Alergi Cinta

FIKSI: ALERGI CINTA
Penulis: Anggarani Ahliah Citra


"Latifah, sudah siap belum, ndo? Ayo kita berangkat, jangan sampai kita telat di akadnya Santi sepupumu. Kalau telat 'kan ndak enak sama Bude Marni."
Aku pun segera keluar dari kamar setelah yakin hijab dan cadarku telah rapi.
"Sudah, Bu. Bapak mana?" tanyaku dengan suara bindeng karena hidung tersumbat yang setiap pagi kualami.
"Bapak di mobil. Alhamdulillah, Pak Hendra mengizinkan kita meminjam mobilnya hari ini, tapi hanya sampai sore hari jadi kita bisa hemat ongkos."  Ibu semingrah.
Pak Hendra majikan Bapak memang baik pada kami, mungkin karena sudah hampir 10 tahun Bapak menjadi sopir Pak Hendra. Mobil melaju ke arah Mampang dengan lancar, yah berhubung hari minggu jalan di Jakarta tidak membuat kepala pusing.
Sebenarnya aku sangat malas untuk menghadiri acara seperti ini. Karena pasti nantinya aku akan di berondong dengan pertanyaan yang sama.
Kami tiba tepat waktu untuk menyaksikan akad nikah Santi, semuanya lancar dan sukses diiringi dengan tangis haru keluarga.
Selanjutnya seperti biasa acara makan dan kesempatan keluarga besar bercengkrama karena lama tidak berkumpul seperti ini, dan momen seperti inilah yang sebenarnya ingin aku hindari.
"Mba Ndari, gimana tinggal Latifah nih yang belum."
Bu'le Ros berbicara,

"Lha wong adik adik sepupunya aja dah nikah semua lho, Mba. Opo Latifah ndak bisa carinya? Yo wes tak bantuin, Mba. Tapi lha yah itu ndak usahlah Latifah pakai-pakai cadar kaya gitu. Jangankan laki-laki, perempuan juga takut ngeliat nya lho, Mba. Kaya ninja ngono. Sopo sing gelem?"
Tambah Bu'le Ros dengan nada kencang membuat semua orang menoleh ke arahku dengan tatapan setuju dengan pendapat Bu'le .
Ya Allah, tolong hamba-Mu ini.
"Duh, kalian ini tenanglah semua. Nanti akan aku kirimkan undangannya. Kalau memang sudah siap acaranya Latifah, pasti aku kasih kabar,” jawab Ibu  tenang.
"Kapan toh, Mba Ndari. Anakmu dah 30 tahun, wajahnya tuh manis, Mba. Tapi koq malah ditutupin, piye tho?"
Bu'le Mini pun nimbrung.
Ah andai saja aku punya ilmu menghilang ....
***

Lelah rasanya hari ini, malam makin larut kucoba pejamkan mata tapi percuma, kejadian tadi masih melekat di ingatanku. Aku pun beranjak dari tempat tidur, lebih baik kuambil wudhu dan mengerjakan saja tahajud sekarang tak apalah walau pun mata ini belum terpejam dan akan melanjutkan dengan bertadarus hingga nanti mengantuk.
Bangun pagi, persiapan sholat subuh dengan kondisi hidung yang mampet tentunya. Sudah hampir 1 bulan ini setiap subuh hidung ini selalu mampet, perlu perhatian khusus sepertinya.

"Bu, mungkin hari ini aku tidak bisa mengajar. Mau ke THT ada masalah di hidungku." Kukirim sms ke Bu Ning kepala TK tempat mengajar.
Pukul 8 pagi aku pamit pada Ibu, diantar Bapak dengan vespanya ke puskesmas setelah itu Bapak melanjutkan ke tempat kerjanya. Aku segera ke loket pendaftaran menyerahkan kartu dan fotokopi ktp untuk mendapatkan nomor urut. Nomor urut 2, Alhamdulillah tak percuma berangkat pagi. Aku pun menunggu di depan poli THT, tak lama tibalah giliranku.
Di dalam ruangan kuceritakan masalah hidung ini kepada Pak Dokter. Dengan berat kuturunkan cadar  agar Pak Dokter dapat memeriksa hidung  dengan alat yang entah apalah namanya, yang jelas hidungku terasa perih saat diperiksa. Setelah selesai kukenakan kembali cadar, sementara Pak Dokter menulis resep dan dia memintaku ke meja assistennya.
"Mba, bawa fotokopi kartu keluarga?" tanya wanita yang kira-kira seumur dengan ibu di rumah, aku pun menyerahkan fotokopi KK kepadanya.
"Alamatnya tolong di tulis ulang di kertas ini, yah, sama no telepon rumah atau no henpon kepala keluarganya." Aku pun menurut.
Setelah itu aku kembali ke meja Dokter.
"Hidung kamu terkena rhinitis alergi, karena kamu bilang setiap pagi mampet. Kemungkinan kamu alergi udara dingin. Ini resepnya kita lihat perkembangannya 2 minggu lagi, kalau tidak ada perubahan, kita cek lebih jauh, yah,” jelas dokter dengan cepat.
Aku pun segera pergi ke loket pengambilan obat agar cepat bisa pulang beristirahat.

