Malam semakin larut. Suara detik jam dinding bersanding dengan suara isak tangisan lirih.
Hani duduk di lantai kamar bersandar dinding dipan. Sesekali ia mengusap cairan bening yang keluar dari sudut mata dan juga hidungnya. Hatinya perih. Ingin sekali ia mengiris nadi dengan serpihan kaca berasal dari sebuah kotak hitam yang menjadi pelindung gambar abadi jalinan cintanya dengan Pras.
Tapi niat itu urung ia lakukan, wajah polos ke dua anaknya memaksanya untuk bertahan.
Haruskah cinta kandas hanya karena perubahan fisik istri yang telah melahirkan dua orang anak?
Layakkah seorang wanita tercampakkan hanya karena ia larut dalam urusan rumah tangga? Dengan segala cucian, cairan yang tak pernah berhenti tercecer di lantai, bahkan ia harus bergelut dengan asap aroma masakan yang terkadang ia sendiri tidak menyukainya?
Hani menatap serpihan kaca yang terserak di sampingnya. Pras telah berubah. Tak lagi bisa mengendalikan diri, tangannya menjadi terlalu ringan hingga mudah mendarat di tubuh atau pun wajah istrinya sendiri.
Malam ini adalah yang paling menyakitkan bagi Hani. Sekian lama Hani menyembunyikan rahasia tentang rumah tangganya di depan anak-anak kini terbongkar, karena Pras tak lagi sungkan menampakkan sikap kasarnya.
Hani sibuk memeluk ke dua anaknya tiga jam lalu saat Pras mengamuk, tak ada cinta lagi untuk Hani dan anak-anak yang ada hanyalah kebencian dan juga caci maki. Pras memaki Hani, memintanya untuk menandatangani surat cerai, karena Pras ingin segera menikah dengan Laras--pemilik modal usahanya.
Hani tetap bertahan. Ia tak ingin anaknya hidup tanpa seorang ayah, walau hal ini menyakitkan. Itulah yang membuat Pras menjadi sangat marah. Pras memutuskan untuk pergi meninggalkan keluarga kecilnya tanpa menyisakan sedikit kasih sayang pun untuk mereka.
Hani hanya bisa terdiam sambil memeluk anak-anaknya. Melindungi agar tidak terkena pukulan atau lemparan barang yang dilakukan oleh Pras. Pras pergi membawa semua barang berharga, ia melajukan mobilnya dengan kencang. Pras kesal tak ada tanda tangan yang ia inginkan.
Hampir satu jam Hani menenangkan anak-anaknya hingga tertidur. Hani bangkit dari dari lamunan dan isak tangisnya. Membersihkan dan juga mensucikan diri lalu melarutkan diri dalam sujud tanpa air mata, mengikhlaskan dan menyerahkan segala urusan kepada-Nya.
Hani tidak beranjak dari sajadahnya hingga subuh hampir menjelang. Ia telah merasakan rongga dada telah terbuka dengan lebar hingga ia dapat kembali bernapas. Mungkin ini karena ia telah pasrah, mengiba dan mengharap penyelesaian terbaik dalam sujudnya.
Ke-khusu-an Hani terganggu. Nada dering smartphone miliknya tak berhenti berbunyi, memaksa Hani mengambilnya dari meja. Sebuah nomor tidak dikenal, Hani menekan tombol hijau.
"Selamat malam, dengan Ibu Prasetya?"
Sebuah suara berat terdengar, Hani pun menjawab iya dengan lirih.
"Kami dari pihak kepolisian, suami Ibu terkena kecelakaan lalu lintas. Keadaan meninggal di tempat. Ibu bisa datang ke rumah sakit ...."
Hani terdiam sambil terus memegang smartphonenya di telinga. Lamat-lamat azan subuh pun terdengar berkuman-dang.
~end~
~end~
Lalu, apakah Hani merasa lega mendengar berita tersebut atau justru bersedih?
ReplyDeleteHani sendiri ga ngerti sama perasaannya, Mba.
DeleteMakasih dah mampir ya, mba
ukh ... itu kisah nyata kh?
ReplyDeleteFiksi, Um
Deletebagus alur dan diksi ceritanya
ReplyDeleteMakasih, Teh. Masih belajar oret-oretan
DeleteCitra, ternyata Cerpenist ya, senang punya teman seorang Cerpenist, bisa belajar nanti bunda, ya.
ReplyDeleteAku masih belajar, Bunda.
DeleteMakasih ya, dah mau mampir
Gak tahu harus sedih atau marah...Tapi kalau ini kisah nyata duuuuhhh harus sabaaaaaar bgt mba hani ini. Cerpennya bagus mba, bacanya bkin degdeg ser....
ReplyDelete