Hidayah Cinta




 Sambut mesra hatiku oh bahagianya.
Bersamamu menapaki jalan surga.
Makna dua bait syair ini memang sangat jauh dalam rumah tangganya. Namun, lagu itulah yang membuatnya bertahan di tempat maksiat ini.
***
Ia meletakkan tubuh Renata yang telah hilang kesadaran ke atas ranjang. Dengan tanggap ia melepaskan pakaian Renata, lalu menyelimuti tubuh istrinya itu.
Pandangannya beralih ke kalender di atas meja samping ranjang. Lalu menambah tanda silang yang telah berjejer.
Sembilan puluh lima hari lagi. Ricky menghitung hari perjanjian itu. Ia tak yakin, apakah imannya bisa bertahan. Dalam 5 hari saja berada di tempat itu, imannya terasa meluber. Musik. Wanita-wanita menggiurkan. Allahu Robbi.
Pikirannya melayang pada kejadian beberapa hari yang lalu. 
“Ah, aku bosan, setiap hari dengar ceramahmu!” teriak Renata. “Oke, begini saja. Aku mau mengikuti jejakmu, asal kau temani aku ke diskotik selama 100 malam.”
“Apaaa? Menemanimu ke diskotik?”
“Kenapa? Menurutku impas. Aku mengikutimu setelah kau memenuhi permintaanku.”
Ricky terdiam. Ia sudah melakukan berbagai cara untuk menyadarkan Renata, tapi selalu saja mendapatkan respon yang tidak baik. Ia tidak tau lagi, adakah jalan lain, selain berharap Renata menepati janji.
“Baiklah.”
Pikirannya beralih pada kehidupan mereka sebelum mengenal hidayah.
Ia langsung jatuh cinta pada Renata saat pandangan pertama. Cinta telah membuatnya buta segala hal. Renata suka hidup dengan kegelamoran dan pesta.
Ia tak memerdulikan semua itu, asal Renata bahagia.
Kehidupan Ricky mulai berubah setelah ditimpa berbagai cobaan. Usaha orang tua yang caruk marut beralih ke pundaknya. Ia sangat frustasi saat itu. Berlari ke minuman, tidaklah merubah keadaan. Malah nasib ratusan karyawan semakin terancam. Saat itulah ia menyadari betapa penting keberadaan Allah dalam kehidupan.
Ia memulai hidup baru dengan bimbingan seorang imam di sebuah masjid.
Setelah menemukan hidayah, ia tersadar telah melakukan kesalahan besar terhadap Renata. Cinta seharusnya menyelamatkan bukan memanjakan.
Membawa Renata ke jalan hidayah, tidak semudah membalik telapak tangan. Renata selalu bergeming bila dinasehati, bahkan kadang menutup telinga.
Sedih memang, Renata tidak mengindahkannya. Namun ia sadar, semua itu juga bermula dari kesalahannya. Baru dua tahun ini mempelajari Islam, sedangkan berumah tangga dengan Renata sudah 7 tahun lebih. Itu artinya memanjakan Renata selama 5 tahun.
“Maafkan, aku. Satu hal yang harus kau tau, dulu aku memanjakanmu karena aku mencintaimu. Sekarang aku ingin kau berubah juga karena cinta. Aku ingin kaulah bidadariku di surga nanti. Aku berharap Allah memberiku kesabaran dan kekuatan iman sepanjang perjalanan 5 tahun. Seluas kesalahanku padamu.”
          Ia mencium kening Renata dengan lembut dan dalam, berharap Renata merasakan betapa besar cintanya. 
****
Ia mencabut headset di telinganya secara kasar ketika melihat seorang pemuda berbuat tidak senonoh pada Renata. Menderap. Langsung melayangkan tinjunya ke muka pemuda itu.
Blugh. 
Hanya beberapa detik, ia dikeroyok oleh beberapa orang.
Besoknya Ricky terbaring di atas ranjang. Tubuhnya terasa remuk, tapi perasaannya mulai tenang. Ia mengira Renata akan jera mendatangi tempat itu.
Ternyata dugaannya salah.
“Kau masih ingin ke sana, Ren?” tanya Ricky sambil meringis kesakitan, ketika melihat Renata sibuk berdandan.
“Iya, aku sudah ada janji dengan teman-teman. Kau tak perlu memaksakan diri,” sahut Renata sambil merapikan baju, lalu pergi.
Ricky terpaku. Ia tak menyangka apa yang telah terjadi tidak jua menyadarkan Renata.
Baru 15 hari. Ia mulai meragukan keputusannya. Mungkinkah Renata bisa meninggalkan kebiasaan yang sudah mendarah daging? Kebiasaan yang ia lakukan semenjak remaja? Diganggu laki-laki saja tidak membuatnya jera.
Tidak. Ia tidak bisa berharap banyak pada janji Renata. Tapi, satu hal ia pikirkan: Ada tidaknya perjanjian itu, Renata akan tetap pergi ke tempat itu, dan itu sangat berbahaya bagi Renata. Karena itulah, setidaknya ia melakukan semua itu demi melindungi Renata.
85 hari lagi, batinnya. Dengan susah payah ia berusaha bangkit dan bersegera menyusul Renata.
***
“Maafkan saya, Pak! Saya tidak bisa menemui klien itu malam ini.”
“Rick, ini kesempatan besar. Ini soal omset milyaran rupiah, Rick.” Suara ayah mertuanya di seberang sana terdengar meyakinkan.
Ricky mulai gamang. Siapa yang bisa menolak milyaran rupiah? Terlebih lagi saat ini perusahaannya memang membutuhkan banyak dana. Tapi, bagaimana dengan Renata?
Mungkinkah ia mengorbankan hidayah untuk Renata demi perusahaannya? Ya, Allah, ujian apalagi yang ingin Kau-berikan, batinnya. 
“Maaf, Pak. Saya tak bisa.”
“Apakah ada yang lebih penting selain membicarakan bisnis? Omset miliyaran.” Mertuanya menekan ujung kalimatnya. 
“Bukan begitu, Pak. Jika klien itu bersedia, saya bisa menemuinya be….”
“Bapak kecewa denganmu, Rick.” 
Tiit. Sambungan terputus.