***

Alhamdulillah satu bulan hidungku tidak bermasalah lagi. Hari minggu siang ini  aku habiskan waktu  di rumah
"Assalamualaikum ..." Terdengar 2 orang memberi salam.
"Walaikumsalam ... Masya Allah ... Bude Marni, Bu'le Ros, Bu'le Mini. Masuk yuk."
Aku meminta mereka duduk.
 "Ibuuu ... Ada Bude dan Bu'le, Bu. Biar aku yang bikinin minum."
Aku pergi ke dapur,
"Pak, ada Bude dan Bu'le,"
Bapak sedang membaca koran di halaman belakang segera menemui mereka,
"lho kok balik lagi, Pak?" 
"Bapak udah kasih salam koq, ndak mungkin 'kan Bapak gabung sama Ibu-ibu? Yah mending baca koran lagi," jawab bapak santai. 
"Gini lho, Mba Ndari. Tujuan kita bertiga kesini tuh mau ngasih tau. Itu lho ada yang mau ngelamar Latifah, Mba."
Bu'le Ros buka pembicaraan. Sontak aku menghentikan kegiatan di dapur mendengar ucapan Bu'le.
"Subhanallah, sopo toh dik wong'e?"
 Suara ibu  begitu antusias.
Bapak ternyata sudah berada di sampingku, tersenyum sambil menunjuk ke dua pipiku yang terasa panas dan pasti terlihat memerah.
"Itu lho, Mba. Pak Bondo tetangga kita yang di Jogja, yang kost-kost an ne banyak itu, Mba." Bu'le Mini menjawab.

Aku dan Bapak mengerenyitkan kening mencoba mengingat-ingat. 
"Pak Bondo? ne' seingatku anak-anak'e perempuan kabeh toh, Dik. Dari istri ke duanya juga, ada anak laki-lakinya dari istri yang ketiga tapi masih SMP, toh?" Ibu pun heran, begitu juga aku dan Bapak.
"Lha yah bukan untuk anak' e toh, Mba. Tapi buat Pak Bondo itu, dia lagi cari untuk  jadi istrinya yang ke empat,” tambah Bu'le Mini.
"Waah, kost-kostannya tambah banyak lho, Mba Ndari. Kalau si Latifah mau katanya Mba Ndari dan Mas Pram mau diberangkatin haji, Mba." Kali ini Bu'le Ros yang antusias. Aku menghela napas teriring istighfar sebanyak-banyaknya, tak terasa air mata jatuh di pipi, Bapak pun kecewa, segera kuhapus air mata  dan mengantarkan minum juga sedikit kue untuk mereka.
"Gimana, Ndar? Lha ini dia Latifah. Piye? Mau toh, Ndo? Nda apalah istri ke 4 paling muda biasanya nanti paling disayang sama suami. Lha wong belum apa-apa orang tuamu dah mau diberangkatkan haji,” tambah Bude Marni. Aku pun tersenyum saat Ibu menatapku.
"Nda usah repot repot Bude, Bu'le. Insya Allah, biar nanti Latifah cari sendiri,” jawabku sambil terus beristighfar agar tak salah bicara.
"Lho koq nda mau? Nda usah jual mahal lha kamu, Latifah. Usia kamu udah nda mendukungmu untuk jual mahal." Bu'le Ros yang membuatku kaget.
"Iya, apalagi dengan penampilanmu yang seperti sekarang ini. Pak Bondo bilang, dia nda keberatan koq, kamu bisa tetep pakai cadarmu itu." Bu'le Mini menimpali tanpa dikomando.
"Istri ke-4 itu 'kan halal. Nda dilarang toh oleh agama, udahlah terima ajah daripada kamu jadi perawan tua! Beda sama ibumu dia pakai cadarnya itu setelah menikah, lha kamu siapa yang mau? Gadis koq kaya ninja, laki laki mana lagi yang mau?" Bude Marni semakin memojokanku.

