Tranplantasi Cinta



Sudah seminggu istrinya terbaring lemah di rumah sakit. Kondisinya makin kritis. Transpalantasi jantung, satu-satunya harapan. Mungkinkah ada yang berkenan memberikan jantung pada orang lain?  Mungkinkah keajaiban itu ada?
Ia genggam erat tangan istrinya, berharap bisa menyumbangkan separuh hidupnya.
            Dering ponsel membuyarkan lamunannya.
            “Assalamualaikum.”
            “Waalaikumussalam. Rai, ada rombongan da’wah dari Yaman baru datang. Kau mau kan jadi penerjemah? 40 hari saja.”
            Raihan mendesahkan napasnya. Sejenak menatap wajah pucat istrinya yang tertidur pulas.
            “Maafkan aku. Aku belum siap. Istriku …,” Ia tak sanggup mengucapkan kalimat itu, hati kecilnya masih berharap keajaiban itu ada.
            “Hanya kau harapan terakhir. Semua ustadz dan santri yang fasih bahasa Arab telah berpencar ke berbagai daerah.”
            “Maaf. Aku tidak bisa.”
            Klik. Raihan langsung memutuskan panggilan tanpa menunggu kelanjutan ucapan dari seberang sana.
            “Kenapa?”
            Ia tersentak. “Kau tidak tidur?”
            Wajah pucat pasi itu tersenyum. “Tadinya. Aku terbangun karena dering itu. Lalu, kenapa kau tidak bersedia untuk di jalan kebaikan?”
            Hening sesaat.
            “Kondisimu …,”
            Istrinya menggeleng cepat. “Kumohon jangan kau jadikan aku sebagai alasan! Di luar sana, banyak yang menunggu bimbingan hidayah. Aku tak ingin menjadi penghalang hidayah. Apa alasanku, jika bertemu dengan Allah?”
            Raihan menekukkan wajahnya. “Kuakui ini karena kelemahanku. Hari demi hari, aku semakin ketakutan. Aku tak ingin jauh denganmu. Kita memang tak bisa menentang takdir, tapi setidaknya di saat ….” Sebulir hangat lolos dari kelopak matanya.
            “Sebelum kita menikah, kau sudah tau keadaanku dan pernah bilang, kau siap menerimaku apa adanya dengan segala konsekuensinya. Kau mencintaiku karena Allah, lalu kenapa sekarang cintamu menjadi penghalang di jalan Allah?”
            “Aku ….”
            “Pergilah! Aku mencintaimu karena Allah. Maafkan aku, tak pernah bisa menunaikan hakmu. Aku tak pernah ….”
            “Cukup!” Raihan meletakkan kepala di dada istrinya. “Jangan bicarakan itu! Aku tak pernah menuntut hal itu. Bagiku, kau ada, itu sudah cukup. Aku hanya ingin kau.”
            Istrinya meraih ponsel dan menulis pesan singkat.
            Aku siap. Sebentar lagi aku ke sana.
            Lalu menyerahkan ponsel itu pada suaminya. “Kirimlah! Semoga aku bisa menjadi bidadarimu di surga. Di sana kita takkan berpisah lagi.”
            Raihan mengambil ponsel itu ragu-ragu. Gamang. Cukup lama ia mengumpulkan kekuatan, sampai akhirnya mampu mengklik send. Tangisnya pecah. Menyayat hati. Memenuhi ruangan sepi.
                       
                        ***
Di tengah perjalanan pulang dari silaturrahmi, Raihan dan temannya melihat segerombolan orang yang sedang tertawa, sebagian lagi bersorak mengejek. Ia menerebus gerombolan itu demi memenuhi rasa penasaran.
            “Astaghfirullah!” pekiknya.
           
***
“Ustadz, ini ibu saya. Dia sangat ingin bertemu dengan Ustadz,” kata seorang remaja sambil duduk menghadap Raihan. 
            “Ustadz, saya sangat berterima kasih pada Ustadz karena telah membuat Galih sadar,” ucap ibu itu, yang diakui remaja itu sebagai ibunya. “Tadinya dia seorang pemabuk. Kini dia berubah, berkat pertolongan Ustdaz kemarin. Dia bercerita banyak tentang kebaikan Ustadz. Dia sangat terharu. Ustadz menolongnya di saat orang lain mengejek dan mentertawakannya. Dengan baju yang putih bersih Ustadz tak segan-segan turun ke selokan demi membantunya. Terima kasih, Ustadz.”
            Raihan tersenyum tipis. “Itu karena hidayah dari Allah. Oia, jangan panggil saya Ustadz! Saya bukan Ustadz.” Raihan mengalihkan pandangannya yang mulai mengabur. Meneguk ludah yang terasa sakit.
“Andai ada yang patut menerima ucapan terima kasih, maka dia adalah istri saya. Semua ini karena pengorbanannya.” Raihan mengusap wajahnya.
“Istri Ustadz di mana?” tanya ibu itu hati-hati.
Raihan menarik napasnya. “Saat saya tinggalkan, dia masih di rumah sakit dalam kondisi kritis. Saya tidak tau keadaannya sekarang. Ponsel dipegangnya dan dia melarang saya mencari tau tentang keadaannya.”
“Dia sakit apa?” tanya ibu itu.
“Kelainan jantung. Dan satu-satu harapan hidup hanya dengan pencangkokan jantung.”
Kedua anak beranak itu saling bersitatap. Entah apa yang mereka pikirkan.

