Allah ....
Aku telah menemukan mutiara
hati yang sempat hilang, kujumpai kembali ketenangan diri yang selama ini
bersembunyi di balik kesombongan akan ilmu yangmenguasai hati.
Hidayah datang bukan dengan cara yang instant, perlu perjuangan
dengan langkah yang terseok,pengorbanan akan diri, harta, bahkan nyawa.
Sementara dengan mudahnya lidah ini mengucap dan satu jari menunjuk
bahwa itu sesat, tapi taktersadar akan empat jari lainnya yang mengarah pada
diri sendiri.
Semua kudapatkan setelah melakukan islah pada diri ini, dan
tersadar bahwa dirinya adalah benar-benar seorang imam yang baik, walau itu
terjadi saat semua telah terlambat.
~o~
“Sebaiknya kau jangan pergi, Mas. Usaha kita akan terbengkalai
nanti. Kita akan rugi besar. Bagaimana dengan kesehatanmu? Batu ginjalmu harus
diperhatikan, Mas. Jangan terlalu lelah.”
“Telah lama kutinggalkan dakwah demi menuruti keinginanmu, Sofie.
Tak sadarkah kau, bahwa kita semakin menjauh dari amalan agama? Hanya mementingkan
dunia. Kesehatanku tidak bermasalah.”
“Tidak ada landasan kuat untuk mengikuti kegiatan yang kau katakan
dakwah itu, Mas. Dan itu bid’ah, tidak memiliki dalil. “
“Berapa dalil yang harus kusampaikan kepadamu? Ketahuilah saat ini
yang kau butuhkan bukanlah dalil tetapi istikharah, berdoa kepada Allah SWT, jika memang
yang aku ikuti ini jalan yang sesat, minta pada Allah agar aku dijauhi dari kegiatan ini, jangan
berhenti sampai kau yakin seperti saat Kau menerima pinangan dariku dulu.”
Darahku benar-benar menuju puncaknya, setiap hujjah yang
kukemukakan seolah tak terkesan di hatinya, dia hanya menjawab seperlunya kemudian tertunduk
mendengarkan, seolah aku seorang Nyai
yang sedang berceramah dengan seorang santri yang keras kepala.
Entah cara apalagi yang harus kulakukan agar dirinya sadar, bahwa
apa yang selama ini dia anggap benar itu salah besar, sesat. Tetapi aku tidak akan menyerah.
Aku harus tetap menyadarkan suamiku.
~o~
“Sebaiknya kita bercerai, Mas!”
“Apa maksudmu?”
“Ya, perbedaan kita sangat jauh. Sepertinya tidak dapat disatukan
lagi.”
“Jangan terlalu banyak menonjolkan perbedaan yang ada. Gerakan
dakwah yang kita ikuti hanyalah kendaraan menuju kepada-Nya, walau metode yang diterapkan berbeda.
Kita tidak tahu siapa yang lebih dahulu menghadap-Nya. Yang pasti adalah jangan sampai
kendaraan kita ini mogok di tengah jalan, apalagi kita sendiri yang menjadi penghalang dari perjalanan
dakwah ini.”
Terdiam.
Tak tampak ekspresi marah sedikit pun darinya, sama seperti saat
aku mengkritiknya habis-habisan.
“Aku serius dengan apa yang telah aku ucapkan!”
Aku pun berdiri dan meninggalkannya sendiri di kamar.
~o~
Seminggu berlalu, namun dirinya tetap bersikap seperti tak ada
masalah yang terjadi di antara kami.
Langit Mojokerto memancarkan lukisan kekuatan sang matahari, senada
dengan hatiku yang panasdan tak mungkin bisa dipadamkan kembali.
Entah telah berapa kali tamu-tamu itu datang, hanya sekedar ingin
memberikan ceramah tentangsesuatu yang halal namun sangat dibenci Allah SWT.
'Heey ....
Kalian pikir aku tidak mengetahui akan hal itu?
Aku bukanlah orang yang bodoh dalam soal agama, kalianlah yang
seharusnya sadar bahwa jalankalian salah.'
