Jeli bersungut, tangannya cekatan memasukkan barang ke dalam kantong sesuai catatan pelanggan. Sesekali dilihatnya wajah Bening, putri kecilnya yang menangis sedari tadi.
"Malam ini sungguh mengesalkan, warung ramai, anak rewel dan Sumi? Di mana dia? Percuma saja aku membayarnya setiap bulan. Seenaknya meninggalkan tugas demi malam mingguan."
Jeli bertambah kesal, ia melirik Juli adik ipar yang tak peduli dengan kesibukannya.
"Mba, aku dulu dong, dari tadi nungguin."
Seorang ibu tak sabar minta dilayani.
"Maaa..., atit yuut... Maaa..."
Bening bergelayut di tangan Jeli, dapat dirasakan suhu badannya naik.
"Sabar, Bening. Mama sedang repot," ucapnya lembut mencoba menenangkan, namun, Bening tak menjawab badannya terlihat lemas, bibirnya pucat.
"Bening... Beniiiing.."
Jeli menarik rolling door tak peduli dengan para pelanggan.
"Maaf, warung tutup. Anak saya sakit."
Jeli berteriak dari teras dan segera masuk ke mobil. Sembari menyetir sesekali kembali dilirik putri kesayangannya yang berusia 2 tahun 4 bulan itu.
"Jaka, di mana pula dirimu?"
Jeli mengeluh, sudah lebih dua hari dari jadwal yang diperkirakan suaminya belum juga kembali dari luar kota.
Mobil memasuki parkiran, diangkatnya Bening yang terkulai. Pandangan Jeli terpaku, menatap sehelai kain jingga yang terselip di bawah bangku samping stir mobil.
Ah, tak ada waktu memikirkan hal itu.
Kecemasan menguasai singgasana hati, ada gulir sesal bila ia mengingat tingkah Jaka yang sudah jauh berbeda dari saat awal ia mengenalnya, dulu Jaka begitu memuja bahkan menyebut dirinya, Bidadari Bermata Jeli. Kini, Jaka lebih sering meninggalkannya dalam jangka waktu yang lama, dengan alasan pekerjaan.
Andai saja ia menurut akan nasihat kedua orang tuanya dulu mungkin ia tak akan mengalami hal seperti ini, menjadi perempuan biasa yang tak punya kekuatan.
~ooOOoo~
Berkali-kali Jeli mencoba menghubungi Jaka, tapi selalu operator seluler yang memberi jawaban.
"Bu, anaknya harus rawat inap. Kita belum tahu apa yang menyebabkan penyakit di perut dan juga punggungnya."
Jeli menyetujuinya, dengan harap cemas ia berada di samping Bening. Bening semakin melemah, digenggamnya tangan Jeli dengan sisa tenaga yang ada.
"Maaa... iat lan."
"Bening, istirahat dulu. Kalau udah sembuh nanti kita lihat bulan, yah."
Jeli mencoba membujuk agar segera tertidur. Namun, Bening menolak, Jeli menggendong dan membawa keluar kamar memenuhi permintaannya. Bening menatap langit yang penuh bintang dan bulan yang bulat sempurna.
"Maaaa ...."
Bening menunjuk ke arah bulan, ribuan kepak sayap tertangkap oleh mata indahnya. Jeli tersenyum getir, bayang masa lalu berkelebat, secepat sayap-sayap itu melesat, menari menikmati purnama.
~ooOOoo~
Dengan setengah berlari seorang lelaki muda menuju ke sebuah kamar rumah sakit.
"Jeli, bagaimana Bening?"
Jeli menatap dingin, otaknya sesak, segala tanya berjejal di kepala. Bening sudah tiga hari menginap di sini, dan Jaka baru saja muncul.
"Apa yang terjadi dengan Bening? Kau pasti tidak menjaganya dengan baik! Apa saja yang kau lakukan? Kau pasti sibuk dengan henponmu. Chating dengan teman-teman tak berguna itu!"
Jeli menatap tak percaya dengan kata-kata Jaka, bukankah seharusnya Jeli yang bertanya apa saja yang ia lakukan di luar sana hingga ia tak dapat dihubungi.
"Aku hanya mencoba berbaur dengan penduduk bumi lainnya."
"Hingga kau melupakan anak, larut dengan aktivitas mayamu?
