Kutatap
wajah piasnya, menandakan betapa lelahnya ia. Dari tatapan mata redupnya, aku
sudah tau, ia tidak mendapatkan uang untuk menyambung hidup kami besok hari.
“Maafkan
aku! Ketika aku berhadapan dengan mereka, tiba-tiba mulutku terasa bungkam. Aku
tak bisa berucap pada mereka walau sekedar hanya meminjam uang untuk satu liter
beras. Maafkan aku!” ucap suamiku tertunduk.
Sejak siang tadi ia turun ke kota, silaturrahmi ke teman-temannya, berharap di
antara mereka ada yang bisa meminjamkan uang kepada kami.
Emosiku
melijit tinggi. Lalu mau makan apa besok pagi? Bukankah ia juga perlu makan,
agar bisa kuat lagi naik gunung untuk menyadap karet? Kenapa ia tak bisa
berucap pada teman-temannya untuk sekadar berhutang? Kenapa? Apakah terlalu
gengsi, malu mengakui kalau sebenarnya hidup kami saat ini dalam kekurangan? Ia
boleh gengsi. Mungkin ia memang tahan menahan lapar, tapi tidakkah terpikirkan
bahwa anak-anaknya tidak akan kuat menahan lapar?
Beruntungnya,
emosi yang meluap-meluap masih bisa kutahan, sehingga tak perlu keluar dalam
bentuk lahar yang membakar perasaannya.
Kutatap
wajahnya yang menyiratkan lelah yang dalam. Ia memang telah berusaha sekuat tenaga
untuk mencari nafkah. Hanya saja, kebun karet yang ia sadap, masih milik orang
lain, sehingga harus berbagi hasil dengan pemilik kebun. Walaupun hasilnya
sangat sedikit dari rata-rata penduduk sini, namun aku masih bisa mengelolanya
untuk kebutuhan kami sehari-hari.
Tapi
kali ini, harga karet menurun anjlok, ditambah lagi musim kemarau yang panjang,
pohon-pohon karet mengeluarkan getah yang sangat sedikit, dan juragan karet
mengumpulkan karet-karet dari penduduk hanya sebulan sekali. Penghasilannya
bulan ini tidak mencukupi untuk sebulan, sedangkan kami tidak mempunyai
tabungan.
Salah
satu kelebihannya yang sangat kugami. Ia tak pernah meminta kepada siapa pun
atau sekadar mengeluh tentang kesempitan hidupnya, walaupun kepada orangtuanya
sendiri. Padahal orangtuanya adalah orang yang berkecukupan. Sifat satu inilah
yang membuatnya tak bisa berucap untuk meminta bantuan kepada orang lain.
“Sudahlah,
Kak! Tak perlu sedih begitu. Kita berdoa saja pada Allah, mudahan Allah beri
rezeki untuk kita. Kalaupun memang belum rezeki kita, mudahan Allah beri kita
kekuatan,” kataku melembut sambil memegang pundaknya. Aku tak ingin ia dihantui
rasa bersalah, walaupun sebenarnya perasaanku sendiri dalam keadaan gamang..
Ia mengangkat wajahnya, “Terima kasih Dik, atas pengertiannya.”
Aku mengangguk, “Sebaiknya Kakak istirahat!”
Ia memutarkan pandangannya ke sekitar kebun karet, terlihat seluit jingga mulai
muncul di ufuk langit.
“Sebaiknya
aku bersiap-siap ke mssjid, sebentar lagi maghrib. Dan mungkin habis Isya, baru
bisa pulang. Do’akan ya mudahan malam ini, Allah bukankan jalannya.”
Aku mengangguk cepat sambil tersenyum. Aku bahagia sekali melihatnya. Memang
dia tak bisa memberikan banyak materi untuk anak istrinya. Namun keshalehannya
lebih dari cukup untuk kami. Keshalehannya membuatku yakin, bahwa pertolongan
Allah akan selalu bersama kami.
***
Aku tak sabar menunggu kedatangannya dari mesjid sehabis shalat Isya. Aku
berharap, ia mendapatkan sedikit uang, beras atau apa saja yang bisa kami makan
di pagi hari. Agar ia dan anak-anak kuat untuk beraktivitas.
Tapi harapan itu tiba-tiba pupus, ketika melihat tangannya yang kosong dan
wajahnya yang tidak mengesankan adanya berita gembira.. Hasbunallah wani’mal
wakil.
***
Tok..tok..
Bunyi ketukan pintu membuat kami terkejut, sekaligus was-was. Siapa yang datang
malam-malam begini? Di hutan ini? Aku melirik jam di dinding, jarum pendeknya
menunjukkan jam sebelas.
Tok..tok..
“Siapa?” tanya suamiku bernada curiga sekaligus cemas.
“Ini aku, Tayyib.” Terdengar sahutan dari luar.
Kami saling berpandangan. Apa maksud kedatangan Tayyib malam-malam begini?
Terlebih dia bukan penduduk sini, dia penduduk dari kampung di atas, Tanuhi.
Sekitar sepuluh kilometer dari sini.
Suamiku bergegas berdiri membukakan pintu. “Tayyib, ada apa? Eh, masuk-masuk!”
kata suami tergagap, ketika menyadari kalau ia belum mempersilahkan temannya
masuk.
“Tidak.
Aku di sini saja. Aku hanya ingin bayar hutang. Ini,” ucap Tayyib sambil
menyodorkan beberapa lembar uang dan sekantong pelastik kecil. “Ini sedikit
beras, hasil panen kami.”
“Tayyib.
Kenapa repot-repot begini? Kenapa tidak kau tunggu besok saja? Ini malam, gelap
lagi karena tak ada bulan, tentu sangat berbahaya!” kata suamiku yang keheranan
sekaligus bercampur bahagia.
“Iya
tadinya mau begitu. Tapi, entah kenapa hatiku ingin segara kemari.”
Dari kejauhan, kuperhatikan wajahnya yang polos tidak menunjukkan bahwa ia tahu
akan kesulitan kami.
Tayyib,
asli penduduk Tanuhi. Untuk ke sini, dia harus melewati jalan yang
berkelok-kelok bak ular dan menanjak tajam. Belum lagi di pinggir-pinggir jalan
banyak jurang-jurang yang curam.
Hatiku berdecak hebat. Siapa lagi yang menggerakkan hatinya, kakinya, tangannya
dan seluruh anggota badannya kecuali Allah. Ya, Allahlah yang menggerakkan
semuanya. Inilah pertolongan Allah kami. Hatiku semakin yakin, Allah akan
selalu membantu kesulitan orang-orang yang menyelesaikan masalahnya dengan
jalan taqwa.
“… Dan barang-siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan
baginya kemudahan dalam urusannya.” (Q.s. At-thalaq : 4)
0 Response to "Pertolongan Allah"
Post a Comment
Tinggalkan jejakmu di sini :)
Maaf, mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar. Thanks.