Aku tak peduli kalian datang dari jauh sekali pun.
Aku bukanlah seorang wanita awam yang perlu disadarkan soal agama,
aku telah mendapatkan
pendidikan itu sedari balita.
Kedatangan kalian tidak akan merubah apa pun.
“Maafkan aku, hingga saat ini belum dapat memberikan jawaban atas
permintaanmu. Untuksementara tenangkan dirimu, aku akan pergi berdakwah selama
40 hari. Sabarlah, jika memang Allahmenghendaki kita berpisah maka akan
terjadi. Tetaplah menjaga dirimu dan anak-anak di rumah.”
What???
Kondisi rumah tangga sedang genting seperti ini, dirinya malah
memilih pergi?
~o~
“Assalamualaikum.”
Kujawab salam yang berasal dari kedua orang tuaku, dan menghentikan
kegiatan di mesin jahit lalu menyambut dengan mencium tangan dan meminta mereka
duduk.
“Mana suamimu, Sofie?”
“Pergi dakwah, Bu.”
“Sudah serapa lama? Lha, terus bagaimana urusan perceraian kalian?
Apa sudah kau sampaikan?”
“Sudah seminggu yang lalu, Pak. Ya, Sofie sudah sampaikan.”
“Ya sudah itu artinya memang suamimu sudah berniat meninggalkanmu.
Sudah kau urus belum surat pengajuan cerainya?”
“Belum, Pak.”
“Apalagi yang kau tunggu? Kalau kau tidak ada waktu biar kami bantu
mengurusnya. Keluarga koq ditinggal-tinggal terus, apa dia tidak ingat dengan
anak-anaknya? Lihat kondisi si Sulung, teganya suamimu. Lagipula usahamu ini
kan masih kecil, kalau tidak diurus dengan benar lama-lama akan gulung tikar.”
Aku mengerti perasaan kedua orang tuaku, yang tidak berbeda dengan
perasaanku. Setelah mereka pulang aku hanya
bisa menarik napas. Ya, pernikahan memang tak selamanya indah, banyak
hal yang harus dipikirkan. Mungkin memang sudah takdirku seperti ini.
Malam ini mataku tak bisa lelap, percakapan dengan kedua orang
tuaku terus saja berada dipikiran.
'Kenapa kau malah pergi saat ini. Apakah pendapatku sama sekali tak
kau anggap?'
Hampir subuh, sebaiknya kucurahkan saja kemarahan dan kekecewaanku
kepada-Nya.
Kubenamkan wajah ini, kuhabiskan airmata ini, hanya kepada-Mu,
kukembalikan seluruh masalah rumah tangga ini, Ya Robb.
Seusai salat subuh, tatapan mata ini terpaku pada sebuah buku tebal
yang selalu dibaca oleh suamiku sepulangnya dari masjid, aku selalu menolaknya
jika ia memintaku duduk untuk mendengarkan. Kuambil kitab itu, aku pun mulai
membacanya sedikit demi sedikit setiap bab kitab itu.
~o~
Tak terasa 40 hari telah berlalu.
Dirinya muncul di hadapanku.
“Apa kabarmu, Sofie?”
“Alhamdulillah, aku dan anak-anak baik semua, Mas.”
“Syukurlah, karena bila seorang suami sedang meninggalkan rumah
untuk berdakwah maka Allah SWT akan menjaga anggota keluarganya sengan ribuan
malaikat.”
Kutatap lekat wajah suamiku. Tak kuasa air mata ini menetes.
Kubuang segala gengsi dalam diri, tanpa ada komando dari siapa pun aku pun
memeluknya erat.
“Aku merindukanmu, Mas.”
“Begitu pun diriku. Tak henti kupinta kepada Allah SWT agar tetap
menjadikanmu pendampingku, kalau pun kita ditakdirkan berpisah biarlah aku yang
meninggalkanmu karena-Nya.”