***

“Shadaqallahul ‘azim.”
Raihan tersenyum haru. “Subhanallah. Semangatmu, Galih. Di saat yang lain pada tidur, kau justru mengambil kesempatan belajar mengaji.”
Galih tersipu malu. “Mudahan istaqamah, Ustadz.”
“Aamiin. Tadinya aku mengira kau tidak akan ikut rombongan ini. Saat kami mau pindah masjid, ditunggu-tunggu kau tidak datang. Eh, tiba-tiba muncul di sini.”
Tiba-tiba raut wajah galih berubah mendung.
“Ibu saya meninggal, Ustdaz.”
Raihan terperanjat. “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Kapan?”
“Tak lama setelah kami ke sini, ibu terpelisit di kamar mandi. Ibu mengalami cedera berat di kepala. Dua hari kemudian, ibu mengembuskan napas terakhirnya.”
Raihan menyentuh pundak Galih. “Sabar, ya. Semoga Allah mengampuni dan merahmatinya.”
Galih mengangguk. “Iya, Ustadz. Saya bersyukur, Allah mengambil ibu, saat saya seperti ini. Andai masih seperti dulu, entah bagaimana keadaan saya.”
“Kau benar. Betapa Allah menyayangimu.”
“Aamiin. Sebelum meninggal ibu berpesan, agar saya mondok dan mengabdikan seluruh hidup  untuk agama.”
“Subhanallah.” Raihan berdecak kagum. Tiba-tiba sesak kembali menyergapnya. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Andai istri saya mendengar cerita ini, dia pasti bahagia sekali. Tapi, entah bagaimana keadaannya sekarang.”
Galih menatap haru. Ia melihat kilatan cinta yang luar biasa di mata Raihan. “Semoga Allah menyembuhkan istri Ustadz.”
“Amin. Terima kasih, ya.”
***

40 hari telah terlalu. Rindu dan cemas memenuhi ruang perasaannya. Ia sangat merindukannya, tapi mungkinkah masih bisa bertemu.
Mobil yang ia tumpangi berhenti di depan rumah. Harapannya turun hingga titik nadir. Banyak orang di halaman rumah. Bendera hijau tertancap di depan rumah.
Ia melangkah dengan gontai. Tungkainya serasa lepas, namun dipaksakan melangkah. Mendekati sosok yang bertutup kain kapan. Ia tersungkur. Menangis pilu. Wanita yang ia rindukan. Yang telah ia berikan segenap perjuangan agar bertahan hidup. Kini ….
Ia mengangkat kepala, ketika merasa ada yang menyentuh pundaknya. Matanya terbelalak.
“Rifqa, kau …?” Raihan kebingungan. Pandangannya silih berganti. Menatap perempuan di hadapannya dan sosok yang bertutup kafan.
“Itu bibi. Kemarin dia berkunjung, tiba-tiba terkena serangan jantung dan ….”
“Masya Allah.” Refleks Raihan membuka tangannya lebar-lebar.
Rifqa menampiknya. Matanya mengerling ke orang-orang.
Seketika Raihan tersadar. Banyak mata yang menatapnya. Ia segara menjauh dari ruangan itu.
 “Kau sudah sembuh? Siapa pendonor berhati malaikat itu?” cecarnya ketika mereka berada di kamar.
Rifqa mengangguk. “Alhamdulillah. Pendonornya aku tidak tau. Dokter hanya mengatakan, ini merupakan wasiat sebelum ibu itu meninggal.”
Langsung saja Raihan menarik tubuh istrinya dan memeluknya erat-erat. Hanyalah desis takbir dan tahmid yang bisa keluar dari mulutnya. Segala lelah terasa mengalir dari tubuhnya berganti dengan kebahagiaan yang tiada terkira.
Transplantasi telah menyelamatkan cintanya. 

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Tranplantasi Cinta"

Post a Comment

Tinggalkan jejakmu di sini :)
Maaf, mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar. Thanks.