Puluhan detik berubah menjadi ratusan, terus berputar tanpa bisa aku cegah dari lingkaran jarum jam yang tergantung di dinding ruang makan. Kepulan asap beraroma kafein pun tak lagi tampak. Begitu pula roti berisi selai kacang di meja makan, kini benar-benar terasa tawar.
Aku masih duduk di belakang meja makan. Sama seperti hari-hari sebelumnya, yang biasa dilewati dengan obrolan ringan, tawa canda bahkan sindiran konyol saat roti yang tersaji itu berwarna hitam dengan aroma hangus. Saat-saat itu semua terasa indah. Walau puluhan dasawarsa telah berlalu saat janji sucimu untukku terucap di depan saksi.
Pandanganku menyapu dinding ruang makan. Tumpukan batu bata itu masih tetap terlihat sama seperti saat air mata ini menetes karena tingkah lakumu yang membuat dadaku sesak.
Saat itu karir yang kita rintis benar-benar berada di puncak. Dengan senyuman kau memintaku untuk berada di dalam rumah, mengurus dua putri cantik yang sudah beranjak remaja. Aku pun setuju. Kebahagiaan menjadi seorang ibu dan istri saat itu benar-benar aku nikmati. Hingga seorang gadis muda dengan perut sedikit membuncit itu hadir di ruangan ini, tanpa ada undangan yang pernah kukirim.
"Dia bohong! Aku tak pernah melakukannya."
Tatap mataku berair mendengar elakmu di depan kami berdua. Membuatku tak mampu memilih mana yang harus dipercaya.
Cintaku yang begitu besar memaksa seluruh akal ini untuk menyangkal semua ucapan gadis muda itu. Tetapi lembaran-lembaran kertas hasil teknologi digital yang gadis itu perlihatkan berhasil membuat luruh semuanya, bahkan menyapu akal sehatku. Aku terpaku begitu saja sampai ia berlalu dari ruang makan ini.
Hari-hari berlalu, sajian di ruang makan ini tak lagi lezat dan beraroma nikmat sejak kejadian itu. Kedua putri kita tak pernah mengeluh, mereka tak perlu tahu tentang luka yang telah tergores di balik ruang makan ini, luka yang membuat keputusan itu harus aku ambil.
"Nikahi gadis itu!"
"Kau gila! Itu sama saja kau memaksaku untuk mengakui apa yang tidak aku perbuat!"
Sangkalan itu tak masuk akal bagiku.
"Nikahi dia atau kita berpisah!"
Keputusan konyol dari seorang wanita.
Yang jelas aku hanya ingin melindungi nama baik orang yang kucinta, walau ia harus melakukan pernikahan kedua.
Pagi-pagi sering berlalu tanpa adanya kau yang duduk di sebelah kursi meja makan ini. Aku mulai terbiasa berbagi hari. Begitu juga dengan kedua putri kita yang mulai terbiasa, kau sedang keluar kota. Begitu jawabku kepada mereka.
"Aku tidak bersamamu juga tidak bersamanya."
Kalimat itu sering sekali kau lontarkan, baik terucap atau pun tertulis lewat pesan elektronik walau telah bertahun lamanya. Apakah aku percaya? Tentu tidak, hingga sebuah tulisan aku temukan di draf laptop meja kerjamu.
"Aku tetap mencintaimu seperti dulu.
Saat pertama kali aku melihat fotomu yang diberikan sahabat saat kita ta'aruf dulu.
Wajah di balik khimar biru muda itulah yang kerap hadir di istikharahku.
Aku tetap mencintaimu seperti dulu.
Saat kita memutuskan untuk merintis sebuah usaha travel, biro perjalanan dan juga ibadah haji. Hingga aku ingin kau selalu terlindungi di rumah bersama kedua putri kita.
Aku tetap mencintaimu seperti dulu.
Walau kau percaya sebuah fitnah begitu saja tanpa percaya segala pembelaan yang kuberikan. Kemudian memaksaku untuk menikahinya, mengakui semua perbuatan yang tak pernah aku lakukan.
Aku tetap mencintaimu seperti dulu.
Hingga aku memilih tidur di kantor saat aku tidak berada di rumah bersamamu. Sungguh, aku tak sanggup tidur bersama wanita yang kau paksa menjadi madumu.
Aku tetap mencintaimu seperti dulu.
Saat hati ini terasa sakit karena kau lebih percaya dengan lembar-lembar foto editan yang sesungguhnya hanya bertujuan untuk memerasku.
Aku tetap mencintaimu seperti dulu. Hingga nanti maut menjemputku."
Dadaku terasa sesak mengingatnya. Tanpa sepengetahuanku kau telah membuat surat cerai dan memberi sebagian harta untuknya saat bayi itu terlahir. Kau bersikap seperti biasa, mengikuti apa yang lisan ini perintahkan dan merintis kembali usaha yang sempat goyah karena kehadirannya dan juga kebodohanku.
Kebenaran terlambat datang karena tertutupnya mata hatiku. Aku tetap menganggap dan berlaku bahwa kau adalah suami yang harus kubagi walau sebenarnya ada rasa tak rela melindap dalam hati. Hingga penyesalan itu menyergap di pagi ini. Di saat aroma kopi buatanku tak akan pernah kau sesap lagi.
Hanya belaian dan ucapan kedua putri kita yang telah dewasa mampu menghibur hati.
"Ikhlaskan kepergian Ayah, Bunda. Doakan agar amal baiknya diterima Allah di sana."
Oleh. Anggarani Ahliah Citra
Ada juga ya kejadian nyata kayak di cerpen ini ... Berapa kata ini, Mbak Anggarani? Manis.
ReplyDeleteAduh kalau kisah nyata serem juga, ya Mba.
Delete600 an kata kayanya, Mba.
Waaah ternyata ukhti satu ini pinter nulis kalimat nyastra ya, bagus banget.
ReplyDeleteMasih belajar, Um.
DeleteNunggu blogger muslimah buka materi sastra nih. Bikin donk, Um
Speechless bacanya mba, hiksss.. *peluk Papanya Alfath*
ReplyDeleteIya nih.
DeleteImajinasinya lagi melo, Mba
Tisu mana tisuu 😭😭😭
ReplyDeleteserem banget ini kalo beneran terjadi. karena berarti menuduh suami sendiri berzina, padahal zina itu harus ada saksinya. untung cuma fiksi
ReplyDelete