"Cukup! Nda usah kalian teruskan. Latifah sudah memberikan jawabannya. Sekarang silahkan kalian pulang."
Bapak angkat bicara dengan nada tegas guna melindungiku.
"Tapi, Mas Pram maksud kami baik."
"Yah, aku mengerti, Mini. Kalian memang ipar-iparku yang baik. Sebaiknya sekarang kalian pulang. Terima kasih atas perhatian kalian,” ucap Bapak sambil mengantar mereka bertiga sampai ke pintu dan langsung menutupnya kembali.
"Sabarlah, Sayang,” ucap Ibu sambil memelukku.
"Alhamdulillah, kau menolaknya, Ndo. Bapak tau kelakuan Pak Bondo itu seperti apa. Istrinya yang sah memang ada 3 orang, tapi di luar itu dia tetap hobi main perempuan, belum judi dan minumnya. Ibumu juga tau itu begitu pula dengan Bude dan Bu'le-bu'lemu itu, entahlah apa maksud mereka," jelas Bapak
"Allah pasti menyiapkan yang terbaik untukmu, Sayang. Tetap pegang teguh sunnah yang sudah kau laksanakan saat ini. Toh banyak wanita yang mengumbar auratnya lebih murah dari sepotong paha ayam di pasar dan mereka pun belum menikah di usia yang jauh di atasmu. Allah telah siapkan, Ndo. Untuk jadi imammu, membimbingmu, bapak dan juga ibumu."
Aaah Bapak meluluhkan hatiku. Tapi di mana, Pak? Ucapku dalam hati.
Hari-hari kulewati hanya rumah, TK, mushola kalau ada ta'lim bareng Ibu.
Ya Allah, berilah hamba kesabaran kejadian ini yang sungguh menyesakan dadaku, tapi biarlah, yang harus kulakukan saat ini adalah semakin mendekati-Nya.

Hp Bapak berdering memecah kesedihan kami, aku dan Ibu menghapus air mata kami masing-masing sementara Bapak menerima telefon. "Bu, ba'da isya nanti teman Bapak mau datang. Tolong siapkan makan malam ya, Bu. Nda apa-apa seadanya saja. Memuliakan tamulah, soal'e orangnya baik, memang bapak baru kenal satu bulan ini. Sepertinya dia butuh sopir mungkin dia akan meminta bapak bekerja untuknya,” cerita Bapak
"Lho tapi 'kan Pak Hendra sudah baik banget sama kita, Pak,” sahut Ibu.
"Yah, ini baru perkiraan saja, soalnya dia juga belum bilang, tapi kalau benar dia perlu sopir biar bapak tawarkan si Yono depan rumah kita itu lho, dia juga lagi nganggur 'kan." 
"Ya sudah, azan ashar tuh. Bapak ke mesjid dulu. Kalian tak usah memikirkan kejadian tadi lagi, yah."
Setelah sholat dan tadarus aku pun membantu Ibu di dapur, mempersiapkan untuk makan malam.

***

Bada Isya teman Bapak pun datang, aku tetap di atas sajadah sedari maghrib tadi. Kupilih bertadarus untuk menenangkan hati ini.  Tak lama ibu mengetuk pintu kamarku.
"Ada apa, Bu? Makan malamnya ada yang kurang? Ada yang perlu dibeli lagi ke warung?” tanyaku pada Ibu.
"Makannya dah selesai, Ndo. Tapi Bapak meminta kita menemui tamunya."
"Ada masalah apa ya, Bu? Koq sampai kita harus ikut menemui mereka?"
"Ya Ibu nda tau. Ya sudah pakai hijab dan cadarmu kita ke ruang tamu."
Sampai ruang tamu kami duduk di samping Bapak.

"Nak Ridwan dan Pak Arif ini istri dan anak saya."
Kami pun serentak mengangguk.
"Ada masalah apa toh, Pak?” tanya Ibu kepada Bapak.
"Ini nak Ridwan teman Bapak yang bapak cerita kan itu, Bu. Dan Pak Arif ini bapaknya nak Ridwan,” jelas bapak.
"Hmm, gini, Bu. Katanya nak Ridwan ini ingin melamar Latifah."
Deg.
Masya Allah apalagi ini? Kenapa masalah ini lagi yah Allah?
"Katanya nak Ridwan ini sudah pernah bertemu dengan Latifah." Ibu menatapku, membuatku bertambah bingung.
Bertemu?
Di mana?
Kapan?
Melihatnya saja baru kali ini.
Aku beranikan diri menatap laki laki bernama Ridwan itu sambil berzikir.
Apa iya aku mengenalnya?
Sepertinya aku memang belum pernah bertemu dengannya.
Rupanya Ridwan mengetahui kebingunganku
"Iya, Dik Latifah. Kita pernah bertemu lho."
Duh, menggigil rasanya dia memanggilku dengan sebutan Dik. Tapi aku benar-benar belum mengenalnya.

