KETIKA BERHADAPAN DENGAN DUA PILIHAN

Berhadapan dengan dua pilihan


 Suatu hari sambil lipat-lipat pakaian, entah kenapa tergoda buka youtube dan tertarik salah satu video yang ditawarkan di beranda.

Sebuah lagu dangdut yang dibawakan oleh penyanyi terkenal dengan suara yang sangat merdu. Lagu ini serasa mengajak  ke era jaman lalu. Jaman Evie Tamala, Mansur S dkk, tanpa harus meninggalkan kreasi baru. Aransemen lagu itu terdiri dari 3 kombinasi jenis musik. Ada India-indianya, musik dangdut jaman dulu dan ada nada-nada melayu Malaysianya. Lalu beralih ke video lainnya dengan lagu yang berbeda dari penyanyi yang sama. Sebuah lagu dengan versi akustik dan aku sangat suka lagu ini.

Walaupun bukan mania dangdut tapi ada satu hal yang menarik hatiku, ko tomben musiknya beda dengan dangdut sekarang ini?! Iya, dangdut jaman sekarangkan kebanyakannya mulai dari lirik, aransemennya dan tampilan visualnya sensual, vulger bahkan porno. Sangat berbeda dengan dangdut jaman dulu, yang terlihat santun baik dari lirik, musik bahkan pakaian penyanyinya.

Dan ini sangat memancing keingintahuanku apa di balik semua itu. Telusur-telusur. Dari komen video tersebut, video-video lain sampai nanya ke embah google. Dan oow.. akhirnya ketahuan (sambil nyanyi). Ternyata lagu itu ciptaan pendatang baru dari salah seorang peserta kdi.

Pantesan, pendatang baru, tho.

Hal ini mengingatkanku sebuah drama yang menceritakan seorang reporter terkenal. Reporter ini masih kuat dengan nurani kebenarannya, sehingga apa yang ingin ia sampaikan sesuai dengan fakta. Sayangnya setiap naskah berita, selalu harus melewati manager. Yang nanti oleh menager, harus dipertimbangkan apakah itu menguntungkan atau merugikan perusahaan. Jika itu akan merugikan perusahaan, berita yang akan disampaikan kepada masyarakat diberi polesan sana sini sehingga tidak sesuai lagi dengan faktanya. Yang penting yang hangat dan laris dipasaran.

Di sisi lain, ada seorang gadis wartawan media online. Bekerja pada seorang bos, yang dulunya mempunyai latar belakang, pernah keluar dari sebuah perusahaan media berita karena tak sesuai lagi dengan visi dan misi nuraninya.

Namun ketika dia jadi direktur, dia harus bertanggung jawab pada nasib perusahaan, maka dia pun terjangkit dengan penyakit yang sama.  Yang penting sesuai prospek pasaran, sehingga menarik pengunjung dan klien pemasang iklan. Lagi-lagi perasaan nurani tergadaikan.

Kembali ke musik dangdut. Mungkin semua dari penyanyi, pencipta lagu dan pencipta musiknya awalnya memiliki visi dan misi yang ga jauh beda.

Mengembangkan karya seni, menghibur dan tanpa merusak norma masyarakat.
Tapi ketika mereka berhadapan dengan bisnis, adakalanya mereka diuji hati nurani atau nasib “perusahaannya”. Jika rasa tanggung jawab mempertahankan nasib perusahaannya yang menang, maka hati nuraninya kalah. Awalnya mungkin sakit hati, tapi kelama-kelamaan akan menjadi terbiasa. Tipe seperti ini hanya akan mengikuti larisnya pasaran. Mereka tak peduli apakah nantinya akan merusak norma masyarakat.

Dan yang tak habis pikir, lirik sedih di padukan dengan aransemen dan goyangan happy-happy. Ini juga merusak nilai seni. Hamil tiga bulan di luar nikah kenapa ditampilkan dengan nada, goyangan dan pakaian happy-happy? Benar-benar ga nyambung.

Hamil di luar nikah itu merupakan dosa yang juga akan menjadikan noktah hitam bagi keluarga, mengancam masa depan bersangkutan bahkan masa depan calon bayi. Seharusnya hamil di luar nikah di tampilkan dengan nada galau bin sedih.
Apa mereka belum pernah melihat bagaimana Rita Sugiarto, Evi Tamala atau Bang Caca membawakan lagu sedih? Ya, mungkin sudah, tapi lagi-lagi tuntutan pasaran.
Andai saja buyut-buyut pencipta dangdut dulu bisa dengar dan bisa bangun, saya kira mereka akan bangun dan memporak-porakan dangdut yang gayanya sungguh menghinakan leluhur.

baca juga surat cinta untuk Melly Goeslaw

Sudah hal yang lumrah, setiap pekerjaan atau kegiatan akan berhadapan dengan dua pilihan. Tak terkecuali seorang yang mempunyai hobi menulis.

