Tulisan ini disertakan dalam prompt #87 grup Monday Flash Fiction
Tubuh rentaku terduduk di kursi teras belakang rumah, mata terpaku pada sebuah benda yang telah lama tersandar pada dinding, terbengkalai. Sebuah gitar, gitar yang selalu memainkan irama yang dimainkan oleh sebuah, lidah.
Lidah itu tak pernah peduli pada keadaan, di mana dollar melambung tinggi, minyak tawon tak terbeli.
Lidah itu tetap memetik gitar penuh semangat. Pun saat mata miliknya mulai melirik ke halaman sebelah rumah. Halaman yang penuh dengan pohon mangga gedong gincu yang berbuah. Lidah itu pun masih tetap tak peduli, tetap memainkan irama-irama penuh semangat saat kakinya melangkah menjauh, saat tangannya mencari gitar-gitar lain yang bergincu, untuk menemani dengan berbagai macam gaya siang atau pun malam hanya demi sebuah recehan.
Lidah tetap bertahan, memainkan irama-irama yang memiliki roh penabur semangat dalam jiwa. Denting-denting mengalir mampu menghipnotis, ia tak lagi berminat dengan rasa asin, manis atau yang lainnya. Rasa pahit yang terbiasa ia rasakan tak lagi dihiraukan, hanya irama dari petikan gitar yang kerap ia rasakan.
Aku hanya terdiam, saat tangan milik lidah itu kembali ke rumah membawa gitar lain yang penuh gincu. Tangan itu mulai merayap pada tubuh gitar penuh gincu itu, menikmati setiap inchi tubuh gitar bergincu hingga mengeluarkan irama-irama yang sama sekali tak kusuka. Irama itu membuatku muak, mual dan muntah.
Kaki milik lidah itu juga pernah kembali ke rumah dengan membawa puluhan keranjang mangga gedong gincu yang diambil dari halaman rumah sebelah, tentu saja tanpa sepengetahuan pemiliknya. Lidah tak mau mencicipi mangga itu. Najis. Haram.
Lidah tetap menemaniku dengan irama-irama penuh semangat penabur jiwa. Denting-dentingnya lambat laun mulai melemah, mungkin karena tak ada lagi yang ia lakukan selain bermain gitar, bahkan ia tak mengizinkan setetes air pun untuk melewatinya.
Tak ada yang dapat aku lakukan, lidah itu semakin melemah, seakan tak mampu lagi memetik gitar, tak mampu lagi melahirkan irama-irama yang penuh dengan roh semangat penabur jiwa. Aku mulai mencari tangan dan kaki miliknya. Mungkin dengan kehadiran mereka, lidah dapat sedikit lebih baik keadaannya.
Susah payah aku membujuk mereka agar mau datang ke rumah, tapi mereka hanya mau berdiri di depan pintu saja.
Suara dentingan gitar tak lagi terdengar, kaki dan tangan tetap tak mau melangkah masuk.
“Ia pernah menghinaku!”
“Ia pernah menghinaku!”
“Dan juga aku!”
Suara cacian berasal dari kaki dan tangan semakin santer terdengar. Lidah yang terkulai di samping gitar mulai menggerakkan tubuhnya. Andai saja lidah memiliki mata dan telinga, ia pasti menangis mendengar cacian yang terlontar satu demi satu itu. Sedangkan aku? Tubuhku terlalu renta untuk meminta kaki dan tangan mengendalikan ucapan mereka.
Lidah menghampiri kaki dan tangan. Cacian itu masih terdengar, bahkan semakin lancar dan kencang. Kini, setiap cacian yang menghujam tubuh lidah membuatnya semakin membesar dan memanjang. Lidah menampakkan rasa tidak sukanya terhadap kaki dan tangan, kemudian lidah melilit kaki dan tangan hingga mereka tak bisa bernapas, terus dan terus.
Aku lelaki tua, yang hanya bisa menatap sebuah gitar tua yang kini terbengkalai. Napas ini sesak, saat membaca kembali sebuah surat kabar yang memuat berita tentang seorang ibu yang tega membunuh kedua anak laki-lakinya yang masih berusia remaja.
Dalam sekali makna nya ukh...
ReplyDeleteUkh gmna sih cra mndptkan ide bikin cerpen..aku nyoba kok y gak bsa bss hehe
Jujur ya, mba. Aku lebih suka nulis cerpen. Kalau non fiksi tuh butuh riset yang saklek banget.
DeleteApalagi kalau cerpen surel yang rada-rada ngaco begini, aku suka banget.
Ga peduli tulisan kita masuk akal apa ngga soalnya.
Hahahaa...
Biasanya kalau ide gampang ngambil dari gambar, mba
Kok bisa sih nyari foto yg pas utk cerita ini? Hihihi
ReplyDeleteDapet gambarnya duluan, Um.
DeleteDari grup monday fiction
Ini di atas realitas, mba.
ReplyDeleteJadi cukup dibaca aja, ga usah dipahami.
Hihihii...
Ceritanya penuh perumpamaan. tapi aku nggak mengerti, lidah, kaki, tangan, dan orang tua ini melambangkan apa. Gitar di sini tampaknya hanya 'sekedar' pemanis: tidak ada alasan kehadirannya. :)
ReplyDelete