KEMATIAN YANG TERTUNDA


KEMATIAN YANG TERTUNDA
Penulis: Anggarani Ahliah Citra.
Pagi indah menghiasi Serambi Mekah, menambah kehangatan suasana saat bercengkrama dengan keempat buah hati sambil menanti sarapan yang sedang disiapkan oleh pendamping hidupku.

Menu sarapan tiba, disambut rasa gembira nan ceria keempat anakku. Namun, kegembiraan tak berlangsung lama. Rumah bergetar dengan kencang, kami tak sanggup menguasai diri. Aku mencoba meraih anak dan istri yang menjerit histeris, namun tak berhasil.

Sekuat tenaga kami mencoba bertahan, sampai akhirnya guncangan itu reda.
Peluk dan cium kuhujankan kepada seluruh keluarga. Kuajak mereka semua berzikir, mengagungkan-Nya dengan kalimat thoyibah.
Belum pulih kecemasan kami, guncangan kembali terjadi diikuti dengan reruntuhan. Terlihat jelas gulungan air tinggi berwarna hitam pekat bagai seekor ular raksasa mulai memakan atap rumah, perlahan tapi pasti ular itu semakin mendekat, memperlihatkan lidah serta taring yang tajam siap menjadikan kami menu pagi harinya.
Kejadian di luar nalar ini membuat kepalaku sakit, berputar dan serentak semua menjadi, gelap.
***

Sebuah tanah lapang nan gersang, terik matahari seolah tak berjarak dengan bumi, tersadarku di sini dengan keadaan polos seperti saat baru terlahir.

Beberapa lelaki kekar berkulit hitam juga sangar memegang cambuk mengelilingiku, tanpa memberi kesempatan bertanya.

CccTtaaRRrrr ...
Sebuah cambukan berhasil mendarat di punggungku, membuat seluruh tubuh perih dan panas melebihi teriknya matahari saat ini.

"Allaaah ..."

Jeritku seketika tersungkur menahan sakit yang tak terkira. Kuangkat kepala, kejadian masa lalu terputar di hadapan.

Terlihat seorang pemuda berjenggot menghampiri diriku yang sedang asyik bermain catur dengan seorang teman, pemuda berjenggot itu kerap mengajak kami untuk sholat berjamaah di masjid.

Kedatangannya sama sekali tak kuhiraukan. Aku sangat tidak menyukai pemuda sok alim itu, dia adalah suami dari salah seorang keponakan. Karena pemuda itulah kini keponakanku selalu berpakaian lebar serta menutupi wajahnya dengan sehelai kain, perempuan bodoh, mudahnya mengikuti ego laki-laki pencemburu, aku pun berhasil mempengaruhi seluruh keluarga untuk tidak berkomunikasi dengan mereka.


Aku lanjutkan permainan catur ini tanpa mempedulikan kepergian pemuda itu, semakin larut dalam permainan dan meninggalkan kewajiban yang bukan hanya sekali atau dua kali.

CccTttaaRRrr ...
Cambukan kedua kembali mendarat di punggungku.

"Allaaah ..."

Suaraku semakin lirih, menahan rasa yang lebih menyakitkan, membuat tubuh ini semakin rebah terjerembab, kembali mencoba memahami kejadian lalu yang terputar ulang.

Seorang wanita cantik berkerudung labuh, tertunduk menyembunyikan wajah yang menyiratkan kesedihan di hadapan laki-laki yang sedang memaki tanpa peduli perasaannya.

Lelaki itu adalah, diriku. Seringnya melukai istri dan anak-anakku, bukan hanya dengan kata-kata tetapi juga pukulan.

Terutama terhadap istri, saat aku mendapatkan tekanan pekerjaan, kesalahan kecil dapat berakibat fatal, tak peduli keletihan dirinya saat mengurus rumah, menjaga harta dan anak-anak.

CccTtaarRrr ...

Cambukan demi cambukan kini menghujaniku tanpa henti. Kukerahkan seluruh tenaga untuk bertahan dan berteriak memohon.

"Ya Allah, hamba memang manusia nista yang pantas menerima hukum cambuk ini. Ampuni hamba, Ya Robb ... Tapi, hamba mohon masukanlah istri dan anak-anak hamba dalam surga-Mu. Hamba ridho akan bakti istri hamba selama mendampingi di dunia. Ampunilah dosa-dosa mereka."

Cambukan terhenti, samar terdengar ucapan seorang lelaki pemegang cambuk.

"Ya Allah, setiap kali dicambuk dia selalu menyebut nama-Mu. Apa yang harus kami lakukan, Ya Robb?"

