ANTARA CINTA DAN DUNIA TANPA SUARA
Oleh. Ahliah Citra
Bel pintu berdering mengucapkan salam berkali-kali. Asiah bergegas menuju pintu setelah memastikan Ilma berada dalam keadaan aman.
Asiah tersenyum sambil menjawab salam setelah membuka pintu. Puspa, seorang wanita berumur yang masih saja terlihat cantik di balik setelan blazer berwarna cokelat muda telah berdiri di sana.
“Apa kabar, Asiah?” tanya Puspa sambil tersenyum.
“Baik, Ma. Alhamdulillah.” Asiah menjawab setelah mencium tangan Puspa dan mengajak ibu mertuanya itu masuk.
“Mana Ilma, Asiah?”
“Ada di ruang tengah, Ma. Sedang bermain.”
Mereka berjalan menuju ruang tengah. Puspa menarik lengan Asiah saat menantunya itu hendak mendekati Ilma, ia memang selalu enggan bertemu dengan cucu satu-satunya itu.
“Biarkan Ilma tetap bermain, Asiah. Mama hanya mau menitipkan berkas ini untuk Zuhdi. Sebenarnya, Mama sudah berkali-kali mengirimkannya melalui e-mail. Tapi, kita berdua tahu ‘kan bagaimana sifatnya Zuhdi?”
Asiah menerima beberapa map dari tangan Puspa.
“Mama tahu kamu wanita yang bijaksana, Asiah. Bantulah suamimu dalam menentukan pilihan.”
Puspa tersenyum sambil membelai kepala Asiah yang tertutup hijab berwarna merah muda.
“Mama langsung pulang yah. Jaga Ilma.” Tanpa merasa perlu diantar, Puspa segera berjalan menuju pintu.
Asiah terpaku menatap tumpukan map yang berada di tangannya. Kemudian ia berjalan menuju sofa yang berada di ruang tengah. Asiah duduk lalu membuka map paling atas. Halaman pertama, berisi biodata disertai sebuah foto wajah pemiliknya.
Setelah selesai dengan satu map, Asiah beralih ke map lainnya. Semua sama. Biodata wanita yang mengajukan lamaran. Bukan lamaran pekerjaan tetapi lamaran pernikahan. Pernikahan yang diajukan untuk Zuhdi, suaminya.
Semua wanita yang berada di foto itu menggunakan jilbab panjang dan lebar. Asiah tahu, Puspa pasti meminta bantuan dari harokah di kampusnya dulu. Di mana dirinya dan Zuhdi bertemu.
Asiah menarik napas panjang disertai istigfar. Tindakan ini memang bukanlah yang pertama kali dilakukan oleh ibu mertuanya. Tujuh tahun lalu, saat pernikahannya dengan Zuhdi telah mencapai usia ke lima dan ia belum juga memberikan seorang cucu, Puspa pun berulang kali memberikan pilihan untuk Zuhdi agar berpoligami.
Tapi, Zuhdi menolak dengan keras dan mereka mencoba berbagai cara untuk mendapatkan anak tanpa harus berpoligami.
Lalu sekarang? Asiah kembali menarik napas panjang. Ia menatap Ilma yang masih asik menyusun puzzle dan sesekali bermain dengan kerudung miliknya, putrinya itu tak sadar bahwa hari ini neneknya telah berkunjung ke rumah.
“Asiah…, Asiah…”
Sebuah panggilan dan sentuhan lembut di bahu membuat Asiah tersentak. Zuhdi telah berdiri di samping sofa ruang tengah.
“Mas Zuhdi?”
“Pintu depan terbuka, jadi aku langsung masuk. Adakah yang mau menjawab salamku? Assalamualaikum…,” ucap Zuhdi sambil tersenyum pada Asiah.
Asiah membalas senyuman Zuhdi dan menjawab salam dengan pelan. Wajahnya sedikit memerah. Ia pasti terlalu lama melamun. Asiah meletakkan semua map di samping meja, kemudian ia pun bangkit, mencium tangan Zuhdi lalu berjalan ke dapur menyiapkan minuman.
Zuhdi duduk di sofa, ia tersenyum memandang Ilma yang sedikit lagi menyelesaikan susunan puzzle sebuah masjid. Asiah datang dengan secangkir teh tarik hangat.
Setelah Zuhdi menghabiskan minumannya, Asiah mengambil cangkir dari tangan Zuhdi dan meletakkannya di meja. Kemudian Asiah memberikan beberapa map tadi kepadanya.
