Doa Terindah

Doa Terindah
Penulis: Anggarani Ahliah Citra


"BuuughgHG ... BhedeGhum ..."
Suara benda keras terjatuh diiringi suara jeritan panjang.
"Maaak ... Bak jatuh dari pohon."
Ani menjerit sambil berlari menuju ibunya yang tak jauh dari tempat kejadian.
"Astagfirullah ..."
Zainun berlari untuk menolong H. Bakar Sujaei suaminya.
"Ya Allah, tolonglah suami hamba."
Suaminya tak sadarkan diri akibat terjatuh dari pohon yang sangat tinggi saat hendak panen kebun buahnya.
"Ani, panggil kakak-kakakmu."
Ani segera berlari, Zainun terus mengguncang tubuh suaminya sambil terus berdoa.
"Astaghfirullah, Mak. Bagaimana keadaan Bak?"
"Aminuddin, ayo kalian semua bantu angkat Bak menuju surau. Waktu ashar hampir tiba."
Aminuddin salah seorang putra beserta kakak dan adiknya menuruti perintah Zainun.
Sesampainya di surau Zainun kembali mengguncang tubuh suaminya.
"Bang, bangunlah. Sudah masuk waktu shalat ashar. Jangan sampai kau tinggal kewajiban, Bang. Bangun."
Zainun terus berusaha menyadarkan suaminya. Allah menjawab doanya, suaminya tersadar, bertayamum dan melaksanakan salat dengan posisi berbaring.
H. Bakar Sujaei masih terbaring tak berdaya, seluruh anggota keluarga masih mendampinginya. Mereka memutuskan menginap di surau itu, dan Zainun selalu memastikan suaminya selalu melaksanakan salat.
"Ya Allah, Ya Robb. Selamatkanlah suami hamba, hanya Engkau Yang Maha Kuasa. Jangan Kau ambil suami hamba dalam keadaan seperti ini. Jika hamba boleh meminta, syahidkanlah suami saat sedang menyampaikan kalimat-Mu. Saat suami hamba sedang menunaikan tugas menyebarkan agama dan sunnah kekasih-Mu. Kabulkan, Ya Kariim .."
Zainun selalu mengucapkan doa itu berulang-ulang selepas tahajud yang kerap ia kerjakan setiap malam.

***

Dua tahun telah berlalu dari kejadian tersebut. H. Bakar Sujaei adalah salah seorang pekerja dakwah dan telah mengabdikan diri untuk pekerjaan mulia.
"Semua telah siap, Bang."
"Terima kasih, Zainun. Kau telah setia mendampingku dan rumah tangga dan dakwah."
"Pergilah, Bang. Sampaikan dan tegakkan kalimat Allah. Walau nyawa menjadi taruhan."
"Kau benar, Zainun. Aku pun selalu memohon kepada Allah agar memberiku kesempatan syahid di jalan-Nya."
Saat ini H. Bakar Sujaei akan berdakwah selama 3 hari di salah satu masjid kota Selangor bersama Aminuddin putranya yang berusia 16 tahun.
Berawal dari perkenalan dengan sahabat yang berasal dari Pakistan mereka mengenal gerakan dakwah ini.
Semakin lama kecintaan terhadap dakwah telah dirasakan melebihi dari sekedar kewajiban tetapi telah menjadi salah satu kebutuhan yang tak dapat ditinggalkan.

***

"Burhan! Apa yang kau lakukan?"
Seorang Ibu memanggil pemuda yang sama sekali tak peduli atas seruannya.
"Pergilah ke masjid, jangan berguru pada orang yang salah. Ilmu hitam hanya akan menjerumuskanmu dunia dan akhirat."
Pemuda itu tak menjawab, hanya memberikan tatapan tajam penuh kebencian.
Kebencian yang telah mengakar dan merubah hatinya menjadi hitam, hingga tak lagi dapat membedakan mana kebaikan dan mana kejahatan. Dia membenci semua yang ada di sekeliling, termasuk keluarga dan juga masjid tempat orang-orang saleh berkumpul tak elak menjadi sasarannya mengamuk.
Tak jarang dia keluar masuk bui karena ulahnya, bukan satu, dua keluarga yang tersakiti. Tetangga pun telah jengah dengan kelakuannya, sering ia dikurung secara paksa di dalam halaman berpagar tinggi yang terkunci, namun tak ada yang mengerti bagaimana caranya ia bisa keluar sendiri.