Yah Allah ... 
Bagaimana kalau dia seperti Pak Bondo atau lebih buruk lagi?
Astaghfirullah. Segera aku beristigfar tak sepantasnya aku suudzon seperti ini. Suaranya, yah coba kuingat-ingat. Ustad penceramah di musholakah? Atau ustad ustad yang penceramah di radio yang sering aku dengar?  Tapi sepertinya tidak mungkin. Atau salah satu keluarga Bu Ning kepala TK tempatku mengajar? Entahlah, aku pun menggelengkan kepala.
"Kita bertemu di puskesmas, Dik. Sepertinya rhinitis alergimu sudah baikan yah? Makanya kamu tidak kembali lagi untuk kontrol."  Penjelasan Ridwan membuatku tambah bingung.
"Maksudnya? Mas itu? Dokter THT yang di puskesmas?" tanyaku penasaran.
"Benar, wajar kau tidak mengenaliku. Karena saat tugas aku memakai masker,” jelasnya.
"Masya Allah, koq bisa?” tanya Ibu spontan.
"Begini, Bu. Begitu melihat Latifah masuk ke ruangan saya, saya langsung terkesan karena dia tegar memegang sunnah dalam berpenampilan, inilah yang saya cari. Maka dari itu saya meminta asisten saya untuk mencatat alamat dan no hp Bapak selaku walinya. Setelah satu minggu istikharah, Alhamdulillah Allah memantapkan saya menghubungi Bapak untuk mengenalkan diri saya dan bersahabat dengan beliau.Selepas tahajud saya tetap beristikharah sampai akhirnya saya berada disini sekarang."
"Mohon maaf jika kami dianggap lancang mengajukan lamaran ini. Kami harap keluarga Bapak sekiranya berkenan untuk beristikharah dalam mengambil keputusan masalah ini. Insya Allah, minggu depan kami kembali untuk mendengar jawabannya,” tambah Pak Arif dan dilanjutkan dengan berpamitan.

Kata-kata Mas Ridwan & Pak Arif membuatku hampir pingsan tak percaya.
"Masya Allah, Pak. Anak kita di lamar dokter, Pak? Apa nda salah? Bapak dah tau latar belakangnya?" Ibu pun seakan tak percaya.
"Insya Allah, Bu. Usianya 35 tahun, belum menikah. Bapak udah pernah kerumahnya dan ke puskesmas tempat kerjanya. Lha ya itu Bapak kira nak Ridwan perlu sopir. Eh nda tau ne perlu istri tho... Alhamdulilah ya, Ndo. Jangan lupa malam ini kita semua mulai Istikharah yah, biar Allah yang menentukan."
Aku pun menganguk dengan mantap yah aku tak ingin gegabah ambil keputusan.

***

Hari minggu yang direncanakan pun tiba. Mas Ridwan datang dengan Pak Arif, Ibu dan juga 2 adik perempuan yang ternyata berhijab dan bercadar juga.
Allah Maha Kuasa.
Kami menerima lamaran tersebut, dan tanpa kusangka hari pernikahan telah ditentukan pada hari jum'at minggu ini, kami sepakat hanya akad nikah sederhana yang hanya akan di hadiri oleh keluarga besar kami.
Tangis haruku menerima semua anugerah-Mu ini, Ya Allah.
Alhamdulillah, Ya Robb.


__end__

Subscribe to receive free email updates:

6 Responses to "Alergi Cinta"

  1. wah keren mbak sukses ya mbak aamiin...

    ReplyDelete
  2. hemmm Super Spektakuler ne, Sukses ya Say...!

    ReplyDelete
  3. moga saya juga segera sukses nikah dah mantap...

    ReplyDelete
  4. Baguss... smoga dpt meneladani utk ttp memegang teguh sunnah mski bnyak tantangannya...

    ReplyDelete

Tinggalkan jejakmu di sini :)
Maaf, mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar. Thanks.