CERPEN LEGENDA RARA & WASA


CERPEN LEGENDA RARA & WASA

Rara bangkit dari ranjang. Dering ponsel mengganggu aktifitasnya berselancar sambil bermalas-malasan. Rara segera menekan tombol hijau dan mendengar suara berat di seberang.

"Lihat Chanel Tiga televisimu sekarang. Permintaanmu akan segera aku wujudkan."
Percakapan terputus. 

Rara terdiam, ia mematikan laptop dan beranjak ke ruang tengah. Rara memanggil Dayang yang sedang menyiapkan makan siang. Memintanya duduk bersama, menyaksikan apa yang ditayangkan Chanel Tiga.


"Ada apa, Ra?"

"Wasa memintaku melihat Chanel Tiga. Duduklah. Temani aku."

"Wasa? Kau masih berhubungan dengannya setelah kejadian itu?"

Dayang duduk di samping Rara sambil memberikan juss buah naga yang baru saja dibuatnya sambil bertanya heran.

Rara menikmati minumannya tanpa menjawab. Pandangannya tak lepas dari televisi. Wajahnya tampak tersenyum penuh semangat.

Berbeda dengan Rara, Dayang tampak meringis melihat buldoser yang merubuhkan bangunan-bangunan, diselingi tayangan aksi protes para warga menuntut ganti rugi yang tidak sesuai.

"Astaga. Penggusuran itu berlangsung ricuh, Ra. Ratusan warga yang menjadi korban."

"Itu bukan urusan kita, Dayang. Para warga itu pasti menolak dipindahkan. Kau pasti paham maksudku."

Rara tersenyum sinis melihat tatapan Dayang yang nanar.

"Lalu untuk apa Wasa memintamu melihat berita ini, Ra?"

Dayang berdiri, ia menutup mulutnya sambil menahan sesak saat televisi menayangkan seorang lelaki tua penuh darah di wajah karena nekat menghadapi para petugas. Lalu ia mengalihkan pandangan ke arah Rara, menunggu jawaban.

"Wasa melamarku. Tapi, aku memintanya membuatkan sebuah komplek hunian, yang terdiri dari seribu unit rumah mewah dengan segala perlengkapannya. Komplek hunian itu harus berada di tempat yang strategis. Dan yang pasti, harus dibuat atas namaku."

Rara menjelaskan dengan santai. Ia meletakkan minumannya ke meja. Lalu menjentikkan jari agar Dayang kembali duduk di sampingnya.

"Aku memberikannya waktu hanya enam bulan. Menurutku  Kampung Pulau lokasi yang tepat. Untuk mewujudkannya tentu saja ia harus menempuh cara kasar  mengusir para warga itu."

Raut wajah Dayang semakin tak karuan. Ia tak dapat menebak apa yang ada dalam pikiran Rara. Ia masih ingat betul saat Rara bertekad membalas dendam kepada Wasa atas kematian ayahnya.

"Bagaimana dengan kematian Ayah, Ra? Kau masih ingat bukan?"

"Tentu saja. Wasa harus bertanggungjawab atas kecelakaan itu. Untuk itulah aku mengajukan permintaan ini. Kalau ia berhasil, aku akan menguasai dunia properti di Ibukota, seperti yang telah aku dan Ayah cita-citakan dari dulu."

"Walau harus menumpahkan darah para warga?"

"Kau ini, Dayang. Sejak kecil kita bersama, menempuh pendidikan hingga ke luar negeri, tapi pemikiranmu masih tertinggal jauh. Sudahlah. Wasa harus menanggung semuanya terutama urusan finansialku, bukankah kau ikut menikmatinya? Kecuali kau ingin pergi jauh dariku. Sepertinya saat ini kau sudah bisa mandiri. Bukankah kau memiliki ijazah master dari luar negeri? Pergilah. Aku yakin Ayah tidak menganggap biaya pendidikan itu sebagai hutang budi."

Dayang terdiam. Bukan sekali atau dua kali Rara melakukan hal ini padanya. Melontarkan kata-kata halus namun menyakitkan. Kata-kata yang memaksanya untuk selalu ingat akan posisinya di samping Rara.

"Sudahlah, aku lapar. Ayo kita makan."

Dayang mengangguk. Siaran berita di televisi pun telah berganti. Namun, ada sesak yang masih tertinggal. Ia masih tak habis pikir, betapa mudahnya mengorbankan orang lain hanya demi uang yang dibalut dengan cinta.

~O~

Wasa tersenyum manis di belakang meja kerjanya. Usaha properti yang ia geluti mengalami kemajuan pesat. Selangkah demi selangkah ia semakin menguasai pasar Ibukota Negara. Segala cara ia tempuh. Melobi berbagai kalangan untuk melancarkan usahanya. Dan sesaat lagi ia akan menjadi pengusaha nomor satu di negara ini.

Wasa telah memikirkan segala strategi yang akan ia jalankan. Persyaratan yang diajukan Rara enam bulan lalu benar-benar ide cemerlang. Kampung Pulau yang merupakan perkampungan kumuh, telah berubah menjadi sebuah lingkungan mewah yang siap dipasarkan.

Satu minggu lagi, peresmian akan dilakukan dan ia pun akan bersanding dengan gadis pujaannya, Rara---pewaris tunggal pengusaha properti. Tentu warisan yang dimiliki Rara tak terhitung jumlahnya. Tak masalah mengabulkan persyaratan yang diminta Rara. Karena nanti, Rara pasti mengizinkannya mengelola semua usaha yang dimilikinya.