Awalnya, kita ga peduli dengan komen, like atau view stite. Yang penting menulis dan terus menyalurkan hobi.
Tapi lama-kelamaan, jika sudah pernah mendapatkan banyak like dan komen, dan ketika suatu hari berhadapan dengan sepinya pengunjung, maka perasaan galau mulai merapai ruang-ruang sudut hati. Maka di sini kita berhadapan dengan dua pilihan. Tuntutan hobi dan perasaan ataukah tuntutan banyaknya view stite? Kalau bisa sih dua-duanya. 

Seperti yang pernah dialami seseorang .
Awalnya hanya sekadar coret-coret di fb, merambat ke blog. Sekadar corat-coret yang masih belum paham arti statistik. Bahkan entah bulan ke berapa, baru dia mengetahui dasbor. Lama-kelamaan pun mulai peduli dengan view stite.

Dia merasakan sedih kalau pengunjung blognya itu sdikit dan tergoda dengan sesuatu yang hangat di pasaran untuk menaikkan trafik. Tapi  berbentur dengan banyaknya kegiatan lain dan selera hati tentunya. Akhirnya ia harus mengabaikan statistik.

Pernah juga belajar menulis naskah untuk menembus penerbit dengan bimbingan seorang totur. Selama menulis naskah itu, hatinya terlalu terusik dengan hal-hal yang mungkin sebenarnya itu kecil bagi orang lain, tapi baginya itu sangat besar. Perasaannya sangat tidak nyaman, tapi dia berusaha menjadi penulis professional yang sesuai dengan tuntutan pasar.

Tapi apa daya, ternyata rasa atau kerisauan itu menjadi sebuah  doa. Tepat pada saat diminta revisi, saat itu bertepatan dengan adanya kegiatan baru. Akhirnya dia mengundurkan diri. Ada rasa sesal di hati karena walau bagaimana pun itu adalah hasil kerasnya, kenapa tidak diselesaikan saja? Tapi di sisi lain, dia bersyukur, setidaknya dia tidak dihantui perasaan bersalah terus menerus.

Di lain waktu, dia juga pernah mencoba, menunjukkan outline naskah kepada tutor yang sama. Tutor berkomentar, dengan tema yang ingin  dia buat, maka akan kesulitan mencari penerbit yang mempunyai selera yang sama. Ah lagi-lagi harus berhadapan dengan tuntutan pasaran. Tutor menawarkan tema yang lagi trend dan dicari-cari penerbit.

Awalnya dia tergoda, karena mencoba sesuatu yang baru itu fantastis. Tapi dia juga sadar, jika tidak sesuai dengan selera hati, itu juga akan menambah beban lelah dalam perjuangan.

Tapi, apapun langkah dan prinsip kita, itu terserah kita yang membuat keputusan. Apakah demi materi dengan menyesuaikan tuntutan pasaran/trend yang berkembang atau demi hati nurani yang bertolak belakang dengan trend yang berkembang, semuanya akan kembali kepada konsekuensi masing-masing. Semuanya memiliki kelebihan dan kekurangan. Pastinya setiap karya yang ditunjukkan pada umum akan berdampak pada diri sendiri dan orang lain.

 Jadi apa pun keputusanmu, satu hal yang harus kau pikirkan, “JANGAN SAMPAI MERUSAK NORMA MASYARAKAT dan juga kalau bisa, jangan merusak nilai seni.”




 gambar dari remajaislampos.wordpress.com

Subscribe to receive free email updates:

4 Responses to "KETIKA BERHADAPAN DENGAN DUA PILIHAN"

  1. Mungkin si penulis bisa menerbitkan secara indie...

    keluargahamsa.com

    ReplyDelete
  2. Hmm sebenarnya bingung juga sih mbak tapi itu tergantung keyakianan kitanya saja kita mau milih ke mana saja pasti akan muantappp bila yakin.

    ReplyDelete
  3. setiap pilihan itu pasti akan ada resikonya,namun bukan berarti harus secara asal memilih. harus ada pertimbangan juga sesuai kebutuhan dan cari pilihan yang resikonya sedikit.
    kalau dilihat dari cerita penulis diatas, mungkin tergantung selera dan tujuan si penulis tersebut kali ya..

    ReplyDelete
  4. Bener jg...mgkin lbh baik mengikuti nurani, krn nurani lbh cenderung kpd kebaikan, sifatnya lurus dan biasanya selaras dg norma masyarakat maupun agama. Lbh baik tdk mengikuti trend kalo gak sesuai dg kata hati...

    ReplyDelete

Tinggalkan jejakmu di sini :)
Maaf, mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar. Thanks.