien pemasang iklan. Lagi-lagi
perasaan nurani tergadaikan.
Kembali ke musik dangdut. Mungkin semua
dari penyanyi, pencipta lagu dan pencipta musiknya awalnya memiliki visi dan misi yang
ga jauh beda.
Mengembangkan karya seni, menghibur dan tanpa merusak norma masyarakat.
Tapi ketika mereka berhadapan
dengan bisnis, adakalanya mereka diuji hati nurani atau nasib “perusahaannya”.
Jika rasa tanggung jawab mempertahankan nasib perusahaannya yang menang, maka
hati nuraninya kalah. Awalnya mungkin sakit hati, tapi kelama-kelamaan akan
menjadi terbiasa. Tipe seperti ini hanya akan mengikuti larisnya pasaran. Mereka
tak peduli apakah nantinya akan merusak norma masyarakat.
Dan yang tak habis pikir, lirik
sedih di padukan dengan aransemen dan goyangan happy-happy. Ini juga merusak nilai seni. Hamil tiga bulan di luar nikah kenapa ditampilkan dengan nada, goyangan
dan pakaian happy-happy? Benar-benar ga nyambung.
Hamil di luar nikah itu merupakan
dosa yang juga akan menjadikan noktah hitam bagi keluarga, mengancam masa depan
bersangkutan bahkan masa depan calon bayi. Seharusnya hamil di luar nikah di
tampilkan dengan nada galau bin sedih.
Apa mereka belum pernah melihat
bagaimana Rita Sugiarto, Evi Tamala atau Bang Caca membawakan lagu sedih? Ya,
mungkin sudah, tapi lagi-lagi tuntutan pasaran.
Andai saja buyut-buyut pencipta
dangdut dulu bisa dengar dan bisa bangun, saya kira mereka akan bangun dan
memporak-porakan dangdut yang gayanya sungguh menghinakan leluhur.
Sudah hal yang lumrah, setiap
pekerjaan atau kegiatan akan berhadapan dengan dua pilihan. Tak terkecuali
seorang yang mempunyai hobi menulis.
Awalnya, kita ga peduli dengan
komen, like atau view stite. Yang penting menulis dan terus menyalurkan hobi.
Tapi lama-kelamaan, jika sudah
pernah mendapatkan banyak like dan komen, dan ketika suatu hari berhadapan
dengan sepinya pengunjung, maka perasaan galau mulai merapai ruang-ruang sudut
hati. Maka di sini kita berhadapan dengan dua pilihan. Tuntutan hobi dan
perasaan ataukah tuntutan banyaknya view stite? Kalau bisa sih dua-duanya.
Seperti yang pernah dialami
seseorang .
Awalnya hanya sekadar coret-coret di
fb, merambat ke blog. Sekadar corat-coret yang masih belum paham arti statistik.
Bahkan entah bulan ke berapa, baru dia mengetahui dasbor. Lama-kelamaan pun
mulai peduli dengan view stite.
Dia merasakan sedih kalau pengunjung
blognya itu sdikit dan tergoda dengan sesuatu yang hangat di pasaran untuk
menaikkan trafik. Tapi berbentur dengan
banyaknya kegiatan lain dan selera hati tentunya. Akhirnya ia harus mengabaikan statistik.
Pernah juga belajar menulis naskah
untuk menembus penerbit dengan bimbingan seorang totur. Selama menulis naskah
itu, hatinya terlalu terusik dengan hal-hal yang mungkin sebenarnya itu kecil
bagi orang lain, tapi baginya itu sangat besar. Perasaannya sangat tidak nyaman,
tapi dia berusaha menjadi penulis professional yang sesuai dengan tuntutan
pasar.
Tapi apa daya, ternyata rasa atau
kerisauan itu menjadi sebuah doa. Tepat pada
saat diminta revisi, saat itu bertepatan dengan adanya kegiatan baru. Akhirnya dia
mengundurkan diri. Ada rasa sesal di hati karena walau bagaimana pun itu adalah
hasil kerasnya, kenapa tidak diselesaikan saja? Tapi di sisi lain, dia
bersyukur, setidaknya dia tidak dihantui perasaan bersalah terus menerus.
Di lain waktu, dia juga pernah
mencoba, menunjukkan outline naskah kepada tutor yang sama. Tutor berkomentar,
dengan tema yang ingin dia buat, maka
akan kesulitan mencari penerbit yang mempunyai selera yang sama. Ah lagi-lagi
harus berhadapan dengan tuntutan pasaran. Tutor menawarkan tema yang lagi trend
dan dicari-cari penerbit.
Awalnya dia tergoda, karena mencoba
sesuatu yang baru itu fantastis. Tapi dia juga sadar, jika tidak sesuai dengan
selera hati, itu juga akan menambah beban lelah dalam perjuangan.
Tapi, apapun langkah dan prinsip
kita, itu terserah kita yang membuat keputusan. Apakah demi materi dengan
menyesuaikan tuntutan pasaran/trend yang berkembang atau demi hati nurani yang
bertolak belakang dengan trend yang berkembang, semuanya akan kembali kepada
konsekuensi masing-masing. Semuanya memiliki kelebihan dan kekurangan. Pastinya
setiap karya yang ditunjukkan pada umum akan berdampak pada diri sendiri dan
orang lain.
Jadi apa pun keputusanmu, satu hal yang harus
kau pikirkan, “JANGAN SAMPAI MERUSAK NORMA MASYARAKAT dan juga kalau bisa,
jangan merusak nilai seni.”
Mungkin si penulis bisa menerbitkan secara indie...
ReplyDeletekeluargahamsa.com
Hmm sebenarnya bingung juga sih mbak tapi itu tergantung keyakianan kitanya saja kita mau milih ke mana saja pasti akan muantappp bila yakin.
ReplyDeletesetiap pilihan itu pasti akan ada resikonya,namun bukan berarti harus secara asal memilih. harus ada pertimbangan juga sesuai kebutuhan dan cari pilihan yang resikonya sedikit.
ReplyDeletekalau dilihat dari cerita penulis diatas, mungkin tergantung selera dan tujuan si penulis tersebut kali ya..
Bener jg...mgkin lbh baik mengikuti nurani, krn nurani lbh cenderung kpd kebaikan, sifatnya lurus dan biasanya selaras dg norma masyarakat maupun agama. Lbh baik tdk mengikuti trend kalo gak sesuai dg kata hati...
ReplyDelete