Cintaku Menggantung di Central Park


Aku lelaki terselat di antara kesibukan New York. Persaingan bisnis semakin membuatku tenggelam. Melupakan segalanya bahkan diri sendiri.
Sudah kesekian kalinya, ibu memaksa pulang ke Indonesia dan segera menikah. Tanah air yang telah banyak menyimpan kenangan indah sekaligus memilukan. 

***
Aku, Ara dan Angga. Kami dipertemukan oleh tugas yang diberikan Pak Bandi.
Ara, gadis pendiam dan berekspresi dingin. Gadis yang terlalu banyak menelan kepahitan. Di balik sikap dingin Ara, sebenarnya dia gadis yang baik.
Angga, sahabat yang paling mengerti Ara. Kejutannya selalu berhasil membuat Ara tersenyum dengan kilatan mata yang indah. Kadang aku juga berusaha membuat kejutan untuknya, tapi selalu gagal. Malah kadang, mendapatkan tatapan marah dan berujung dengan sikap dinginnya.
Angga sering mentertawakan hal ini. Angga pernah bilang, “Selami kilatan matanya, kawan!” Aku masih belum mengerti.
Saat kelas 3 SMA, persahabatan kami mulai renggang. Ara mulai menjaga jarak dariku, tak terkecuali Angga. Ara lebih suka berteman dengan kawan sesama gadis di komunitas pengajiannya.
Kemudian disusul oleh Angga, tinggallah aku yang mulai kesendirian. Aku harus berlapang dada, tuh kenyataannya Ara dan Angga menunjukkan perubahan yang lebih baik. Angga mulai sibuk dengan berbagai kegiatan positifnya. Ara kini memakai gamis dilengkapi dengan jilbab lebar. Wajahnya terlihat lebih segar. 
***

“Vyan!”
Aku senang sekali dengan kilatan matanya. Dia juga merindukanku? Setidaknya sebagai seorang sahabat.
“Aku mau kuliah ke New York."
Matanya membulat. Membentuk mendung. Kali ini, aku tak tega melihat matanya.
Aku menyerahkan selembar foto sepasang kekasih berjalan di terowongan pohon, taman Central Park.
Dia bertanya dengan raut wajahnya.
“Aku bercita-cita mengajakmu ke sana,” kataku agak gugup.
Ara terkesiap.
“Tapi, aku tak tau dengan perasaanmu. Aku tau, ini terlalu mengejutkan, tapi aku harus melakukannya, untuk memastikan jawabannya. Jika ya, tentu ini yang aku harapkan. Insya Allah, 5 tahun ke depan, aku akan melamarmu. Jika tidak, maka mulai sekarang aku harus berhenti berharap.”
Ara menundukkan wajah.
Aku melirik jam tangan. “Keberangkatan pesawat sekitar 2 jam lagi. Aku membutuhkan jawabanmu sekarang. Caranya cukup mudah. Jika kau bersedia, perlihatkan gambar itu padaku sebelum aku hilang dari gang itu.” Tunjukku pada mobil yang terparkir di ujung gang. “Jika tidak ….” Aku menelan ludah, “Kau tak perlu memperlihatkannya.”
Ara diam. Matanya berpijar gamang.
Aku melangkah mundur dengan sangat lamban. Ara masih menunduk. Gambar taman Central Park tergantung di tangannya yang terkulai.
Dadaku berdebar cepat. Beratus kali lipat dibandingkan dengan langkah mundurku yang sangat lamban.
Hingga tiba di dekat mobil, Ara masih menunduk. Aku mengulur waktu. Berharap dia kasihan padaku.
Satu, dua, ti-ga.
Ara masih bergeming. Aku bukanlah tipe yang diharapkan Ara.
Sejak itulah, aku berjanji akan menenggelamkan diri di kota New York. 

***
Angga? Penglihatanku tidak mungkin salah. Walaupun penampilannya sangat berubah dibandingkan sepuluh tahun yang lalu, tapi dia sahabatku. Aku tidak mungkin salah.
Angga berjalan menuju stand pakaian. Aku mempercepat langkah untuk menyusulnya. Mendadak langkahku terhenti. Angga mendekati seorang perempuan berpakaian rapat yang sedang mendorong kereta bayi. 
Aku tak melihat wajah perempuan itu. Tapi, tatapan Angga mengingatkan pada seorang gadis. Ara.

***
Mobilku terhenti di tengah gang. Sejenak menatap halaman rumah Ara dari kejauhan. Sepuluh tahun. Bukanlah waktu yang singkat. Pasti banyak yang berubah. Ara pasti sudah menikah. Dengan Angga? Aku turut bahagia, karena Anggalah yang paling memahaminya.
Aku melangkah pelan. Seketika kenangan berjalan mundur kembali memutar. Konyol, sekaligus menyakitkan. 
Sesak. Kupikir kesibukan akan dapat melupakan semuanya. Sepuluh tahun. Ternyata tidak. Sesak itu masih ada.
“Vyan?” 
Aku memutar, mencari arah suara. Aku terkesiap. Ara.
***

Pernikahan diadakan dengan sangat cepat dan sederhana, karena besok aku harus kembali ke New York. Angga menjadi salah satu saksi pernikahan kami, sedangkan istrinya menghiasi Ara.
Ara duduk menunggu di atas ranjang. Ia cantik sekali. Aku terus menatapnya, seakan tak ingin ada yang terlewatkan dari kecantikannya. Mataku terus berpendar, hingga tiba pada genggaman tangannya.
Selembar foto taman Central Park.
***

Matanya memancar indah. Sangat indah. Mata itu asik menikmati keindahan terowongan pohon yang menaungi kami. Ia sangat terpesona.
Aku lebih terpesona dengan kilatan matanya. Bagiku, kilatan bahagianya lebih indah dari pada keindahan yang dimiliki taman Central Park. Kuraih kedua tangannya. Kutatap wajahnya.
Kilatan mata itu beralih padaku. Terus kutatap. Bayanganku memaku matanya.
Aku hanya ingin mengungkapkan perasaan lewat mata. Aku mencintainya. Itu saja. Mudahan dia mengerti. Terus kutatap. 
Hingga beberapa menit, Ara menempelkan wajahnya di dadaku.
“Aku juga mencintaimu.”
Suara lirih itu telah membuat dadaku berdesir hebat, sekaligus lega.
Kupeluk badannya erat-erat, sesekali mencium kepalanya yang berbalut jilbab.
Aku tak pernah menyangka akan mendapatkan kalimat indah dari mulutnya. Kalimat indah itu, perlahan menyusup dalam setiap rongga tubuhku.
Embusan angin, gesekan daun dan ranting, mengingatkanku sebuah ayat: Nikmat manakah yang kamu dustakan?
“Terima kasih, telah menungguku. Aku berjanji akan berusaha menjadi imammu yang baik. Insya Allah.”
Aku masih belum menguasai betul arti tatapannya. Namun aku yakin, cinta dan tanggung jawab akan mengajari semuanya.
Ya Allah, Bimbinglah kami agar menjadi hamba yang bersyukur. Jadikanlah cintaku membimbingnya ke taman yang lebih indah daripada Central Pak.

Baca Cerpen Lainnya:

Tranplantasi Cinta

Desember dan Gadis Bergaun Merah Jambu


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Cintaku Menggantung di Central Park"

Post a Comment

Tinggalkan jejakmu di sini :)
Maaf, mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar. Thanks.