“Ri, aku sahabatmu. Tidak ada yang
kupikirkan selain untuk kebaikanmu.”
Aku mendesahkan napas yang terasa
sakit. Andai waktu bisa diulang, aku ingin seperti dulu, saat masih bersahabat
erat dengan Alila. Tapi mungkinkah itu terjadi? Sedangkan semuanya telah
berubah.
“La, terima kasih banyak. Terlalu
banyak ketar ketir yang kujalani. Lalu, apa salahnya jika aku ingin menikmati
hidup.”
Kulepaskan genggaman tangannya.
“Aku pergi dulu, La.”
“Ri! Ri!” Aku terus berlalu tanpa
menghiraukan panggilannya. Sekuat tenaga, aku menahan diri agar tidak
menoleh.
Maafkan aku, La.
**
Kenapa tiba-tiba ada Toni di sini?
Kemana kedua temanku tadi? Aku panik bukan kepalang. Toni mendekatiku dengan seringai senyuman yang
menakutkan.
“Ton, apa yang ingin kau lakukan?”
Ia tak menjawab. Dari matanya, terlihat ia telah dikuasai nafsu. Aku menghindar. Secepat kilat tanganku sudah berada dalam genggamannya. Aku berusaha keras untuk melepaskan diri, namun usahaku justru membuat pegangannya semakin kuat.
Ia tak menjawab. Dari matanya, terlihat ia telah dikuasai nafsu. Aku menghindar. Secepat kilat tanganku sudah berada dalam genggamannya. Aku berusaha keras untuk melepaskan diri, namun usahaku justru membuat pegangannya semakin kuat.
Aku berteriak meminta tolong. Ia
semakin berang. Sebelah tangannya membekap mulutku, sebelah tangannya lagi
menyeret tubuhku ke pinggir jalan.
Aku terus berontak. Usahaku
sia-sia. Tubuhku ambruk ke tanah. Tenagaku semakin melemah.
Bluk.
Aku menjerit keras. Tubuh Tino oleng ke tanah. Ia mengerang kesakitan. Ada yang memukulnya. Aku menjauh sambil membetulkan pakaianku yang berantakan. Isakku pecah.
Aku menjerit keras. Tubuh Tino oleng ke tanah. Ia mengerang kesakitan. Ada yang memukulnya. Aku menjauh sambil membetulkan pakaianku yang berantakan. Isakku pecah.
**
“Assalamu ‘alaikum, Ri.”
“Wa ‘alaikum salam,” sahutku,
sambil cepat-cepat menghapus wajah. Alila tak boleh tahu kesedihanku. “Masuk,
La.”
Tanpa kuduga, Alila datang tidak
sendiri. Ia datang dengan kakak laki-lakinya. Pemuda penyelamatku malam itu.
“Aku dengar kamu sakit. Sekarang
gimana keadaanmu?” tanya Alila sambil duduk di tepi ranjang. Sedangkan kakaknya
hanya berdiri di dekat jendela.
“Tadinya. Sekarang sudah agak
baikan,” sahutku sambil berusaha tersenyum, lalu mengalihkan pandangan kepada
kakak Alila. “Kak Irsan, terima kasih ya atas pertolongannya malam itu. Aku
terlalu syok, sehingga lupa mengucapkan terima kasih.”
Irsan tersenyum tipis lalu mengangguk. "Sama-sama. Tapi, lebih bersyukurlah kepada Allah. Karena Allah lah yang menghendaki aku ada di sana.”
Irsan tersenyum tipis lalu mengangguk. "Sama-sama. Tapi, lebih bersyukurlah kepada Allah. Karena Allah lah yang menghendaki aku ada di sana.”
Aku mengangguk dalam. Selarik luka kembali menganga. Allah telah menyelamatkanku, tapi sampai kapan aku terus berpaling dari perintah-perintah-Nya.
"Pertolongan?" Alila
berseru heran, "Apa yang terjadi?"
Aku hanya bisa menunduk dalam.
Mungkinkah aku bisa menceritakannya pada Alila, sedangkan aku sendiri merasa
malu bila mengingatnya.
