Rose, sebutlah ia dengan nama itu. Kami berteman sejak masa sekolah dasar. Anak itu lucu, dengan kulit putih dan berambut keriting. Tubuhnya agak gemuk dan lebih pendek dariku. Keceriaan selalu ia hadirkan saat kami bersama, ia anak yang tekun, terkadang membantu Ibunya berjualan sayuran di pasar. Mereka memang keluarga perantauan berasal dari salah satu daerah di Sumatra Utara.
Sekolah dasar kami sekolah umum yang diisi oleh penduduk setempat. Saat pelajaran Agama Islam, Pak Guru meminta murid yang beragama lain untuk belajar di perpustakaan, teman-temanku mengikuti peraturan itu. Tapi berbeda dengan Rose, ia memilih tetap di kelas dengan alasan ia mau ikut belajar. Karena keteguhannya itu akhirnya Pak Guru pun mengizinkan.
Sekolah dasar kami sekolah umum yang diisi oleh penduduk setempat. Saat pelajaran Agama Islam, Pak Guru meminta murid yang beragama lain untuk belajar di perpustakaan, teman-temanku mengikuti peraturan itu. Tapi berbeda dengan Rose, ia memilih tetap di kelas dengan alasan ia mau ikut belajar. Karena keteguhannya itu akhirnya Pak Guru pun mengizinkan.
Kami
bersama hingga tingkat menengah pertama. Walau tidak satu kelas. Tapi kami
sering kali bertegur sapa walau tak lagi sering bermain bersama. Dan ketika
sekolah tingkat atas kami tak lagi satu sekolah.
Beberapa
tahun tak jumpa, hingga satu saat aku tak sengaja berpapasan dengannya. Rose
terlihat anggun dengan gamis dan kerudung. Ia berjalan dengan seorang ibu
setengah baya, belakangan kutahu bahwa ibu itu adalah ibu mertua, Rose telah
menikah, memiliki satu orang anak dan telah memeluk Islam, dan saat itu ia ingin
menghadiri pengajian ibu-ibu di daerah dekat rumahnya yang agak jauh dari
rumahku.
Masyaa
Allah.
Saat
itu aku masih sangat sibuk dengan kehidupan, dengan jadwal yang tak tentu kapan
selesainya. Jangankan ikut pengajian, ah entahlah, iman masih sangat morat
marit.
Kami
masih sering berjumpa, dengan frekwensi yang sedikit tentunya. Aku hanya
sekedar mendapatkan sedikit kabar darinya, kudengar ia bekerja sebagai operator
di salah satu pabrik dekat rumah.
Setelah berumah tangga keseharian
yang kuhabiskan hanyalah di dalam rumah. Hingga suatu saat sebuah berita terdengar. Suami
Rose meninggal karena over dosis.
Satu
kekhawatiran yang terlintas di otakku saat itu adalah, keimanan Rose.
Beberapa
saat hal itu menghantuiku. Bukanlah hal yang mudah untuk memutuskan pindah
agama. Ia pasti kesulitan dalam menghadapi keluarga, dan kini masalah inti yang
benar-benar fatal kembali ia hadapi.
Entah
bagaimana aku pun tak mengerti, Allah sepertinya memudahkanku. Rose pindah
kembali ke lingkungan dekat rumahku. Allah memberikan sedikit waktu untuk kami bercakap-cakap
sepulang ia bekerja. Aku mulai bertanya tentang keadaannya, ia mengakui
kehidupan pribadi dan rumah tangganya tidaklah seindah seperti apa yang pernah
ia bayangkan. Tapi ada satu ucapannya yang membuatku menarik napas panjang.
“Suamiku
mungkin bukanlah seorang lelaki dan muslim yang baik. Tapi ia telah
mengenalkanku pada Yang Maha Pengasih. Itu adalah hal yang paling berharga
untukku.”
Walau
beberapa kali keluarga memintanya untuk kembali pada agama yang dulu, tapi ia
tetap memilih berada dalam naungan Islam. Aku tersenyum menatapnya. Wajah
bulatnya yang dihiasi jilbab pendek masih lucu dan ceria seperti dulu.
Semoga
kita tetap dalam keadaan iman yang istiqomah, Rose.
Hidayah cukup mahal harganya ya. Rose telah memilih utk menggenggamnya erat dan dia bangga dengan suaminya karena telah mengantarkannya dalam hidayah itu. Moga tetap istiqomah
ReplyDeleteIya, hidayah cukup mahal. Allah hanya memberi kepada mereka yang menginginkan dan bersungguh-sungguh.. aamiin,semoga Allah istiqoamahkan mereka yang memegang hidayah..
ReplyDeleteTerima kasih Catcilku. :)