Entah mengapa, hilanglah segala amarah hatiku. Kepulangannya bagai
air hujan di gersangnya kegalauanku. Sikap bertambah manis hari demi hari, tak
segan dirinya membantuku mengerjakan pekerjaan rumah tangga walau telah lelah
mengerjakan orderan jahitan. Dengan kata lain dia benar-benar menjadikan aku
ratu yang paling ia cintai.
Kejadian saat itu memangbenar-benar menjadi pelajaran berharga
khususnya untuk diriku. Walau sebenarnya aku masih tidak setuju tapi kini
berusaha menghargai keputusannya dan tidak lagi menghalangi kegiatan dakwah
yang ia ikuti.
~o~
Waktu terus berlalu, usaha kecil-kecilan yang kami geluti memang
cukup untuk memenuhi kebutuhan kami, setidaknya aku tidak memerlukan suntikan
dana dari kedua orang tuaku seperti kakak-kakakku.
Hari ini konsentrasiku agak terganggu, Sulung selalu dalam
pandanganku. Aku pun segera menyelesaikan pekerjaanku dan segera menemaninya
beraktifitas. Entahlah, sepertinya ada kegelisahan menyelinap dalam hatiku.
Malam hari, Sulung tak memejamkan matanya sama sekali, walau ini
kerap terjadi padanya hanya kali ini kurasakan ada sesuatu yang berbeda. Dengan
terkantuk aku pun berusaha menemaninya bergantian dengan suami. Menjelang subuh
dia baru mulai terlelap. Suamiku bergegas ke masjid, aku pun segera bersiap
menunaikan ibadah subuh. Selesai tilawah dan zikir pagi yang rutin kukerjakan
terdengar ketukan pintu kamar disertai tangisan lirih.
“Ah, Kak. Baru saja kamu tertidur, kenapa sekarang sudah bangun.
Kemarilah, Sayang.”
Kubersihkan dirinya dan kembali kubawa ke pembaringan, badannya
terasa amat dingin, segera kubaringkan dan kuberi selimut.
“Tunggu sebentar, Umi buatkan susu untukmu, ya.”
Tak berapa lama aku kembali dengan membawa susu untuknya. Kulihat
ia sedang bersujud, aku pikir dia sedang belajar salat seperti yang biasa ia
lakukan, tetapi dugaanku salah, kali ini ia memegangi perutnya seperti menahan
rasa sakit yang teramat sangat. Aku segera membalikkan badannya, berniat
memberikan susu hangat yang baru saja kubuat. Tetapi tanpa kuduga Sulung
tiba-tiba kejang. Tak berapa lama kudengar suara suamiku yang baru datang dari
masjid.
“Abi ... Abi ... Kakak, Biiii.”
Teriakanku bercampur dengan isak tangis. Suamiku segera berlari
menghampiri kami,
“Inalillahi wa ina ilaihi rojiun .... “
“Kakaaaaak ....” jerit tangisku seraya memeluknya, tak kusangka
Allah hanya memberi kesempatan untukku merawatnya selama 6 tahun.
“Sabarlah, Mi.”
Hibur suamiku di balik kesedihannya.
~o~
Aku berusaha merelakan kepergian Sulung, kembali fokus pada
kegiatan harianku.
“Sofie, aku tahu kau masih menyimpan duka kepergiaan anak sulung
kita. Jika kau tidak keberatan, maukah kau ikut berdakwah bersamaku selama tiga
hari ke depan?”
“Apa maksudmu? Bagaimana dengan 2 anak kita lainnya? Order jahitan
banyak yang belum kita selesaikan. Aku telah merelakanmu untuk berdakwah dengan
versimu, Mas. Yang sebenarnya itu masih tidak masuk akal bagiku. Jadi kumohon
jangan paksakan aku untuk mengikuti kegiatan bid’ahmu itu!”
“Luangkanlah waktumu, jika kita membantu agama Allah, maka Allah
pun akan membantu kita. Anak-anak bisa kita titipkan pada orang tuamu atau
orang tuaku. Untuk orderan, insya Allah akan selesai tepat pada waktunya, 3
hari tidak akan mempengaruhi.”