"Sudahlah, La. Riana sedang
sakit, tak baik banyak bertanya," sela Irsan.
"Aah, Kakak dan Riana bikin
aku kepo. Tapi, ga papa deh, yang penting kamu cepat sehat Riana,"
seru Alila.
"Terima kasih, La."
"Sama-sama."
Sejenak menetap kedua kakak beradik
itu. Mereka baik sekali. Alila penuh perhatian, dan Irsan telah menutupi
aibku.
Ya Allah, mudahkan aku mengikuti
jejak mereka.
**
“Aku ingin memakainya, La. Mau kan
kau membantuku?” kataku sambil memperlihatkan selembar gamis dan kerudung lebar
pemberiannya, pada saat hari lahirku yang ke delapan belas. Sampai sekarang aku
tidak pernah memakainya.
Alila tersenyum semringah. Tidak pernah aku melihat kilatan matanya sebahagia ini. “Ini surprise, Ri. Aku senang sekali. Tentu aku akan membantumu. Kita sama-sama saling menguatkan.”
Aku mengangguk penuh keterharuan
akan kebaikannya. Ia memang sahabat yang paling baik yang pernah kutemui.
Ia mengambil kerudung lalu
membentangkannya. Entah kenapa lengannya menyentuh kantong kertas yang ia
letakkan di ujung ranjangku. Kantong kertas itu jatuh, dan berhamburanlah
isinya.
“Foto-foto siapa?” tanyaku sambil
membantu memunguti foto-foto yang berserakan dan meletakkan di atas ranjang.
“Oh, ini foto-foto temanku di
kampus. Kak Irsan mau menikah, tapi katanya masih belum ada gadis yang cocok di
hatinya. Jadi aku coba saja, memperlihatkan foto-foto ini, siapa tau kakakku
tertarik.”
Aku mengambil selembar foto.
Seorang gadis berkerudung berwajah teduh. Di belakang foto itu tertulis data
singkat gadis itu. Tiba-tiba saja aku ingin berada di antara foto-foto itu.
**
**
Tanpa sengaja, kantong kertas itu
tertinggal di atas ranjang. Aku tak habis pikir kenapa Alila jadi melupakannya.
Ia pasti kebingungannya mencarinya. Ia pasti balik lagi ke sini.
Aku mendekati kantong kertas itu.
Irsan ingin menikah? Beruntung sekali gadis yang ia pilih. Ia yang telah
menyelamatkanku dari cengkeraman Toni. Ketika menyadari bajuku koyak, ia rela
melepaskan jaket dan menyampirkan ke bahuku. Ia juga telah menutupi aib kejadian malam itu dari adiknya sendiri.
Tiba-tiba saja terbersit ide gila
di benakku.
Aku membuka album foto-fotoku. Sampai akhirnya aku menemukan fotoku yang berjilbab. Hanya satu-satunya. Itu pun saat ada pesantren kilat di waktu SMA.
Aku membuka album foto-fotoku. Sampai akhirnya aku menemukan fotoku yang berjilbab. Hanya satu-satunya. Itu pun saat ada pesantren kilat di waktu SMA.
Kumasukkan foto itu ke dalam kantong
kertas. Walaupun tanpa dibubuhi biodata, jika Irsan mengambilnya pasti ia
mengenalinya.
Ya Allah, Engkau tahu, aku hanya
ingin dia membawaku pergi dari rumah ini dan menempatkan di rumah yang penuh
naungan-Mu. Ya Allah, yang membolak balikkan hati. Kumohon, bukakan hatinya
untuk menerimaku.
**
Tiba-tiba saja perasaanku jadi hampa, seiring dengan hilangnya Alila dari pandanganku. Ia telah membawa kantong kertas itu dan fotoku tidak ada di dalam kantong itu.
Aku telah mengeluarkan foto itu, setelah tersadar tidaklah pantas orang sehinaku mengharapkan orang sebaik Irsan.
Orang yang baik berjodoh dengan orang baik. Lalu siapalah aku?
**
“Riana?” Kedua temanku syok melihat penampilanku “Riana, kenapa kau seperti ini?”
