Judul: Sepasang Pejuang
Oleh: Anggarani Citra
"Penjajah tak boleh menang di negeri ini, Bu. Sampai kapan pun!" ucap Tiro setengah memekik.
Hasanah sibuk merapikan semua perlengkapan ke dalam tas. Sedangkan Tiro dengan serius membersihkan senapan tua yang berhasil ia rebut dari Prajurit Belanda saat bertempur.
"Kita sudah tua, Pak. Biar yang muda yang berjuang."
Ucapan Hasanah terdengar begitu lirih.
"Tidak bisa, Bu. Jangan mau kalah sama yang muda. Mereka boleh memiliki fisik yang kuat. Tapi mental mereka lembek."
Hasanah yang duduk di tepi ranjang reot kini mengangkat wajahnya, pekerjaannya telah selesai. Ia menatap laki-laki yang telah berdiri lengkap dengan pakaian tempur. Laki-laki itu tak lagi muda. Wajahnya penuh keriput dan juga pipi yang mulai kempot. Hasanah menelan ludah, matanya berkaca-kaca.
"Pak ...."
"Jangan! Jangan menangis, Hasanah. Kau sudah tahu bahwa ini akan terjadi sejak awal kita menikah. Aku harus pergi ke dalam setiap pertempuran."
Tiro membelai lembut kepala Hasanah kemudian meraih wanita setia itu ke dalam pelukan. Tiro menghapus air mata Hasanah.
"Aku mohon, jangan menangis, Hasanah. Jangan kotori wajah cantikmu itu dengan air mata."
Hasanah tertawa mendengar ucapan Tiro. Laki-laki tua itu memang pandai mengambil hatinya.
"Kau bisa bertahan denganku dalam kondisi apa pun. Kau tidak menangis ketika aku pergi dua bulan saat bertempur melawan Belanda, padahal aku pergi tanpa meninggalkan beras sebutir pun di rumah. Begitu pula saat Jepang menyerang. Kauingat, kan? Bahkan kau ikut di sampingku, merawat rekan-rekan seperjuangan dan kita melawan Jepang bersama-sama."
Hasanah mengangguk dalam pelukan Tiro. Tiro benar, dirinya bukanlah seorang wanita lemah. Ia pun bersedia meregang nyawa untuk negeri ini. Hasanah berdiri tegap penuh semangat di depan Tiro.
"Kau benar, Pak. Kita tidak boleh menyerah. Aku akan terus ikut bersamamu. Merdeka!"
"Merdeka!"
Pekik mereka bersahutan.
"Kakek dan Nenek Tiro, sekarang sudah waktunya pergi."
Seorang anak muda telah berdiri di depan mereka. Dua sejoli itu pun mengangguk bersamaan.
Mereka melangkah dengan gagah, meninggalkan rumah yang sudah tak sanggup lagi mereka bayar biaya sewanya. Melewati gedung-gedung tinggi yang pintunya tak akan pernah terbuka untuk mereka. Mencari sela di gang sempit yang dapat mereka gunakan untuk tempat tinggal berikutnya.
walaupun ini fiksi, saya membayangkannya jadi sedih. Kebayang sudah tua dan tidak punya tempat tinggal. Hiks :(
ReplyDeleteAduh, ternyata harus berjuang mencari rumah baru huhuhu. nice story.
ReplyDeleteBangga sama semangat berjuangnya...
ReplyDeleteAntara senapan dan rumah tinggal. Split ending banget.
ReplyDeleteSuka banget ceritanya mba.
ReplyDeleteReal banget..terbayangkan akan sebuah kehidupan renta yg terpinggir dari kehidupan
ReplyDelete