“Cukup, Mas! Aku tidak ingin mendengarnya lagi.”
“Tidak perlu terburu-buru mengambil keputusan, masih ada waktu satu
minggu sebelum kita berangkat.”
Aku tak mengerti perkataannya, kurangkah pengertianku selama ini?
Hingga aku pun harus mengikuti kemauannya?
“Ikutlah, Sofie. Tak ingin tahukah kau apa saja yang kulakukan
selama jauh darimu?”
Benar juga apa katanya.
“Baiklah. Akan kubuktikan bahwa kegiatan kalian selama ini
sia-sia.”
Hari yang direncanakan telah tiba. Kami pergi ke kampung sebelah yang
tak terlalu jauh. Rombongan terdiri dari 4 pasang suami istri, para suami
menginap di masjid, para istri tinggal di rumah seorang warga yang di dalamnya
tidak ada lelaki satu pun karena kepala keluarga anak lelaki yang sudah baligh
pun harus mengikuti program di masjid.
Aku lebih banyak diam, mencoba memahami keadaan. Lihat saja jika
ada yang tidak sesuai syari’ah maka tidak segan akan kutegur.
Para istri mengikuti program yang telah ditetapkan waktu dan
acaranya oleh pemimpin rombongan, semua terjadwal dengan padat. Secara bergilir
kami mendapat tugas membawakan materi pembacaan kitab-kitab hadist, mempelajari
sifat-sifat para Sahabat Rasulullah, mempelajari adab-adab rumah tangga, dan
yang pasti selam 24 jam kami latihan melaksanakan sunnah dari mulai bangun
tidur hingga tidur kembali, termasuk dalam penampilan. Untuk sementara memang
tidak ada yang di luar ketentuan.
Saat pagi di hari kedua, ada acara pertemuan singkat untuk suami
dengan istri. Agak aneh menurutku, tingkah ibu-ibu saat akan bertemu benar-benar
hampir membuatku tertawa. Ada yang berkali-kali menatap cermin, sesekali
merapikan gamis, atau pun jilbab yang sebenarnya tidak berantakan. Padahal
waktu yang diberikan tak lebih dari lima menit. Tak lama namaku dipanggil,
dengan santainya aku berdiri berjalan menuju ruang yang disediakan.
Sampai di depan tirai pembatas langkahku terhenti, entah mengapa
jantung ini berdetak kencang, kupilin ujung jilbab.
Ah, sebaiknya tidak usah aku ikuti acara yang satu ini. Aku segera
berbalik badan tapi, bagaimana kabarnya saat ini yah?
Kugigit jari yang tak berkuku, dengan membaca Bismillah aku pun
masuk ke ruangan.
“Bagaimana kabarmu, Sofie? Apakah ada kendala yang kau alami?”
“Alhamdulillah, tidak ada kendala, Mas.”
“Syukurlah, manfaatkan waktumu di sini sebaik mungkin. Hindari
percakapan yang tidak penting. Inilah saatnya kau amalkan ilmu yang kau miliki
tanpa harus terganggu dengan kegiatan rumah tangga yang selama ini kau jalani.”
Tak banyak kata-kata yang terucap, aku hanya menatapnya dalam.
“Yah, kau benar, Mas. Ilmuku memang banyak, tetapi sedikit yang
baru bisa aku amalkan.”
Pikiranku pun mulai terbuka, kini aku tak lagi meributkan kegiatan
dakwah yang selama ini suami ikuti. Empat tahun berlalu dari kepergian si
Sulung. Aku pun mulai aktif mendampinginya dalam berdakwah sesuai dengan aturan
yang ada.
Senja menguning, teriring semilir angin sejuk yang berembus kini.
Namun, keringat dengan deras mengucur dengan deras dari tubuh suamiku.
“Kenapa,Mas?”
“Sepertinya batu ginjal ini meminta perhatian.”
Tanpa berpikir panjang aku segera membawanya ke rumah sakit di
kota, sesampainya di sana suamiku langsung masuk ke UGD. Dokter memintaku
menunggu di luar, sementara para petugas medis bekerja. Aku pun segera berwudhu
dan bertilawah di ruang tunggu untuk menenangkan hati ini.