***
"Aminuddin, sudah siap kau, Nak? Ikutlah bersama Bak, Mak ridho atas usaha dakwah ini."
Zainun membelai lembut rambut putranya.
H. Bakar Sujaei berpamitan dengan istri dan kesepuluh anak lainnya.
"Jaga amalan ibadah di rumah, perbanyak baca Al-Qur'an dan kitab hadis bersama semua keluarga. Doakan agak Bak bisa syahid di jalan Allah."
"Aaamiin ... "
Secara bergantian mereka mencium tangan saat berpamitan.

***

Masjid Sungai Burung Selangor menjadi tempat tujuan jamaah selama 3 hari ke depan.
Hari pertama program berjalan dengan lancar tak ada kendala yang berarti.
Tapi, di luar masjid ada seseorang yang sangat tidak menyukai kehadiran mereka.
Dari balik terali pagar sepasang mata sadis memancarkan kebencian tanpa alasan memandang dari kejauhan, mengamati dan mengincar untuk melampiaskan amarah.
"Ba'da ashar nanti kita silahturahmi ke warga di sekitar masjid ini, kita bagi tiga rombongan. Dua rombongan silahturahmi dan satu rombongan tetap berada di dalam masjid."
H. Bakar Sujaei selaku pemimpin rombongan mengatur membagi tugas.
"Assalamualaikum ..."
H. Bakar Sujaei berucap salam saat melintas di depan sebuah pagar terali yang terkunci.
Bukan jawaban yang didapat melainkan seringaian dan tatap mata kejam penuh kebencian.

"Pak Haji, sebaiknya kita cepat pergi dari sini."
Ajak Hanafi selaku penunjuk jalan karena dia tinggal di sekitar masjid. Mereka pun melanjutkan perjalanan sambil bercakap-cakap.
"Ada apa dengan pemuda itu, Nak Hanafi?" 
"Dulu dia tidak seperti itu, Pak Haji. Dia berubah sejak menuntut ilmu hitam di lembah daerah selatan. Semakin lama tingkahnya semakin aneh, sering mengamuk dan merusak kadang melukai orang tanpa alasan."
"Astaghfirullah, semoga Allah SWT melindungi kita segala macam perbuatan syirik."
Mereka melanjutkan tugas silahturahmi  kepada warga, menyampaikan kalimat tauhid dan juga mengajak warga untuk salat berjamaah di masjid.

***

Keberadaan jamaah di masjid telah memasuki hari kedua, semua melaksanakan program yang telah ada di sela waktu luang mereka menyempatkan diri untuk berzikir, mengulang hafalan Al-Qur'an atau sekedar merenung, merisaukan keimanan diri yang masih jauh dari sempurna agar tidak pernah terlepas dari hati.
"Burhan! Darimana kau dapat samurai itu?"
Seorang Ibu menjerit histeris melihat anaknya sedang mengasah sebuah samurai di dalam pagar terali.
"Berikan pada Ibu, Nak."
Hening.
"Berikan, Burhan."
"Diam !!!"
Samurai terarah ke leher Ibu yang berada di luar pagar. Sang Ibu terpaku melihat tatapan anaknya yang kini tak dapat dikenalinya lagi, lalu mundur perlahan.

***

"Kita harus bersyukur, telah mendapatkan nikmat Islam dalam keadaan damai, beribadah dengan tenang tanpa harus berperang. Sekarang banyak masjid berdiri, tapi kenapa jamaahnya sepi?
Para sahabat Rasulullah dulu berjuang habis-habisan, mengorbankan airmata, harta, bahkan nyawa hanya untuk menyampaikan kalimat Laa ilaha ilallah. Mereka tak memikirkan apakah hari ini perut kita akan kenyang? Apakah hari ini keluarga kita akan nyaman? Karena mereka yakin bahwa dunia ini hanya sementara, akhiratlah selama-lamanya."
H. Bakar Sujaei memberikan ceramah ba'da magrib dengan semangat.
"Maka dari itu perbanyak amal ibadah kita saat di dunia, bantu semua umat dengan saling mengingatkan pentingnya perkara iman. Sampaikanlah, jangan pernah bosan. Jangan takut untuk berkorban, walau nyawa harus menjadi taruhan.
Berdoa agar kita selalu dapat menjadikan dakwah maksud hidup, hidup dalam dakwah, dakwah sampai mati, dan mati dalam dakwah. Laa ilaha ilallah.
Syahid. Insya Allah."
Ceramah ditutup dengan salat isya berjamaah.
"Pak Haji, kita jadi silahturahmi ke rumah Ulama kampung sebelah?"
"Tentu, Nak Hanafi."  
"Bak, bolehkah saya ikut?"
"Sebaiknya kau di sini saja, Aminuddin. Hanya ada satu motor yang digunakan."
"Tapi, Bak ...."
Aminuddin memandangi wajah H. Bakar Sajuei ayahnya mengantar keberangkatan mereka. Ada perasaan yang tidak dapat ia mengerti saat ini.

