Baca Bab sebelumnya
Cinta Untuk Hanin
Hanin mendesah panjang di dalam kamar. Ummi Mashitoh memintanya beristirahat setelah zuhur tadi sedangkan Annisa pamit untuk menjemput putri pertamanya dari sekolah.
Cinta Untuk Hanin
Hanin mendesah panjang di dalam kamar. Ummi Mashitoh memintanya beristirahat setelah zuhur tadi sedangkan Annisa pamit untuk menjemput putri pertamanya dari sekolah.
“Kenapa harus Mas Khalif lagi, Ya Rabb? Setelah sekian lama aku pergi untuk menghindar darinya.”
Hanin merebahkan tubuhnya sambil menatap langit-langit kamar. Sekuat tenaga ia mencegah kenangan itu datang kembali. Ia tak ingin lagi terjerat oleh rasa sakit yang pernah ia rasakan puluhan tahun lalu. Hanin meyakinkan diri sendiri bahwa kedatangannya ke Jogja hanyalah untuk menjenguh Afifah. Tidak untuk yang lain. Dan Hanin pun memutuskan untuk memejamkan mata. Melupakan semua masalah dengan tidur sejenak.
~O~
Mashitoh telah selesai memasak untuk makan malam dibantu oleh Mba Min dan juga Mba Pur. Malam ini adalah makan malam yang istimewa bagi mereka.
Yazid selalu tiba di rumah setelah ba’da isya. Ia menuntaskan semua pekerjaan sebelum maghrib tiba dan meneruskan ibadah di masjid hingga selesai isya.
“Assalamualaikum…”
“Waalaikumsalam, Abiiiii….” sahut Annisa sambil berlari memeluk Yazid.
“Jangan kaget, Hanin. Sejak hamil anak kedua ini, Annisa memang seperti itu sama Abi. Tapi kalau sama Yunus, duh musuhnya minta ampun. Padahal suaminya sendiri,” jelas Mashitoh yang juga ikut menyambut Yazid sambil melirik menantunya yang juga datang bersamaan dengan suaminya.
Hanin tersenyum mendengarnya. Kemudian ia mencium tangan dan bergantian memeluk Yazid.
“Bagaimana kabarmu, Hanin?”
“Alhamdulillah sehat, Abi.”
Mereka semua berjalan menuju ruang makan. Afifah keluar dari kamar setelah Mashitoh menjemputnya. Ruang makan rumah ini tidak memiliki meja makan. Mereka biasa makan bersama di atas tikar pandan. Tak ada percakapan pada saat makan di antara mereka semua, termasuk dari Farah, putri Annisa.
Setelah semua selesai, mereka pun berkumpul di ruang keluarga. Sejak awal acara makan tadi, Hanin mencoba menghindar dari tatapan mata Afifah. Sekarang ia cenderung memilih menemani Farah yang sedang asik dengan pensil dan buku gambarnya.
Annisa masih dengan ponsel pintarnya, sedang asik merayu Yunus agar diizinkan membeli perlengkapan badminton dengan sesekali bersungut dan merajuk, memberi alasan bahwa ini adalah keinginan bayi di dalam perutnya.
Yazid sedikit berbagi tentang keadaan konveksi juga butik bersama Mashitoh dan Afifah. Obrolan mereka terhenti saat Farah menunjukan kertas hasil menggambarnya bersama Hanin.
“Jiddah Afifah, gambar baju pengantin Farah bagus ngga?” tanya Farah sambil memberikan selembar kertas pada Afifah.
“Bagus, Sayang. Hmm …, sebentar. Coba Jiddah pinjam pensilnya,” jawab Afifah. Ia tahu bahwa sebenarnya itu adalah gambar buatan Hanin.
“Payet di dada dikurangi. Nanti tertutup sama jilbab soalnya. ” gumam Afifah sambil menghapus dan menambahkan beberapa coretan pada gambar.
“Pindah ke pergelangan tangan aja, bisa juga di sarung tangannya.” tambah Afifah sambil mengembalikan kertas gambar dan pensil kepada Farah.
”Ammah Hanin, baju pengantinnya tambah cantik nih jadinya.”
Hanin menyambut Farah yang berlari ceria memberikan kertas bergambarnya. Hanin memandang kertas itu dengan seksama kemudian merekamnya dalam otak. Afifah juga berhasil mewariskan bakat menggambar dan juga mendesain pakaian pada Hanin.
Afifah memiliki keahlian dalam membuat gaun apa pun. Karena itulah Yazid membuatkan butik untuk Afifah yang sesekali ia bantu sedangkan dirinya sendiri fokus pada konveksi yang ia bangun dari awal bersama Mashitoh.
Jika dalam hal lain Afifah dan Hanin kerap berbeda pendapat, tetapi berbeda jauh jika mereka sedang membahas desain sebuah gaun. Mereka saling bertukar pendapat positif dan juga saling menginspirasi.
