Gambar dari http://www.trendezia.com |
Apa yang harus dilakukan jika berobat? Menurutku, cukup hanya satu: AKRABKAN DIRI DENGAN DOKTER. Lo apa maksudnya?
Mengakrabkan diri dengan dokter atau tenaga medis bukan bertujuan untuk mendapatkan pengobatan atau layanan gratis. Tapi, dengan keakraban, kita akan lebih mudah menyampaikan keluhan dan biasakan bertanya banyak tentang informasi penyakit diderita.
Diri pribadi sering mendengar keluhan orang-orang, “Dokter anu ke mampan, ke dokter ani juga, akhirnya ke dokter ana baru sembuh.” Atau juga ngomong, “ke rumah sakit A sudah, ke rumah B juga, bahkan ke hampir ke seluruh rumah sakit tapi gam sembuh-sembuh.” Lo memangnya rumah sakit tempat shoping?
Ketahuilah, kemungkinan diagnosa yang kurang tepat karena memang keluhan kita sampaikan kurang pas. Jadi berpindah-pindah dokter pun, jika yang keluhan yang sampaikan itu-itu aja, maka resepnya pun itu-itu juga. Walaupun beda merk, tapi isi kandungannya tetap memiliki fungsi yang sama.
Diri pribadi pernah punya pengalaman sewaktu menemani ayah berobat. Dia pergi ke Banjar untuk berobat karena sudah ke mana-mana ga sembuh-sembuh.
Aku bawa beliau ke dokter yang biasa aku kunjungi. Dokter perempuan sih, tapi maksudku biar aku gampang komunikasinya, biar aku tau banyak hal tentang penyakit yang diderita ayah dan apa saja yang harus kulakukan.
Kunjungan pertama, keluhan ayah berupa; kadang-kadang LAPAH (lapah dalam bahasa banjar mempunyai dua makna. Bisa lapah karena kecapean dan bisa juga sesak napas dan dokter memahami lapah yang sebutkan itu sesak napas) tenggorokan serasa ada yang mengganjal, kaki nyeri, nafsu makan menurun, dan dengan riwayat pernah kena stroke sehingga suara gagap.
Setelah diperiksa, dokter memberi obat: obat maag, obat pengeluar dahak, dan beberapa obat yang tidak kuketahui apa fungsinya. Dokter juga berpesan, sering-sering latihan ngomong karena sakit tenggorokan itu disebabkan pernah stroke.
Saya lupa dokter memberi resep untuk berapa hari. Setelah obat habis dan kondisi ayah tak kunjung membaik, maka saya memutuskan kembali ke dokter itu. Karena resep pertama ga mempan, maka dokter memberi rujukan cek ke dokter THT.
Setelah ke THT, dan dengan keluhan yang disampaikan, dokter THT malah memberi rujukan ke dokter saraf dan rehabilitasi.
Pertamanya pergi ke dokter saraf dulu. Dengan riwayat pernah stroke dan ayah disuruh berjalan beberapa langkah dan pengangkat sebelah kaki, maka dokter mengidentifikasi semua keluhan ayah memang itu bekas penyakit stroke. Dokter bilang itu hanya bekas-bekas penyakit stroke dan proses sembuhnya memang lama. Dokter memberi resep dan katanya tak usah pergi ke rehabilitasi.
Entah kenapa tiba-tiba sampai di rumah ayah sesak napas lagi (dan saat itu aku tidak melihat kondisinya), mungkin juga karena kecewa keluhannya tak begitu didengar dokter saraf itu, ayah pergi lagi pengobatan entah apa namanya. Semacam traditional, tapi pakai obat kimia. Aneh.
Sejujurnya aku cukup kesal dengan tindakan ayah. Kenapa dia begitu ga sabaran, beruntungnya resep dokter saraf masih belum kebeli.
Entah kenapa setelah itu, dia pergi kepuskesmas dan puskesmas juga memberi resep dan entah kapan beliau juga cek darah dan di sana juga membeli obat.