Tak lama cambukan kembali terjadi bertubi-tubi, meluluhlantakkan tubuh ini, memaksa diri kembali dalam ... Gelap.
***

Aku terjebak dalam sebuah putaran air yang mengembalikan kesadaran diri. Di tengah genangan air bah penuh sampah dan pohon tumbang terapung.

Aku melempar pandangan ke sekeliling, sebuah seng yang biasa di gunakan sebagai atap sebuah rumah meluncur deras ke arahku. Dengan sigap kubenamkan kepala kembali ke dalam air dan bersembunyi di balik kasur mengapung, seng itu berhasil membelah dan mendorong kasur itu, menenggelamkanku semakin jauh dan semua kembali ... Gelap.
***

Di sebuah trotoar pinggir jalan ajun Banda Aceh Lhoknga, aku tersadar kembali dalam keadaan haus yang sangat mencekat tenggorokan. Tubuh tertutup kain lusuh dan daun kelapa. Manusia hilir mudik di depanku sambil membawa botol air mineral tetapi tak satu pun yang memperhatikanku.

Mungkinkah ini balasan karena aku kurang peduli dengan sesama? Rasa haus kian mencekik, semakin lama semakin menjerat hingga tak dapat bernapas dan membawaku kembali dalam ... Gelap.
***

Nuansa berwarna kuning memenuhi seluruh pandangan, sebuah garis hitam terbentang di tengahnya. Tempat apa lagi ini? Kutarik pengait garis hitam tersebut, kemudian menggerakan kepala agak menyembul keluar dan tersadar bahwa kini, aku berada di dalam sebuah kantong mayat. Tergeletak di antara kantong mayat lainnya yang mungkin berjumlah ribuan.

Tiba-tiba lewatlah seorang laki-laki yang sangat kukenal, sepupu yang sedang menjabat sebagai seorang bupati di daerah tempat tinggalku. Suara tak dapat keluar lagi, sekuat tenaga berusaha mengeluarkan tangan dari tempatku berada.

"Mayat hidup ... Mayat hidup ..."

Reaksi orang-orang terlihat berhamburan menjauh dariku. Kecuali bupati yang merupakan sepupuku itu, ia menghampiri dan memeriksa kantong mayat sumber kericuhan.
Dia memperhatikanku dengan seksama.

"Siapa namamu?"

Dan aku menjawabnya dengan setengah berbisik.

"Masya Allah, kau? ..." dalam keadaan tak percaya dia memelukku.

Seluruh ajudannya mengangkat dan segera menghangatkan tubuhku yang tak berpakaian serta mengalami perubahan fisik yang luar biasa. Wajah tampan, tinggi besar dan putih menjadi hitam legam tanpa gigi. Tak ubahnya masakan gosong yang baru diangkat dari penggorengan.

Para ajudan itu menyuapiku makanan dan minuman yang nikmatnya tiada tandingan, kemudian tim medis memeriksa kondisi dan merawat luka-luka bekas cambukan yang sangat parah dan juga kaki yang patah.

Keesokan harinya, aku dijemput oleh keponakan yang bersuamikan seorang pemuda yang sangat kubenci. Mereka mengantar ke tempat orang tuaku yang terhindar dari bencana.

Banyak keluarga besar yang selamat dari badai tsunami ini mengungsi di sana, tapi tak terlihat istri dan anak-anakku.

Walau begitu, tak sedikitpun merasa perlu bertanya kemana mereka, karena aku yakin Allah SWT menempatkan mereka dalam genggaman-Nya.

Keponakan dan suaminya merawatku dengan sabar tanpa menunjukan kebencian sedikitpun. Berbeda dengan perlakuanku selama ini terhadap mereka.

Lambat laun sikap dan pandanganku berubah. Keponakanku adalah seorang bidan sholehah yang lembut hati serta perangainya. Dari wajahnya terpancar aura ketaataan yang tak ditemukan pada wanita lain, wajar jika suaminya memintanya bercadar untuk perlindungan diri karena tak ingin wajah istrinya menjadi sasaran pandangan laki-laki lain yang tidak bertanggung jawab. Dan, merekalah yang selalu mendampingiku memperbaiki keimanan.

Aku memang orang yang beruntung, terpilih dan mendapatkan kesempatan kedua untuk memperbaiki diri dan amal ibadah, merengkuh cinta serta hidayah-Nya. Sampai nanti kematian benar-benar datang menjemput tanpa ada penundaan kembali.
Lamjamee.

Desember 2004
Narasumber: Sahabat fb Rahel Tera. Selaku keponakan pemilik kisah.


Subscribe to receive free email updates:

1 Response to "KEMATIAN YANG TERTUNDA"

  1. Kematian yang tertunda....sebuah kesempatan untuk memperbaiki diri :D

    ReplyDelete

Tinggalkan jejakmu di sini :)
Maaf, mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar. Thanks.