Suatu hari di pam bensin. Sambil ngantri aku mendekati
padang rumput. Tak lama datang seorang
perempuan dan berdiri tak jauh dari situ. Aku dibuat kaget ketika dia membuka
helmnya.
Naluri kecerewetan mulai muncul. Warna pakaian yang dia pakai sangat kontras
dengan kulitnya. Tidak cocok. Warna lipstick juga tidak cocok dengan kulitnya
sehingga nampak menor. Style pakaian juga tidak cocok dengan usianya. Semua itu,
hanyalah meninggalkan nilai minus pada dirinya.Begitulah pandanganku saat itu.
Menurutku, dia cocoknya pakai warna
begini, warna lipstick begini, bedaknya jangan tebal, dan dengan style begini
yang cocok dengan usianya. Terbayanglah perempuan dewasa yang anggun di
benakku.
Masih di tempat itu, aku tersadar. Itu
menurutku. Lalu, bagaimana aku menurut dia. Mungkin menurut dia, warna dan
style pakaian yang kupakai juga tidak cocok. Artinya: juga ketimpangan menurut
kacamata atau pandangan masing-masing.
Hal ini sering pada manusia
umumnya. Cocok menurut satu orang, belum tentu cocok menurut orang lain. Sering
dikenalnya, sawang sinawang.
Orang kaya melihat orang miskin
berkata, “Enaknya hidup dia. Dia kelihatan tenang, walaupun hidupnya pas-pasan.
Aku selalu saja sibuk dan stress karena hal ini itu.”
Sebaliknya orang miskin berkata, “Enaknya
dia. Punya rumah yang luas, kendaraan yang mewah, mau apa saja bisa didapat. Sedangkan
aku, mencari receh aja susahnya minta ampun.”
Beda lagi orang ketiga, “Ah, enakan
miskin, tapi senang, tenang, dan ga banyak urusan.”
Orang ke empat ngomong, “Muka
pemalas.”
Begitulah. Kita tidak akan pernah
mencapai kesepakatan dalam pandangan orang banyak.
Tetapi kita hidup bersosial, apa
salahnya kita mendengarkan pendapat orang lain?
Memang tidak salah mendengar
pendapat orang lain karena kadang kala pendapat orang lain ada benarnya. Tapi,
adakalanya perbedaan selera dan pendapat tidak bisa disatukan sama sekali,
seperti selera berpakaian.
Jika kita hanya menilai menurut kacamata
kita, yang terjadi hanyalah saling menjelekkan dan perpecehan.
Lalu, mungkinkah kita bisa menutup
segalanya, sedangkan setiap orang mempunyai potensi menilai dan memberi opini
dalam setiap apa yang dilihat dan didengar?
Semuanya, kita kembalikan pada jalan kebaikan. Apakah harus kita sampaikan pendapat kita, yang nantinya akan memberikan salah satu dampak: perbaikan atau perpecahan.
Semuanya, kita kembalikan pada jalan kebaikan. Apakah harus kita sampaikan pendapat kita, yang nantinya akan memberikan salah satu dampak: perbaikan atau perpecahan.
Atau diam saja, dengan sok tidak
melihat atau sok fleksibel
Atau diam dengan berpikir positif dan
mengambil hikmah di balik semua yang kita lihat dan dengar, yang nantinya
apakah akan dilanjutkan dengan tindakan karena memang manusia juga memiliki
potensi peduli atau diam adalah lebih baik.
Lalu, di antara sekian pendapat,
bisakah diambil titik tengahnya. Bisa. Dengan mengembalikan kepada ‘Kacamata’ Allah
yang dibawa Rasul-Nya.
Islam merupakan aturan dan gaya
hidup yang cocok untuk seluruh manusia sampai akhir zaman karena pemberi aturan
adalah Allah. Dzat yang menciptakan Manusia dan seluruh makhluk di muka bumi. Pencipta
lebih tau yang terbaik buat yang diciptakannya.
Memang adakalanya, dalam hal sepele
tidak bisa disinggung dalam agama. Namun, rasanya terlalu cerewet jika manusia
mengurus hal yang sepele itu.
Misalnya masalah pakaian, dalam
agama pakaian yang terbaik adalah :
1.
Pakaian yang menutup aurat
(pakaian taqwa). Menurut standar Islam bagaimana pakaian taqwa itu.
2.
Berhias (supaya nyaman
dilihat orang lain): Rasulullah memakai yang terbaik dimiliki untuk menerima
tamu. Untuk perempuan: yang terbaik untuk suami, bukan untuk dilihat laki-laki
yang bukan mahram. Untuk bertemu orang lain, yang di bawah standarnya dari
untuk suami, tapi sopan dan nyaman dilihat orang lain.
3.
Tidak berlebihan: (walaa tusrifuu), apalagi jangan sampai
terbersit untuk berbangga diri.
4.
Dan tidak latah mengikuti
arus zaman : “Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya
mereka akan menyesatkanmu dari Allah. Yang mereka ikuti itu hanyalah
prasangkaan belaka dan mereka hanyalah membuat kebohongan.” (Al-An’am : 116).
Boleh saja mengikuti style trendi, tetapi semua itu harus kembalikan pada agama. Sudahkah memenuhi standar takwa. Misalnya: pakaian yang membentuk tubuh. Bukan sekadar cocok tidaknya standar usia, tetapi pakaian membentuk tubuh dilarang dalam agama. Atau pakaian tersebut, apakah tidak termasuk tasyabbuh dengan agama lain.
Boleh saja mengikuti style trendi, tetapi semua itu harus kembalikan pada agama. Sudahkah memenuhi standar takwa. Misalnya: pakaian yang membentuk tubuh. Bukan sekadar cocok tidaknya standar usia, tetapi pakaian membentuk tubuh dilarang dalam agama. Atau pakaian tersebut, apakah tidak termasuk tasyabbuh dengan agama lain.
Bagus menurut sebagian manusia, tetapi tidak dalam agama, itu hanyalah prasangka belaka dan kebohongan yang diciptakan oleh bisikan setan.
Manusia tersebut terlalu cerewet,
jika sibuk mengurusi si fulanah cocoknya warna ini, pakai tali, begini dan
begini.
Warna dan style apapun akan cocok,
jika disandarkan kepada takwa.
Misalnya lagi
masalah harta: dalam agama yang terbaik adalah diimbangi takwa. Kaya akan baik
jika bertakwa. Miskin pun baik, jika bertakwa. Yang tak baik, kaya tak bertakwa
dan si miskin yang juga miskin agama.
Terlalu cerewet rasanya jika kita terlalu memikirkan seseorang itu, pasnya penghasilannya
berapa dan pengeluarannya berapa. Karena memang setiap orang berbeda-beda
kebutuhannya. Perbedaan penghasilan dan pengeluaran tidak akan menimbulkan
masalah, jika diimbangi takwa.
iya aku juga sering kaya gitu, sekarang lagi tahap belajar untuk menahan diri nggak nilai orang lain berdasarkan penampilannya saja
ReplyDelete