Pening kepalaku melihat tumpukan obat. Beruntungnya aku melihat saat beliau mau minum obat. “Ayah, ini bisa overdosis kalau semuanya diminum! Kalau di buku ini dijelaskan(sambil nunjukin buku kesehatan), tidak dianjurkan pasien minum lebih dari 4 macam obat.” Beliau hanya diam. Mungkin membantah, tapi gimana caranya? Akhirnya aku pilihkan 4 obat dengan fungsi yang berbeda-beda. #halah malah sok pintar.
Yah, mungkin penyakitnya membuatnya benar-benar menderita sehingga pingin cepat-cepat sembuh. Mau ga mau, aku yang harus menahan diri.
Berapa hari kemudian, entah salam minum apa, beliau kena diare dan tubuhnya sangat lemah. Aku pergi meminta ke tenaga medis terdekat datang ke rumah. Setelah di cek, dia memberi obat (Obat obat lagi. Ini malah sangat berbahaya untuk tubuh) dan apa saja yang harus kulakukan, diantaranya jangan memberi ayah dengan makanan yang keras-keras.
Selang 1-2 hari diare tak kunjung sembuh, aku balik lagi ke tenaga medis itu. Dan dengan identifikasi lain lagi (aku lupa apa nama penyakitnya), akhirnya pulang membawa obat yang berbeda.
Diare mulai reda, tapi tubuhnya terlanjur lemah. Dan beliau ngotot mau opname ke rumah sakit. Haduuh, dengan alasan apa opname kerumah sakit? Jamnya dokter praktik juga sudah tutup.
Lagi pula kalau diare hilang, cepat lambat, selama tubuh diberi asupan yang bergizi nanti akan kuat sendiri. Tapi, kali ini mengalah lagi lah. Lagian kalau beliau puas karena dituruti kemauannya kan lebih enak.
Dibawa ke rumah sakit, ke UGD. Masuk ke UGD padahal pasiennya masihnya bisa berjalan. Ah, lucu juga berperan menjadi manusia polos, #memang polos sih.
Awalnya ditolak, tapi akhirnya dengan ngemis sedikit ke dokter UGD itu, akhirnya dokter mau ngelayanin. Tau apa coba yang di suruh? Cuma nebus oralet, dengan cek detak jantung yang hasilnya normal, dan dengan cek darah yang hasilnya cuma kekurangan elektrolit. Ya iyalah, wong habis diare. Tapi tak apalah, yang penting kemauan ayah terpenuhi.
Obat dari berbagai resep belum habis. Lapah ayah kumat lagi dan baru kali ini aku mencermati lapahnya ayah. Olala. Ternyata lapahnya ayah bukan sesak napas. Tau kan sesak napas? Sesak napas itu yang ada bunyi ngik ngiknya, serasa ada yang menghambat di saluran pernapasan. Tapi lapahnya ayah ini bukan seperti itu. Tapi lapah seperti orang kecapean. Napasnya sangat cepat dan ngos-ngosan seperti habis lari marathon. J
Akhirnya malamnya kubawa lagi kedokter pertama. Mendengar kronologis yang kuceritakan, akhirnya dokter itu menganjurkan malam itu juga rongsen jantung sama USG tenggorokan.
Malam itu juga pergi kerumah sakit swasta untuk cek dan malam itu juga menyerahkan hasil cek ke dokter itu. Dokter itu berkata, “ternyata kecurigaanku benar.” Ternyata ayah menderita penyakit pembengkakan jantung yang bermula dari penyakit tiroid (adanya benjolan di sekitar leher).
Dokter memberikan obat mengeluarkan cairan dari jantung dan memberi rujukan cek darah karena belum tau tiroid tersebut apakah disebabkan hiper atau hipotiroid.
Setelah cek darah, ternyata disebabkan hipertiroid. Jadi pengobatannya ada dua; mengeluarkan cairan di jantung dan menurunkan kadar tiroid. Karena pengobatannya memakan waktu cukup lama, maka dokter itu menganjurkan pakai BPJS dan merujuk ke dokter rumah sakit.