“Riana?” Kedua temanku syok melihat penampilanku “Riana, kenapa kau seperti ini?”
Aku hanya tersenyum kecut. Setelah
apa yang telah mereka lakukan, mereka menjebakku dan sekarang masih berani
datang ke sini.
“Ada apa?” tanyaku dengan sekuat
tenaga menahan luapan emosi di hati.
“Tidak apa,” sahut Nirah ketus.
“Tadinya, kami mau mengajakmu jalan-jalan, tapi..”
“Tidak jadi,” potongku cepat.
“Karena penampilanku yang kalian anggap aneh?”
“Ya, begitulah,” sahutnya sambil
mengerdikkan bahu. Ia beralih kepada Mila di sampingnya, “Yuk, Mil, kita
pergi. Orang berpenampilan seperti ini tidak bisa diajak senang-senang.”
Mila mengekori Nirah. Wajah syoknya
masih belum hilang.
Aku tak bisa membohongi perasaanku. Aku sedih karena kehilangan mereka. Namun, di sisi lain, hati juga lega. Setidaknya aku terselamat dari pengaruh mereka.
Aku tak bisa membohongi perasaanku. Aku sedih karena kehilangan mereka. Namun, di sisi lain, hati juga lega. Setidaknya aku terselamat dari pengaruh mereka.
“Mereka kenapa?”
Tiba-tiba saja ibu ada di sampingku dengan wajah kecewanya.
“Mereka tidak mau berteman denganmu? Karena penampilanmu? Ibu bilang juga apa, dengan penampilan seperti itu, jangankan teman, jodoh pun bisa menjauh.”
Tiba-tiba saja ibu ada di sampingku dengan wajah kecewanya.
“Mereka tidak mau berteman denganmu? Karena penampilanmu? Ibu bilang juga apa, dengan penampilan seperti itu, jangankan teman, jodoh pun bisa menjauh.”
Hanya dengan air mata aku menumpahkan segala sesak dalam jiwa. Aku tau, jalan yang kuambil cukup berat. Selain teman-teman, aku juga harus berhadapan dengan keluarga yang tidak mendukung.
Kembali aku teringat tentang Irsan.
Andai aku tidak mengeluarkan fotoku, mungkin aku punya kesempatan untuk menjadi
pendampingnya.
Ah, kata andai hanyalah menambah peluang bagi setan. Aku tak boleh menyesali dan tak boleh berharap pada orang lain. Hidayah itu datang dari kemauan diri sendiri. Selamatnya aku malam itu, sudah cukup buatku untuk tegar dalam menaati Allah.
Ya Allah, istiqamahkan aku dalam agama-Mu.
***
“Apa yang membuatmu jadi menikahiku?
Bukankah banyak gadis yang lebih layak mendampingimu? Dan kau juga tau masa
laluku.”
Dia hanya tersenyum tipis, lalu berkata,
“Namamu selalu ada dalam setiap doa istikharahku. Dan berkali-kali. Akhirnya
aku yakin, kau lah perempuan yang akan membuatku kuat.”
Tanpa sempat kucegah, seketika air
mata merembes deras. Dia tidak tau, sebenarnya akulah yang berharap, tapi
kenapa justru dia mengatakan aku yang membuatnya kuat? Apa pun itu, Allah lah
yang bukakan hatinya untukku.
Penyelamatku malam itu.
hmm, harapan selalu akan berbuah manis kalau percaya sama yang diatas... :)
ReplyDelete@i Jeverson
ReplyDelete:) insya Allah
Allahu Akbar..... Mari kita Selalu meminta pada Allah yang maha kuasa. Insyaallah Harapan kita akan menjadi kenyataan.
ReplyDeletewah berakhir penyesalan yaaa....
ReplyDeleteketika kita minta sama Alloh, Alloh akan memberinya. aamiin
ReplyDeleteHidup harus punya harapan. Dengan harapan kita berusaha meraihnya, Insya Allah dikabulkan asal berusaha maksimal.
ReplyDeletesalam
http://alrisblog.wordpress.com