Esok harinya, perawat menghampiriku.
“Ibu Sofie, jika nanti keadaan pasien telah stabil. Operasi batu
ginjal harus segera dilaksanakan.”
Aku menarik napas panjang mendengarnya. Petugas telah memberikan
izin untuk aku menemuinya.
“Sabarlah, Mas. Allah sedang menghapus dosa-dosamu melalui penyakit
ini.”
“Insya Allah, Sofie. Bantu aku dengan doamu. Karena, hanya doa
seorang istri shalehah yang dapat meringankan rasa sakit ini.”
Kau paksakan tersenyum di balik wajah pucat itu.
“Iya, Mas. Pasti. Aku selalu mendoakanmu.”
Aku tak tahan menatap wajahnya ketika sedang menahan rasa sakit,
pucat pasi diseling suara mengerang ketika akan membuang hadas kecilnya. Tidak.
Bukan erangan, melainkan zikir parau yang terucap.
“Besok Bapak sudah bisa pindah dari ruang UGD ke ruang rawat, Bu.
Kita lihat kondisinya, kalau stabil segera kita laksanakan operasinya.”
Jelas seorang Dokter ketika memeriksa. Aku pun lega mendengarnya.
Dan tetap berharap mendapatkan hal yang terbaik dari ujian kali ini.
“Maafkan aku, Sofie.”
“Apa maksudmu, Mas.”
“Aku telah merepotkanmu kali ini.”
“Tak sepantasnya kau bicara seperti itu. Ini adalah kewajibanku,
bersabarlah, Mas.”
“Kau wanita cerdas. Itulah yang membuatku jatuh cinta kepadamu,
dari awal hingga kini. Kau pasti bisa merawat anank-anak kita dan juga
memberikan ilmu yang lebih bermanfaat dari sekedar ilmu dunia.”
“Akulah yang beruntung telah terpilih untuk menjadi pendampingmu,
Mas.”
“Maafkan aku, Sofie. Selama ini kau pasti merasa tidak nyaman
dengan kegiatan dakwah yang kujalankan. Maaf, jika aku terkesan memaksamu.
Hanya saja aku sangat risau akan ilmu yang kau miliki tetapi tidak sempat kau
amalkan hanya karena aku pun ikut melibatkanmu dalam urusan mencari rezeki.”
“Tidak, tidak seperti itu, Mas,“ tak sanggup kutahan butiran bening
dari sudut mata ini,
“akulah yang seharusnya meminta maaf, walau ilmumu tidak banyak
tetapi kau sanggup mengerjakan amalan secara istiqomah. Entah apa yang ada di
otakku ini. Terlalu sombong dengan tingkat pendidikan agama yang kudapat,
dengan semua teori agama dan hadis yang kuhafal. Tapi aku belum sanggup untuk
mengamalkannya dalam keseharianku. Untuk itu aku pun mengucapkan terima kasih,
Mas. Karena kau telah membuka jalan pikiranku.”
“Itulah yang selalu aku minta kepada Allah SWT, agar kau mau
menerima dan ikut berdakwah bersamaku. Kau tentu tahu, jika kaum laki-laki
hanyalah terbatas dalam menyampaikan dakwah kepada wanita, ada bidang tertentu
yang terasa sungkan untuk disampaikan. Berbeda jika wanita dengan wanita, dan
dengan ilmu yang kau miliki itulah, kau dapat membantu sesama kaummu.”
“Ya, Mas, aku mengerti. Sekarang istirahatlah, sudah pukul 9
malam.”
Suamiku hanya menjawab dengan senyuman dan genggaman tangan yang
erat. Aku pun merapikan posisi selimutnya dan memintanya kembali untuk
memejamkan mata. Aku menatapnya sambil melantunkan ayat-ayat suci, wajah bijak
itu terlihat sangat menikmati alunan tilawah yang kubacakan hingga akhirnyamata
terpejam.