Aku bertanya banyak hal ke dokter itu; apa saja penyebabnya, apa efek samping jika mengonsumsi obat dengan jangka waktu yang lama dan berhubung tempat tinggal ayah tidak di Banjar, bisakah berobat di rumah sakit daerah saja.
Setelah dokter menjelaskan penyebabnya, beliau juga menjelaskan, “Kalau obat yang ada di Rumah Sakit di Banjar, itu obat baru. Yang efek sampingnya sudah diminimalisir. Entah kalau di rumah sakit di daerah ayah. Kawatirnya masih memakai obat lama, yang jika dikonsumsi dalam jangka cukup lama, bisa memberi masalah pada organ ginjal.
Akhirnya diputuskan berobat di rumah sakit Banjar saja. Tuh juga dokter memberikan resep cukup untuk 1 bulan.
Alhamdulillah, sekarang sudah baikan dan sudah berhenti minum obat.
Tuh kan, dari awal memang salah kita dalam menyampaikan keluhan, jadi bukan salah dokternya.
Karena itu di sini saya menganjurkan, jika kita sedang berobat atau mau berobat, upayakan menjalin komunikasi yang akrab dengan dokter. Dokter hanya mengidentifikasi dari apa keluhan yang disampaikan. Kalaupun diagnose tepat, kadang pun sangat jarang dokter memberikan informasi lengkap tentang penyakit yang diderita. Misalnya apa saja yang harus kita lakukan, pantangan apa yang harus kita hindari. Kadang hanya dengan mendengar keluhan kita, tanpa bla-bla langsung memberikan resep. Sudah. Maka tak heran kalau penyakit kita tak sembuh bukan karena resep yang tak manjur, tapi karena kita sering melakukan hal-hal yang seharusnya dihindari.
Dengan banyak mengetahui informasi tentang penyakit kita, kita bisa mengambil pengobatan herbal yang cocok dengan penyakit kita, atau mau melakukan terapi hidup sehat tanpa harus mengonsumsi obat-obatan kimia. Jadi mereka yang berkomitmen hidup tanpa obat kimia, bukan berarti kontra dengan dokter atau tenaga medis.
Selain itu, jika kita berobat dengan dokter atau tenaga medis yang sama, maka akan tercatat riwayat-riwayat penyakit yang pernah kita alami. Sehingga dokter lebih mudah menganalisa.
Seperti kejadian yang saya alami beberapa waktu yang lalu. Saya ke dokter dengan keluhan; badan panas, nafsu makan kurang dan mual.
Dengan membaca riwayatku, dokter hanya bilang imunnya terlalu lemah. Jadi dokter hanya memberi resep obat vitamin dan penghilang mual. Bukan obat penurun panas, anti biotic dan pereda nyeri yang biasa diberikan pada orang yang kena demam.
Dan akupun hanya mengambil sedikit dari resep itu, sekadar pengilang mual lalu dilanjutkan dengan madu dan banyak mengonsumsi buah-buahan untuk meningkatkan daya imun.
Atau bisa juga dengan mencatat sendiri riwayat setiap kali sakit dan berobat. Jangan malu-malu menanyakan pada dokter tentang jenis penyakit kita, obat dan fungsi apa saja yang akan kita komsumsi. Dengan begitu, jika kedepannya kita sakit lagi dan ingin berobat ke dokter lain, kita bisa menceritakan riwayat penyakit kita.
Jadi, menjalin komunikasi dengan dokter itu sangat penting. Setelah itu terserah kita mau pakai pengobatan apa. Apakah dengan resep dokter atau terapi herbal aja. Jika belum sembuh konsultasikan lagi ke dokter semula atau dengan membawa catatan riwayat yang telah kita buat, jika ingin berobat ke dokter lain.
Semoga tipsnya bermanfaat
Wah makasih nih sudah diberikan saran, semoga saja bisa bermanfaat untuk orang banyak.
ReplyDelete