Tiga Dunia

            
“Assalamu ‘alaikum, sayang. Apa kabar pagi ini?”
Setiap pagi mereka selalu menjenguk dan menyapaku di sini. Aku selalu terhibur dengan kedatangan dan sapa mereka. Jika mereka pergi, sepi langsung saja menyergap dan waktu terasa merangkak terlalu pelan. Setiap hari, aku selalu merindukan datangnya pagi. Aku merindukan kedatangan dan sapa hangat mereka.
Setiap datang dan pergi mereka selalu menciumku, tapi ciuman itu tak pernah kurasakan langsung. Aku dan mereka ada sekat tipis yang menghalangi kami.  Aku hanya merasakan kehangatan melalui imajinasi belaka. Lama-lama aku menjadi bosan, dan ingin keluar dari tempat ini. Aku ingin merasakan sentuhan langsung tangan dan ciuman kedua orang tua dan kakak perempuanku.
Jika mereka datang, aku merengek-rengek agar bisa ikut mereka. Aku ingin tinggal bersama mereka, tapi kenapa mereka tak pernah mengabulkannya. Mereka selalu berkata, “Di luar sana banyak sekali musuh yang selalu mengintai dan siap menyerang, sementara dalam diriku tidak mempunyai kekuatan untuk melawan semua itu.”
Siapa yang akan menyerang? Aku tak mengerti. Kalau mereka bisa, kenapa aku tidak bisa? Bukankah aku juga seperti mereka? Memiliki fisik yang sama dan bukankah aku anak mereka? Itu artinya aku juga seperti mereka.
Mereka selalu datang dengan membawakan mainan dan makanan kesukaanku, bahkan mereka menyediakan televisi agar aku betah tinggal di sini. Tetap saja, keinginanku untuk tinggal bersama mereka tidak pernah padam.
Kini jamnya Briel datang dan masuk  ke dalam ruangan membawakan makanan dan pakaian. Tangannya selalu memakai sarung, sehingga kami tak pernah bersentuhan kulit, walaupun semua urusan melepas dan ganti baju adalah dia. Katanya dia yang mengasuhku sejak aku lahir.
Setiap makanan dan barang yang akan dimasukkan ke ruanganku, selalu harus melewati serangkaian pemeriksaan dan penyetrilan. Briel mengatakan, “Agar tidak ada kuman yang menyusup dan menyerang tubuhku.”
Ada apa ini? Bukankah tubuhku dengan mereka sama? Mungkinkah ini akal-akalan mereka saja?
            Entah kenapa, aku tergoda menyembunyikan garpu tanpa sepengetahuan Briel.  
            Setelah dia pergi, langsung saja aku ber-aksi dengan menusuk-nusuk ujung garpu ke dinding tipis itu. Walaupun tipis, transparant dan kelihatannya lentur, ternyata dinding itu cukup kuat. Aku semakin penasaran dan terus saja menusuk-nusukkan  garpu itu dengan sekuat tenaga. Dan blash, akhirnya berhasil. Langsung udara sejuk menerubus dicelah-celah lubang kecil akibat tusukan garpu. Aku semakin senang dan kembali menusuk-nusuk dinding itu. Tiba-tiba, huaasin. … haha, aku bersin. Aku pernah lihat ibu bersin. Haha … lucu sekali.
            Tiba-tiba saja ada yang datang. Ia terkejut sekali melihat tanganku memegang garpu dan gelembung yang mulai mengempis. Bergegas dia memencit bel merah yang mengeluarkan bunyi yang menjerit-jerit dan hanya dalam hitungan beberapa detik berdatanganlah orang-orang dengan wajah panik.
            Barkali-kali aku bersin, tapi aku menyukainya. Terlebih lagi melihat wajah-wajah  panik mereka, seakan-akan aku menemukan permainan baru dan seru. Satu orang langsung mengisolasiku ke ruangan lain dan yang lainnya sepertinya memperbaiki gelembung itu. Aku tak bisa berhenti tertawa.
            Tak lama aku dikembalikan lagi ke ruangan semula dengan penjagaan semakin ketat. Ah membosankan, ada apa ini? Memangnya aku ini siapa?
Kebosananku berkurang, karena mereka mendatangkan beberapa orang secara bergiliran untuk mengajariku membaca, menulis dan mengenal berbagai hal. Dengan belajar, aku semakin mengenal dunia luar dan keinginanku untuk merasakan indahnya dunia luar semakin kuat.
            Beberapa bulan kemudian, mereka mendatangkan baju yang sangat lucu. Bukankah ini pakaian astronot, seperti yang pernah aku lihat di televisi? Katanya, dengan baju ini aku bisa keluar dari ruangan ini. Ah, sepertinya menyenangkan sekali. 