Dua jam berselang, suamiku tiba-tiba terbangun dan mengeluh ada
rasa sakit di bagian dada, ia pun memintaku agar memanggil perawat untuk
memasangkan kembali selang oksigen untuknya. Perawat pun datang dengan segera,
dengan sigap perawat itu memasang selang oksigen sesuai permintaan kami. Namun,
entah mengapa sepertinya napas suamiku mejadi semakin sesak, kupegang tangannya
erat-erat, ia pun menatapku seperti hendak menyampaikan sesuatu.
“Ada apa, Mas? Apa yang kau rasakan? Biar aku panggilkan perawat
kembali. ”
Suamiku menarik tanganku, menggenggamnya lebih erat dari
genggamanku seakan tak ingin aku pergi sedetik pun darinya. Sedang dari
mulutnya terucap kalimat thoyibah yang selalu bersambung, genggaman tangannya
semakin erat aku pun mendekatkan telingaku ke wajahnya, zikir pun taklepas dari
bibirku, berharap Allah meringankan rasa sakit yang suamiku rasakan saat ini.
Keringat mengucur deras dari keningnya.
“Ya Allah, tolong suami hamba .... “
“Laa ilaha ilallaaaaaah ... Allahuma sholli’alla Muhammaaaad ... “
Entah telah puluhan atau ratusan kali kalimat itu diulang-ulang oleh suamiku,
tapi kali ini zikir yang ia ucapkan semakin kuat dan panjang seakan
melampiaskan kesakitan yang ia rasakan, ia pun melepaskan genggaman tangan dan
matanya terpejam.
“Innalillahi wa ina ilaihirojiun ... Mas ... Mas ... Perawaaaaat
... Dokteeeeer ... “
Pertahananku runtuh.
Tersadar bahwa telah kehilangan orang yang benar-benar mencintaiku.
Kini isak tangis pun tak ada gunanya. Sesal memenuhi ruang batinku,
terlintas semua kenangan saat aku selalu menentangnya, selalu sombong akan ilmu
yang aku miliki sepahit apa pun ucapan yang terlontar dari bibir ini tak pernah
ia balas dengan ucapan yang lebih menyakitkan melainkan dengan sikapnya yang
selalu menunjukan bahwa dirinya sangat mencintaiku.
~o~
Sembilan bulan berlalu, rasa kehilangan tak dapat terus kusimpan,
aku masih memiliki dua orang anak yang masih memerlukan kehadiranku, walau kini
tanpa dirinya di sampingku. Aku tak boleh lemah di hadapan mereka, kulanjutkan
usaha yang kurintis dari awal bersama suamiku, terus berusaha dan berdoa.
Karena aku yakin Allah Maha Pemberi Rezeki.
Dengan penuh kasih sayang kulimpahkan perhatianku kepada mereka
berdua, aku tidak ingin mereka merasa kehilangan salah satu orang tua mereka.
Terutama anak bungsuku yang juga memiliki kelemahan fisik sejak lahir sehingga
membuatnya sering jatuh sakit dan kini menderita kelumpuhan. Siang hari,
seperti biasa aku mengerjakan orderan jahit lalu sore hari kuusahakan melayani
mereka sebaik-baiknya.
“Umi ... Badan adik panas.”
Putri keduaku menghampiriku bada maghrib, aku pun segera berlari ke
kamar si Bungsu.
“Astaghfirullah .... “ aku pun menjerit saat kupegang suhu badan
Bungsu sangat tinggi, kupeluk dirinya, “Allaaaah .... “ Bungsu kejang,
membuatku panik. Tak menunggu lama aku pun segera membawanya ke rumah sakit
diantar oleh adikku yang tinggal di sebelah rumahku, aku meminta anak keduaku
untuk tetap di rumah.
“Ya Allah, kuatkan Bungsuuu.”
Bungsu harus segera mendapat perawatan Rumah Sakit.
“Maaf, Bu. Kami tidak dapat menerima pasien, karena keterbatasan
alat medis.”