“Mama menitipkan ini. Aku dapat membantumu memilih, Mas,” ucap Asiah berhati-hati.
“Jadi, kau mengizinkan aku menikah lagi, Asiah?” tanya Zuhdi sambil menatap tajam pada Asiah.
“Aku selalu mengizinkanmu...., dari dulu, Mas.”
“Sebelum kau membantuku untuk memilih. Ada pertanyaan yang harus kau jawab untukku. Duduklah.” Zuhdi meletakkan map itu kembali di meja.
Asiah duduk di samping Zuhdi. Tak ada ucapan yang keluar dari mereka berdua. Mereka memandang Ilma dan larut dalam pikiran masing-masing.
“Asiah, siapa yang akan bertanggung jawab jika nanti seorang anak perempuan yang telah baligh tidak mengenal agamanya? Tidak mengenal kewajibannya? Bahkan tidak mengenal Tuhannya?” tanya Zuhdi sambil tetap menatap Ilma.
“Orang tuanya.”
“Siapa yang lebih bertanggung jawab, Asiah? Ayahnya atau ibunya?” tanya Zuhdi lagi.
“Ayahnya.”
Mereka berdua kembali terdiam. Ilma telah selesai dengan satu puzzle dan mengambil puzzle lainnya.
“Aku akan mengajari Ilma, Mas. Terutama ilmu agama. Kau tidak perlu khawatir. Kita pilih perempuan yang juga paham agama. Insya Allah semua berjalan dengan baik.” Asiah menjawab sambil memilin bagian samping gamis yang ia pakai.
“Ya, aku tahu,” jawab Zuhdi pelan, matanya tetap memandang Ilma yang masih belum sadar akan kedatangan ayahnya.
Mereka kembali terdiam.
“Kau yakin aku tidak akan berubah nantinya, Asiah? Jika nanti aku menikah lagi, apa kau yakin aku akan selalu ada untukmu? Untuk kalian?”
Asiah menelan ludah. Kali ini ia tak dapat menahan matanya untuk tidak berkaca-kaca. Tak lama sebuah isak terdengar pelan. Zuhdi menarik Asiah, mengecup kening Asiah sebentar kemudian membawa Asiah ke dalam pelukkannya.
“Aku takut, Asiah. Aku takut akan apa yang harus aku pertanggungjawabkan nanti di hadapan-Nya.” Zuhdi menunduk dan membenamkan wajahnya di atas kepala Asiah.
Zuhdi memejamkan mata. Ia ingat saat wanita sederhana itu mengalami pendarahan hebat ketika berjuang untuk memberikannya seorang anak hingga harus mengorbankan rahimnya ikut diangkat setelah melahirkan.
Asiah mengangkat wajahnya dari dada Zuhdi saat ia merasakan sebuah pelukan dari putri kecilnya. Ilma tersenyum memeluk mereka berdua. Kemudian gadis kecil berusia empat tahun itu kembali berlari mengambil sebuah puzzle terakhir yang ia susun. Sambil tersenyum, Ilma memamerkan sebuah puzzle huruf hijaiyah yang telah berhasil ia susun. Asiah tersenyum kemudian memeluk gadis kecil itu.
“Singkirkan semua map berisi biodata para akhwat itu, Asiah. Biarlah waktu yang melunakkan hati Mama dan dapat menerima keadaan kita, terutama Ilma. Karena Ilma adalah anak kita. Bantu aku, Asiah. Jangan menyerah. Dampingi aku untuk bisa melakukan semua yang menjadi tanggung jawabku. Terhadapmu, terlebih lagi terhadap Ilma.”
Asiah tertunduk sambil tetap meneteskan air mata mendengar semua ucapan Zuhdi.
“Kau lihat senyumannya Ilma ‘kan, Asiah? Ada kita dalam senyumannya, senyuman yang penuh kehangatan di antara cinta dan dunia tanpa suara miliknya. Jangan sampai senyuman itu terhapus dari wajahnya, Asiah. Jangan!” lanjut Zuhdi sambil mencium Ilma, putri semata wayangnya yang terlahir dalam keadaan bisu dan tuli.
Kali ini Asiah mengangguk penuh semangat dan tersenyum. Ia membiarkan tangan kecil Ilma menghapus semua air mata di pipinya.
~Tamat~
Cerpen ini pernah dimuat di web idntimes
Cerpen ini pernah dimuat di web idntimes
0 Response to "ANTARA CINTA DAN DUNIA TANPA SUARA"
Post a Comment
Tinggalkan jejakmu di sini :)
Maaf, mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar. Thanks.