            Benar saja, aku bisa keluar menjenguk rumah orang tua, bahkan dibolehkan tidur sekamar dengan kakak perempuanku. Mereka penyayang sekali. Aku juga bisa bermain-main dengan anak-anak seusiaku. Aku cukup bahagia, walaupun masih belum bisa merasakan langsung sentuhan hangat mereka.
            Waktu telah berlalu dan begitulah terus keadaanku. Sepuluh tahun sudah usiaku. Dan aku mulai mengerti kenapa harus tinggal di gelembung ini. Katanya aku mempunyai penyakit kelainan timus atau gangguan sistem kekebalan tubuh. Aku tidak mempunyai sistem pertahanan dalam tubuh dari serangan makhluk-makhluk tak kasat mata seperti bakteri, virus, parasit dan mikroorganisme lainnya. Dan aku baru tau, kakak laki-lakiku hanya bertahan beberapa bulan karena memiliki penyakit yang sama. Jadi aku beruntung sekali, karena usiaku sudah sepuluh tahun.
Sejak itu aku mulai bersabar tinggal di gelembung ini, beruntungnya mereka membolehkan aku keluar atau pulang ke rumah orang tuaku walaupun hanya sebentar dan tetap memakai baju ala astronot.
Sthefanie, sosok kakak perempuan yang sangat penyayang, sehingga aku selalu merindukannya. Ia selalu bisa memotivasi dan menghiburku. Katanya, aku harus bisa menjadi laki-laki yang tabah dan menginspirasi walaupun dengan segala keterbatasan. Walaupun seumur hidupku harus hidup di dalam gelembung.
Kata dokter dengan tranplantasi tulang sumsum dari orang lain, aku bisa hidup normal. Pada usiaku 12 tahun, Sthefanie  ingin mendonorkan tulang sumsumnya. Aku sudah berusaha mencegah Sthefanie, tapi dia berkata, “Tenang saja, aku masih bisa hidup dengan normal. Walaupun nanti dengan kondisi keterbatasan, aku sudah cukup bahagia dengan usiaku sampai menginjak remaja. Dan aku akan bahagia, jika adik yang kusayangi bisa merasakan kebebasan dan indahnya dunia luar.”
            Langsung saja aku memeluknya dengan tangisan yang menderu. “Mungkinkah akan berhasil, setelah dengan pengorbanan kakak yang begitu besar?”
            Dia melepaskan pelukannya dan menatap mataku. “Kita harus mencoba. Jika berhasil, itulah harapan kita. Jika tidak, kakak sudah bahagia karena pernah memberimu sesuatu yang sangat berharga.”
            “Kakaaak.” Kembali kami berpelukan dengan tangisan bahagia dan penuh harapan.
            Operasi tranplantasi tulang sumsum telah dilakukan. Aku masih tinggal di dalam gelembung sambil harap cemas menunggu hasil dari operasi.
            Entah kenapa tiba-tiba badanku panas dan diare. Tubuhku semakin lemas karena kekurangan cairan. Akhirnya para dokter mengeluarkanku dari gelembung dan menempatkan di ruangan isolasi yang terjaga kesetrilannya. 
            Ayah, ibu dan Sthefanie terus saja menjagaku bergiliran. Penyakitku tak kunjung sembuh bahkan penyakit  lain yang cukup parah kini menyerang. Walaupun mereka tak menjelaskan semua itu padaku, tapi aku bisa melihatnya dari tatapan mata mereka. Kondisiku semangat memprihatinkan.
            Namun di sinilah, aku merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Akhirnya bisa merasakan sentuhan kasih sayang ayah, ibu dan Sthefanie. Sentuhan mereka sangat menyejukkan dan menenangkan hati.
            Tubuhku semakin lemah, bahkan tak kuasa lagi untuk membuka mata. Tapi, aku tetap bahagia, karena masih bisa merasakan kasih sayang mereka. Masih bisa mendengar tangisan ibu, panggilan jagoan dari ayah dan masih bisa mendengar cerita pahlawan dari Sthefanie.
Tangisan ibu semakin nyaring, ayah pun terdengar menangis. Sthefanie berkali-kali menggoncang tubuh dan memanggil namaku.

          Sebuah pintu  telah terbuka di depan mataku. Aku begitu takjub dengan keindahan di dalamnya. Perlahan semilir angin lembut nan harum  membelai-belai tubuhku sehingga terasa ringan dan melayang.  Menuju ke sebuah dunia baru yang sangat indah dan lebih indah dari yang selama ini kuharapkan. Ayah, ibu, Sthefanie berhentilah menangis! Aku baik-baik saja.


Subscribe to receive free email updates:

1 Response to "Tiga Dunia"

Tinggalkan jejakmu di sini :)
Maaf, mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar. Thanks.