***
“Ren, kenapa?” Ricky terkesiap melihat wajah sembab Renata.
“Barusan ayah ke sini dan marah-marah,” ucap Renata sesenggukan. “Katanya kamu menolak bertemu klien dari Jepang itu.”
“Oh.” Ricky menghapus air mata Renata, lalu merengkuhnya. “Maafkan aku. Aku tak menyangka kamu mendapat imbasnya.”
Renata melepaskan pelukannya. “Kamu melakukan itu demi aku kan?”
“Mmm. Sudahlah. Jangan pikirkan itu! Bukankah sebentar lagi kita akan pergi?”
Renata menggeleng. “Malam kemarin, malam terakhir.”
Ricky terkesiap. Ia tak menyangka 100 malam telah berlalu.
Mungkinkah Renata menepati janji? Ia menatap lekat wajah Renata. Terlihat guratan kesedihan di wajah Renata. Tiba-tiba pandangannya tertuju pada gaun yang dipegang Renata. Ya, ini terlalu berat buat Renata.
Ia menggenggam kedua tangan Renata. “Ren, aku tidak bisa memaksamu, kalau ini memang berat buatmu. Satu hal yang harus kau ketahui, aku tidak bermaksud memaksamu untuk menuruti kehendakku. Ini adalah jalan yang diredhai Allah. Aku sangat mencintaimu. Tentu aku sangat bahagia sekali, jika jalan kita sama, di jalan redha Allah. Itu saja. Dan semua itu kukembalikan padamu.”
Air mata Renata kembali merembes deras.
“Ren, apa ucapanku telah melukaimu?” tanya Ricky panik.
“Tidak. Aku terharu dengan kesabaranmu, padahal aku telah banyak merepotkanmu. Maafkan aku.”
Ricky mengangguk sambil terus menanti kelanjutan ucapan Renata. 
Dengan raut sedih bercampur malu Renata menundukkan wajah. “Lalu, gaun ini diapakan?”
Seketika Ricky tergelak. Dasar perempuan.
Renata merengut.
“Begini, Tuan putri. Muslimah dilarang memakai gaun seperti ini kalau sedang berhadapan dengan selain suaminya.” Ia memaklumi, semua perlu proses.
Renata menampakkan wajah semringah.
“Iya. Kau boleh memakainya. Tapi, hanya untuk pangeranmu ini.”
“Pangeran?!” Renata meluncurkan serangan cubitannya.
“Sudah. Sudah, Ren! Aku bisa pingsan”
Renata tak perduli.
Secepat kilat ia berhasil mengunci tubuh Renata.
Renata pasrah. Sepertinya sudah kelelahan.
“Kita shalat, yuk! Kita awali kebahagiaan ini dengan shalat. Mau kan?”bisik Ricky.
Renata mengangguk cepat, dengan senyuman terindahnya untuk hidup Ricky.

*Gambar: dari panduanislam.com 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Hidayah Cinta"

Post a Comment

Tinggalkan jejakmu di sini :)
Maaf, mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar. Thanks.