"Beda zaman beda kehidupan."
Tentu banyak yang dapat merasakan perbedaan masa kecil yang dilalui oleh anak-anak saat ini dengan anak-anak yang berada di tahun kisaran 80-90 an.
Banyak sekali permainan-permainan yang lebih mengeksplor ketangkasan, kecerdasan, kebersamaan dan juga mengandung unsur kebudayaan tiap-tiap wilayah yang ditempati.
Untuk mengenang masa-masa indah saat kecil dulu, maka terbitlah sebuah buku dengan judul "ROMANTIKA PERMAINAN TRADISIONAL".
Buku yang terdiri cerita-cerita pendek yang melibatkan sebuah permainan tradisional dalam setiap kisahnya ini sanggup membawa kita kembali merasakan masa-masa anak-anak bermain bebas di antara tahun 80-90 an.
Terdiri dari 28 cerpen
Harga 49.000
Berminat hubungi via inbox fb Anggarani Ahliah Citra
Sinopsis
MENJOLOK REMBULAN
Oleh. Dimas Joko
Den Mas tak pernah menyangka kalau anak-anak itu serius dengan perkataan mereka. Ia mencegah si pemuda, cucu angkatnya, saat hendak menegur perbuatan mereka.
Si pemuda menganggap usaha mereka sia-sia saja. Bagaimana mungkin rembulan bisa digaet dengan batang-batang bambu?
Tidakkah dengan piranti telekomunikasi canggih dan akses internet yang serba mudah, mereka mengerti betapa jauhnya jarak bulan dan bumi?
Mau tak mau, si pemuda harus mengerti. Walau termasuk generasi melek teknologi, tidak selamanya mereka mengerti hal-hal yang sangat mendasar. Nalar mereka tetap saja anak-anak. Polos, naif, dan tidak mengenal kata aneh.
Terlebih, si kakek menandaskan agar ia memberi bocah-bocah itu kesempatan untuk mencoba mewujudkan keyakinan mereka. Walau keyakinan itu ganjil dan keliru.
Saat si gendut duduk bersandar pohon Duwet karena kelelahan, Den Mas menggamit si pemuda. Keduanya melangkah mendekat.
Tanyanya,
“Apa yang kalian lakukan malam-malam begini?”
Anak-anak itu terperanjat. Sesaat, keempat bocah laki-laki kebingungan menjawab. Mereka saling berpandangan. Namun, bocah perempuan itu berdiri dan menyahut dengan mantap.
“Kami hendak menjolok rembulan!”
Kue Pejam Mata
Oleh: Elfi Ratna Sari
Rani makin kebingungan. Mata tertutup membuatnya sulit menemukan si pemilik suara. Namun, ia tak tinggal diam, gerakan meraba masih dilakukan. Berharap segera ada tubuh yang diraih, lalu menggantikannya jaga.
Memang nasib sial Rani, ketika 'hom pim pa' pertama Toni menelungkupkan telapak tangan, sedang yang lain terbuka. Sehingga Tonilah yang lolos. Hom pim pa kedua, telapak tangan Kiki terbuka sendiri, jadi ia yang aman berikutnya.
Tinggal Rani dan Devi. Tidak ada kata 'hom pim pa' jikalau hanya dua orang. Suit adalah cara terampuh menentukan siapa yang terakhir selamat, dan siapa yang jaga. Keduanya menyembunyikan kepalan tangan di belakang kepala.
"Suiiit ... jreng!"
mantra yang terucap lantang. Devi memasang jempol sedang Rani telunjuk. Gajah lawan manusia, Rani kalah.
Suara makin berbaur tak tentu, namun Rani tetap memasang semangat di tengah kucuran keringat tubuh hitamnya. Menit berlalu, suara tak karuan lenyap. Meninggalkan tanda tanya besar di pikirannya. Masih saja ia memutar, berkeliling dengan rabaan mencari para sepupu.
"Kalian di mana?"
Tak satu mulut pun menjawab. Karena rasa penasaran yang membuncah, akhirnya dilepas olehnya kaos kecut Ton sebagai penutup mata. Rani sudah tidak peduli akan dicap curang. Tapi alangkah kaget, ketika ia memandang sekeliling. Hanya ada daun dan debu yang berterbangan. Garis di tanah yang tergores ranting sehingga membentuk lingkaran, tak menyisakan seorang di dalamnya. Mereka lebih curang, keluar garis dan menghilang.
MISTERI SEBUAH BAYANG
By. Anggarani Ahliah Citra
Malam ini aku sama sekali tidak dapat memejamkan mata. Aku pun keluar kamar, lalu duduk di beranda depan. Mbah Min pasti sudah terlelap. Ruang kelas menjadi sasaran tatapan mata ini, kosong, sama seperti tiga bulan lalu saat kedatanganku pertama kali. Hanya ada Mbah Min yang dipercaya untuk menempati bangunan ini.
“Tolooooong ....”
Aku tersentak!
Sebuah jeritan seorang anak perempuan tertangkap telinga. Mataku menyapu semua yang ada di hadapan, apakah itu suara penunggu hutan di seberang rumah?
Kukumpulkan semua keberanian, jeritan itu masih terdengar dan sangat dekat. Aku melangkah sambil mencoba menerka arah datangnya suara. Kaki ini terhenti di balik dinding rumah bagian belakang. Dua orang menggunakan penutup wajah membopong seorang anak perempuan yang tidak lain adalah, Lintang.
“eMmeHmm ....”
Tiba-tiba sebuah telapak tangan membekap mulutku dari belakang.
“Diam!”
Aku menoleh ke belakang dengan mulut yang masih terbekap. Laki-laki gondrong yang selama ini aku lihat di balik pepohonan. Ya, tidak salah lagi. Ternyata....
0 Response to "ROMANTIKA PERMAINAN TRADISIONAL"
Post a Comment
Tinggalkan jejakmu di sini :)
Maaf, mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar. Thanks.