Tanpa pikir panjang aku segera membawanya ke Rumah Sakit di kota
yang lebih lengkap, dan aku tahu biayanya jauh lebih mahal. Sesampainya di
ruang administrasi kulihat sisa uang di dompet, hanya tersisa satu juta rupiah.
Tapi tak aku pikirkan, Allah Maha Adil juga Maha Tahu akan kemampuan hamba-Nya
dan pasti akan menolong hamba-Nya. Akhirnya Bungsu masuk ke ruang rawat inap.
Suhu badannya belum turun juga, di sela zikir pikirku melayang, teringat akan
kondisi keuanganku yang hanya tersisa satu juta rupiah.
“Ya Allah, Engka Maha Adil. Engkau Maha Tahu berapa banyak
kemampuan dan kekuatanku.”
Batinku menguatkan diri sendiri.
Tengah malam detak jantung Bungsu semakin melemah, aku meminta
perawat untuk memeriksanya, Bungsu menatap wajahku dengan tatapan yang
membuatku iba, kupegang tangannya yang terasa sangat dingin, kutarik napas
dalam, seandainya aku dapat bertukar tempat dengannya. Perlahan Bungsu
melepaskan genggaman tanganku dan mulai menutup matanya.
“Maaf, Bu. Pasien telah pergi.”
Ucap Perawat yang dari tadi sibuk memeriksa Bungsu.
“Inalillahi wa ina ilaihi rojiun .... “
Dada ini kembali sesak, air mata ini seakan tak mampu lagi
mengalir, untuk kesekian kalinya amanah-amanah itu terambil kembali kepada
Pemilik-Nya.
~O~
Puluhan tahun berlalu, aku tersadar bahwa hidup ini tak selamanya
indah. Saat ini aku tinggal berdua dengan putri keduaku. Dengan perlahan Allah
menggantikan kesedihanku dengan majunya usaha yang kurintis bersama suami.
Namun, jika saja berandai-andai itu diizinkan oleh agama, aku lebih memilih
hidup sederhana bersama seluruh keluarga. Jika pikiranku melayang kembali ke
sana, bayang suamiku selalu hadir, seakan mengingatkan bahwa Allah Maha Pembuat
Keputusan, karena semua ini terjadi atas izin-Nya.
Saat-saat bersamanya adalah proses pembelajaran diri yang teramat
sangat berharga, dan kini aku dapat merasakan betapa kuatnya jiwa dakwah yang
telah berhasil suamiku tanamkan dalam diri ini. Bahwa pengamalan ilmu agama itu
lebih penting dari ilmu itu sendiri, bahwa menyampaikan kebaikan itu juga sama
pentingnya dengan melaksanakan untuk diri sendiri.
Aku terus berusaha mendidik putriku dan juga diri sendiri betapa
pentingnya kalimat Laa ila ha ilallah itu benar-benar masuk ke dalam hati, agar
tidak ada lagi keyakinan kepada makhluk, hanya yakin pada kuasa-Nya. Pentingnya
saling mengingatkan dan mengajak pada kewajiban yang telah ditetapkan untuk
seorang hamba, di mana pun, kapan pun, dengan fasilitas apa pun dan juga
keadaan apa pun.
___end___
Terinspirasi kisah seorang Ahliah dari Mojokerto.
Membaca ini ...sambil terisak...bahkn rasanya ada yg lebih dahsyat bergelora dalam dada.
ReplyDeleteMasya Alloh.kisah hidup yg syarat makna tapi pedih banget rasanya.T_T semoga Alloh memberikan yg terbaik.Aamiin
Saat menulisnya pun aku menangis. Semoga Allah memberikan kebahagiaan dunia akhirat untuk pemilik kisah.
ReplyDelete@prajuritkecil99 ™
ReplyDeleteinsya Allah, kalau sudah banyak.. :)
Sesak ...
ReplyDeleteMashaAllaah..lumer air mata barakallahu fiikum sampaikan salam kpd pemilik kisah juga ya umm citra :)
ReplyDeletemasih belum menemukan clue beda harokahnya. mmm...saya yang kurang ilmu....
ReplyDelete