"Bagaimana denganmu? Hampir satu minggu kau tak bisa dihubungi."
"Jelas aku bekerja, banting tulang. Kau pikir kebutuhanmu dan Bening terpenuhi begitu saja? Atau kita dapat kiriman dari Dewa khayangan?"
Jaka melemparkan tas, dan kembali keluar kamar. Kekesalan menyelimuti dirinya. Jeli menarik napas panjang menghadapi kelakuan suaminya itu. Tak lama suara henpon terdengar dari dalam tas Jaka. Jeli keluar kamar hendak memberitahu, namun Jaka tak ditemukan.
~ooOOoo~
"Hasil lab kapan keluar?"
Jaka bertanya sekembalinya ke kamar.
"Sore ini."
Jaka mencari henpon dalam tasnya lalu keluar kembali.
"Baik, aku coba tanya apa hasilnya sudah ada atau belum."
Jeli setuju, dan ia kembali menatap Bening. Keadaannya saat ini benar-benar membingungkan, jika siang hari ia lemas tak bertenaga berbeda bila malam tiba. Bening akan segar terutama saat ia menatap rembulan, seakan tak ada penyakit yang ia rasakan.
"Penyakit Bening tidak diketahui, Jeli. Dan pihak rumah sakit mengatakan ada kelainan pada organ tubuh Bening, terutama punggungnya, dan itu perlu penelitian lebih lanjut."
Jaka kembali membawa hasil laboratorium.
"Apa yang harus kita lakukan?"
"Tetaplah di sini menjaganya, aku akan bekerja lebih giat."
"Maksudmu kau akan pergi lagi?"
"Jangan berpikir macam-macam, Bening butuh banyak biaya. Penyakit aneh ini pasti karena faktor genetik darimu."
Jeli terdiam, kenapa harus selalu dirinya yang disalahkan. Jaka kembali keluar, suasana hatinya sangat tidak menyenangkan. Tak lama henponnya berbunyi sebuah pesan masuk.
"Ah, kenapa dia harus berada di sini? Mungkin sebaiknya kutemui."
Jaka mengikuti petunjuk di henponnya. Jeli menatapnya dari balik jendela, matanya mengikuti langkah suaminya hingga menghilang.
"Maaa...."
"Ya, sayang bersabarlah. Sebentar lagi bulannya akan datang. Kita bisa bermain kembali bersamanya."
Bening tersenyum mendengarnya.
"Bening, tunggu di sini. Mama ada perlu, sebentar saja."
Bening mengangguk. Jeli keluar kamar menuju kantin rumah sakit. Langkahnya mendadak terhenti, menatap dua orang yang sedang asyik bercengkrama dalam sebuah mobil.
"Jaka!"
"Jeli, apa yang kau lakukan di sini? Kenapa kau tidak menunggu Bening?"
Jeli tak menjawab, matanya yang berkaca-kaca mewakili semuanya. Jeli segera berlari, kembali ke kamar menemui buah hatinya.
"Bening, rembulan sudah muncul, Nak."
Jeli tersenyum, menghapus air matanya. Dipeluknya Bening, dilepaskan semua selang yang menempel di tubuh mungil itu.
"Jeli, jangan kau lakukan itu! Kau salah paham."
Jaka berteriak, berusaha mencegah apa yang akan dilakukan Jeli.
"Kau telah menyakitiku, Jaka. Sia-sia aku bertahan di dunia ini."
"Jeli, kumohon letakkan Bening."
"Dia akan ikut bersamaku. Dia tak akan sanggup bertahan hidup di bumi."
"Jeli, jangan...."
Jeli tak peduli, dikibaskan selendang jingga yang bertahun-tahun telah hilang, kini berhasil ia temukan lalu perlahan berubah menjadi bagian yang tumbuh di balik punggungnya. Melayang bersama Bening yang mulai belajar mengepakkan sayap kecilnya yang baru tumbuh, bersatu dengan para bidadari lainnya, bermain bersama rembulan seperti malam-malam sebelumnya.
Namun, kali ini ia bertekad tak akan kembali lagi ke bumi.
~End~
0 Response to "BIDADARI BERMATA JELI"
Post a Comment
Tinggalkan jejakmu di sini :)
Maaf, mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar. Thanks.