***
"Burhaaan ... Hentikaaan ...."
Seorang ibu berlari mengejar anaknya yang sedang mengamuk. Tak ada yang tahu bagaimana ia bisa lolos kembali dari pagar terali.
"Pergi!"
"Berikan samurai itu pada Ibu, Nak."
"Tidak. Mereka harus dihentikan, mereka membuatku panas. Pergi, kau!"
Orang-orang kampung segera mengunci pintu menyelamatkan diri. Tak ada yang bisa menghentikannya ditambah kini sebuah samurai berada di tangan.
"Tutup semua pintu dan jendela masjid, jangan ada yang keluar."
Seorang warga berlari ke dalam masjid memberi peringatan. Jamaah pun menurutinya.
"Ada apa?"
"Burhan mengamuk sambil membawa samurai. Tak akan ada yang bisa menghentikannya."
"Bak dan Bang Hanafi belum selesai silahturahmi."
Semua terdiam mendengar ucapan Aminuddin.
"Keluar kalian, pergi dari sini. Semenjak ada kalian telingaku panas."
Burhan berteriak-teriak di halaman masjid sambil mengayunkan samurai ke segala arah.

***

"Mak, kenapa terlihat gelisah sekali?"
"Entahlah, Ani, Bak selalu hadir dalam pikiran Mak. Ya Allah, dekaplah selalu suami hamba dalam lindungan-Mu."

***

Kabut gelap menambah pekatnya malam, sebuah motor tua melaju dengan santai terseling percakapan.
"Pak Haji, terima kasih telah mampir ke masjid kami."
"Tak perlu berterima kasih, ini kewajiban kita. Termasuk dirimu juga. Teruslah di jalan Allah sampai ajal menjemput kita."
"Insya Allah, Pak Haji. Semoga Allah mempertemukan kita kembali di surga-Nya nanti."
Hanafi memarkir motor di halaman masjid, lalu mereka melangkah ke dalam masjid.
"Sudah kukatakan pergi kalian dari sini ..."
Seorang pemuda menghadang tanpa diketahui arah datangnya sambil mengarahkan samurai ke arah mereka berdua tanpa sempat menghindar.
Dan,
Ceess ....
Tetesan darah segar mengalir dari leher H. Bakar Sujaei dan Hanafi.
"Allahu Akbar ... Allahu Akbar ..."
Kalimat itu terdengar lirih bersahutan dari lidah mereka.
Jamaah berhambur keluar, tak mengira hal ini akan terjadi.
Sebagian mengepung Burhan yang hendak melarikan diri.
"Baaak ... Baaak ... "
Aminuddin memeluk ayahnya tanpa sanggup mengucapkan kata-kata.

***

Senin pagi penduduk Selangor gempar akan kejadian dan tak luput dari pantauan media massa.
Seluruh pekerja dakwah dari segala penjuru berkumpul di sebuah masjid, ratusan orang saleh dan alim ulama hendak memberi penghormatan terakhir kepada kedua sahabat mereka.
Para penghafal Al-Qur'an pun memanjatkan doa khusus. 
Hingga salat jenazah harus dilakukan sebanyak 3 kali secara bergantian.
Darah segar masih terus mengalir walau jenazah telah pergi lebih dari 12 jam yang lalu, karena pemakaman harus melalui proses pihak rumah sakit dan kepolisian. Tanda syahid yang tak terbantahkan.
Alam turut berduka, penduduk bumi pun tertunduk, dan ketika lembayung bertasbih para penduduk langit  menyambut kedatangan para pejuang di jalan Allah SWT itu dengan suka cita.
"Allah telah mengabulkan doa kita, suamiku. Aku ikhlaskan semua kejadian ini. Semoga Allah menjadikan seluruh anggota keluarga kita pekerja dakwah seperti dirimu."

"Mak ..."
"Bimbinglah selalu keluargamu, Ani. Jadikan keturunan sebagai penerus pekerjaan mulia ini. Sampaikanlah kepada penjuru dunia kalimat Laa ilaha ilallah."
__end__

Kisah ini terjadi pada tahun 1987.
Narasumber Ani Ahliah Zaini Dahlan.
Putri kandung Pak H. Bakar Sujaeni.
Saat ini keluarga besar Beliau telah ambil bagian menjadi pekerja dakwah. 

Subscribe to receive free email updates:

7 Responses to "Doa Terindah"

Tinggalkan jejakmu di sini :)
Maaf, mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar. Thanks.