“Oiya, Hanin. Abi hampir lupa. Tadi siang ada orang yang order seragam untuk anak-anak santri di konveksi. Dia juga butuh satu buah gaun pengantin muslimah. Kalau untuk gaun, mau dipakai di Jakarta. Jadi tadi, Abi kasih alamat butik kamu. Nama orangnya Mas Araya.”
Hanin menatap dan mengangguk kepada Yazid. Kemudian kembali mendengarkan celoteh Farah.
“Jangan orang terus yang dibikinin gaun pengantin,” celetuk Afifa dan Hanin pura-pura tidak mendengarnya.
“Mas Yazid, bilangin Hanin, kasih nasihat. Jangan keasikan sama kerjaan. Sampai sekarang lupa kalau harus menikah.”
Baiklah, drama akan segera dimulai. Batin Hanin.
“Bekerja itu ngga wajib bagi perempuan. Ngejar apa sih? Mau beli planet?” ucapan Afifah membuat semua orang yang berada di ruangan terdiam.
“Coba kamu pikir lagi, Hanin. Apa sih kurangnya Khalif? Dia itu udah lama mencintai kamu. Kamunya aja yang pecicilan,” tambah Afifah.
Melihat suasana telah berubah, Yunus segera bangkit dari duduknya dan mengajak Farah untuk keluar ruangan yang juga diikuti oleh Annisa.
“Harusnya kalau kamu dulu jadi menikah dengan Khalif, pasti sekarang kalian sudah punya banyak anak. Tapi lihat sekarang? Khalif belum punya anak bahkan kamu masih sendiri, setua ini. ”
“Jangan emosi, Afifah.” Yazid mengingatkan.
“Aku ngga abis pikir aja, Mas. Apa lagi sih yang dia tunggu? Selama ini kita berpikir, Hanin memilih sendiri karena cintanya sama Khalif kan? Terus sekarang? Khalif udah ngelamarnya lagi. Eh, dia masih jual mahal.” Afifah semakin gencar memojokkan Hanin.
“Jangan bilang kamu ngga setuju sama poligami yah, Hanin. Kamu berasal dari pernikahan poligami. Dan semua baik-baik saja. Malahan, kalau dulu kamu ngga ninggalin Khalif begitu saja saat kamu sudah dikhitbah olehnya. Kamu udah jadi istri pertama sekarang.”
Mashitoh mulai melirik Afifah agar meredakan emosinya. Tapi kalimat akhir Afifah membuat Mashitoh membatalkan niatnya. Karena jika ia menimpali saat kalimat itu sudah keluar dari mulut Afifah, maka akan terjadi sebuah perselisihan di antara mereka.
“Sampai sekarang pun Ammih ngga tau apa alesan kamu meninggalkan Khalif waktu itu. Memang apa sih alesan kamu dulu? Coba, Ammih mau denger. Kamu nih, kebiasaan kalau orang tua ngomong malah didiemin!”
Hanin bangkit kemudian menjawab,
“Mas Khalif ngga pernah ada dalam petunjuk setiap jawaban istikharah-ku.”
Ucap Hanin datar kemudian berbalik dan mengayunkan langkah menuju kamar. Ia tidak mau bertengkar dengan Afifah.
“Tunggu, Hanin. Ammih belum selesai bicara!” sergah Afifah.
“Besok pagi aku akan kembali ke Jakarta. ” Hanin menjawab tanpa menoleh sedikit pun.
“Baik kalau begitu. Dalam satu bulan, kamu harus mendapatkan jodoh untukmu sendiri, Hanin. Kalau tidak, Ammih akan menerima lamaran Khalif.”
“Ammih, ngga berhak melakukan itu! Hanin ngga setuju dengan lamaran itu! Pokoknya ngga!” Hanin berbalik kemudian menjerit dengan gemetar dan wajah memerah.
“Kalau begitu cepatlah menikah! Jangan sampai Ammih-mu ini keburu MA-TI!” jerit Afifah tidak mau kalah. Kemudian berjalan menuju kamar, melewati Hanin.
Yazid menyusul Afifah ke kamar sedangkan Masithoh menghampiri Hanin dan langsung memberi pelukan.
“Ngga baik bicara kasar kepada Ammih. Jangan diulangi yah, Hanin,” ucap Mashitoh lembut.
Hanin merengkuh Mashitoh semakin dalam ke pelukkannya. Ia menangis sejadi-jadinya. Bukan pertengkaran seperti ini lagi yang ia harapkan dari perjumpaannya kembali dengan Afifah. Tapi ia tetap tidak bisa menceritakan semua rasa sakitnya terhadap Khalif.
Jawaban dari pertanyaan Afifah tetap ia simpan rapat selama bertahun-tahun.
Jawaban dari pertanyaan Afifah tetap ia simpan rapat selama bertahun-tahun.
~Bersambung~
Cinta Untuk Hanin Part IV
Cinta Untuk Hanin Part IV
0 Response to "CINTA UNTUK HANIN Part III ANCAMAN AMMIH"
Post a Comment
Tinggalkan jejakmu di sini :)
Maaf, mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar. Thanks.