Cadar & Aku: Sebuah Awal

Gerbang besar telah dilewati. Akankah setelahnya menjadi indah atau sebaliknya? Berhati-hatilah, karena tidak sedikit yang akhirnya memilih untuk kembali keluar dari gerbang yang bernama, Pernikahan.
Tiga tahun enam bulan sudah gerbang itu aku lewati. Aku harus menerima kenyataan bahwa bangunan di balik gerbang itu tak selamanya indah.

 Tak ada lagi kehidupan seorang wanita yang sibuk dengan urusan kantor, yang ada hanyalah seorang istri dan ibu yang bolak-balik antara dapur, kasur dan sumur.

Aku tidak begitu saja menerima keadaanku, segala usaha aku coba untuk sekedar menambah uang saku, satu pengalaman yang paling berkesan adalah ketika aku terjun ke dunia multilevel dari berhasil mencapai posisi manager.
Aku bersyukur tak ada masalah keuangan dalam kehidupan rumah tanggaku. Tapi bukan semua rumah yang tak ada pasir atau kerikil saat membangunnya. Sebuah keributan-keributan kecil pun sering aku hadapi bersama suamiku.

Target demi target dalam bisnis yang kuikuti berhasil diraih. Hingga tanpa sadar ada sesuatu yang terabaikan. Sebuah sistem penjualan yang tidak aku jalani dengan baik akhirnya membelenggu. Barang-barang menumpuk, para dealer dan tertarik karena barang yang mereka inginkan tidak tersedia. Sedang aku 'terpaksa' terus mengikuti sistem bundling yang sangat tidak menguntungkan bagi posisiku.

Keadaan seperti ini membuatku pusing, ditambah lagi bila aku pulang menghadiri meeting yang menjejali angka-angka yang harus dipenuhi dengan bermacam iming-iming dari hadiah produk hingga plesiran keluar negeri. Hal ini sering membuatku emosi.

Suamiku menyadari hal ini. Ia mulai mengawasi segala pengeluaran yang aku lakukan.

"Jika yakin bisnis ini jalanmu silakan gunakan kartu kredit ini sebagai modal, tapi jangan lupa tumpukan barang yang belum kamu pasarkan. Jangan sampai terlilit utang."

Aku mencerna kata-katanya. Mulai saat itu aku pun jarang menghadiri meeting di kantor dan fokus pada keluargaku.

Hari-hari mulai membosankan bagiku. Benar-benar hanya dapur, sumur dan kasur.

Hingga tanpa sengaja aku membaca sebuah tabloid on line tentang aktivitas seorang ibu rumah tangga yang dapat menghilangkan jenuh salah satunya adalah mengikuti pengajian.
Dulu sebelum menikah aku sempat mengikuti program membaca Al-Qur'an yang dibuat pemerintah. Pagi hari sebelum ke kantor aku pergi ke sana.

Tapi, sekarang dengan satu anak menempuh perjalanan dari Jakarta Timur menuju Jakarta Selatan?
Ah, manusia. Saat mengejar dunia ke mana pun aku bisa sampai dengan membawa anakku. Tapi untuk urusan akhirat, berat rasanya.

Tanpa disengaja akhirnya aku dapat informasi tentang pengajian yang sesuai dengan 'selera', bukan hanya sekedar membaca satu surat bersama-sama. Yang aku inginkan adalah membaca satu-satu dan diperbaiki mana bacaan yang salah.

Aku membicarakan hal ini pada suamiku dan akhirnya berhasil mendapatkan izin. Aku pun menghadiri pengajian sehabis maghrib dengan membawa anakku.
Setelah membaca surah satu persatu setelah itu dilanjutkan dengan membaca kitab hadist  bersama-sama.

Aku hadir setiap hari, ada suatu hal yang diam-diam aku perhatikan dan akhirnya aku utarakan pada suamiku.

"A' guru ngajinya pake cadar. Anak-anak gadisnya juga."

"Kamu ga salah kan ikut pengajian? Kalau ga bener, ga usah dilanjutin."

Dan aku pun mulai bimbang.


#BloggerMuslimah
#GerakanMenujuSholeha
#OneDayOnePost





Subscribe to receive free email updates:

9 Responses to "Cadar & Aku: Sebuah Awal"

  1. Kebayang perjuangannya, Mbak Anggarani. Inspiring

    ReplyDelete
    Replies
    1. Awalnya sulit.

      Tapi pas dijalanin mah biasa aja, Mba

      Delete
    2. Awalnya sulit.

      Tapi pas dijalanin mah biasa aja, Mba

      Delete
  2. Mamaku juga masih begitu, Mba. Anggapannya tentang wanita bercadar kadang agak gimanaaa gitu.

    Wanita yang bercadar itu cobannya berat, ya, Mba. Salut sama yang sudah bercadar :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Banyak koq mba yang beranggapan seperti itu.

      Padahal mah sama aja.

      Delete
  3. Nah gimana kelanjutanyya nih mbak Ahliah? Penasaran hehe

    ReplyDelete
  4. salam ta'aruf. saya seneng baca kisahnya. Ma sya Allah, semoga saya cepat menyusul mba. pengen tapi setelah menikah. he.. klo masih single perjuangan berlawan dgn keluarga pastinya... :D
    Soalnya temen2q sudah banyak yang pakai ukht...
    tinggal di mana ukh?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Salam taaruf.

      Aamiiin

      Semoga dimudahkan, Ya Ukhti.
      Aku di Jakarta

      Delete

Tinggalkan jejakmu di sini :)
Maaf, mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar. Thanks.