~0~

Rara memandang Ibukota di balik jendela kantornya yang berada di tingkat paling atas  gedung Menara Mahkota. Ia terus memantau proyek yang sedang dikerjakan oleh Wasa. Hampir enam bulan berjalan dengan baik. Rara harus mengakui bahwa Wasa seorang pebisnis yang andal. Wasa berhasil membuktikan bahwa ia murid kesayangan ayahnya, merintis karir mulai dari Junior Manager di kantor ini, hingga kini memiliki perusahaan sendiri dan memenangkan banyak tender baik dari dalam atau pun luar negeri.

Rara bimbang. Apakah Wasa telah berhasil pula memenangkan hatinya? Namun, bayang kejadian kematian ayahnya kembali menari. Kecelakaan mobil yang hebat.

Sungguh sulit menyangkal bahwa tabrakan yang dilakukan oleh Wasa itu bukanlah sebuah ketidaksengajaan. Tetapi pihak yang berwenang telah memutuskan itu adalah murni sebuah kecelakaan.

Rara menatap ponselnya yang bergetar, sebuah chat dari Wasa. Wasa akan menjemputnya malam nanti. Melihat lokasi yang seminggu lagi akan diresmikan. Setelah membalas chat Wasa, Rara menghubungi Dayang.

"Dayang, tolong bawakan gaun ke kantor yah. Malam ini aku akan pergi bersama Wasa."

~O~

Tepat pukul delapan malam Wasa menjemput Rara dari kantornya. Mereka berdua menuju lokasi proyek yang telah sembilan puluh persen selesai. Setelah melewati pos keamanan Wasa mengarahkan mobilnya ke arah taman, melewati sebuah truk molen lalu berhenti tepat di depan kolam yang belum selesai pembangunannya.

"Ayo kita turun, Ra. Tinggal kolam ini saja yang belum selesai. Semua unit rumah telah selesai bahkan telah banyak yang terjual."

Mereka keluar dari mobil. Rara tersenyum menatap Wasa. Pancaran matanya menunjukan kepuasan. Mereka berjalan menyusuri kolam yang belum berisi air. Melewati sebuah jembatan kayu kecil penghubung sebuah batu besar yang berada di tengah kolam tempat mereka sekarang berdiri.

"Kau hebat, Wasa. Tepat waktu, sesuai dengan rencana."

Rara mengulurkan tangannya ke belakang leher Wasa. Wasa menyambutnya dengan melingkarkan tangan ke pinggang Rara dan mendekatkan wajah mereka.

"Tentu saja. Ini semua untukmu. Aku melibatkan banyak pengembang dan juga pemborong untuk menyelesaikan proyek ini."
Mereka tersenyum bersama. Rara melepaskan tangan. Berbalik dan memandang sekeliling taman.

"Lalu di tempat ini akan kau bangun apa lagi?"

"Patung wanita. Yang mirip sepertimu. Aku telah memesannya dari pemahat luar negeri. Patung itu sedang dalam pengiriman, besok akan sampai dan kurang dari satu minggu taman ini pun akan selesai."

"Kau benar-benar hebat, Wasa...."

Rara berhenti bicara tiba-tiba. Wajahnya semakin semringah melihat Wasa memperlihat cincin berlian dalam sebuah kotak mungil.

"Jadi, kau menerima lamaranku, bukan?"

Rara menutup bibirnya sebentar kemudian kembali memeluk Wasa.

"Tentu..., tentu saja."

Rara mengulurkan jari manisnya. Wasa segera memasangkan cincin itu, namun belum sampai cincin itu ke ujung jari sebuah teriakan bersahutan terdengar.

"Larii, Paaaak..., lari, Buuuuu...."

Dua orang security mengganti suasana romantis menjadi panik. Karena di belakang mereka ada ratusan orang yang ikut berlari dan mengendarai motor sambil berteriak dan membawa obor menyala.

Suasana kacau. Wasa menarik tangan Rara untuk segera pergi dari situ, cincin berlian lepas dari jari Rara. Genggaman Wasa terlepas, Rara terjatuh saat mengambil cincin yang baru saja diberi Wasa.

Ratusan orang itu semakin tidak terkendali. Mereka merusak apa saja yang dilihat. Membakar beberapa unit rumah, mobil milik Wasa dan juga truk molen yang berada di taman.
~O~

Dayang kembali terpaku di depan layar televisi pada pagi hari, menahan sesak, membekap gagang telefon di dadanya dan tidak berani beranjak setelah menerima kabar dari pihak yang berwajib. Ia melihat berita tentang sebuah ketidakadilan yang dipicu keserakahan. Pandangannya terpaku pada penyiar berita yang berbicara.

"Kerusuhan komplek hunian mewah Kampung Pulau banyak memakan korban, kerugian berupa materi diperkirakan mencapai milyaran rupiah, juga ditemukan tiga jenazah laki-laki di taman dan  satu jenazah wanita tepat di tengah kolam dalam kondisi tertimbun adukan semen yang diperkirakan berasal dari tumpahan corong truk molen yang dirusak warga.  Kerusuhan ini dipicu karena pihak pengembang tidak memberikan ganti rugi yang sesuai pada warga hingga hunian ini selesai proses pembangunannya."

*terinspirasi dari legenda kisah cinta Roro Jonggrang & Bandung Bondowoso

Subscribe to receive free email updates:

1 Response to "CERPEN LEGENDA RARA & WASA"

  1. Seru mbak ceritanya. Aku jadi ikutan penasaran. Yahhh kok mati...

    ReplyDelete

Tinggalkan jejakmu di sini :)
Maaf, mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar. Thanks.