“Assalamu ‘alaikum,
sayang. Apa kabar pagi ini?”
Setiap pagi
mereka selalu menjenguk dan menyapaku di sini. Aku selalu terhibur dengan
kedatangan dan sapa mereka. Jika mereka pergi, sepi langsung saja menyergap dan
waktu terasa merangkak terlalu pelan. Setiap hari, aku selalu merindukan
datangnya pagi. Aku merindukan kedatangan dan sapa hangat mereka.
Setiap datang dan
pergi mereka selalu menciumku, tapi ciuman itu tak pernah kurasakan langsung.
Aku dan mereka ada sekat tipis yang menghalangi kami. Aku hanya merasakan kehangatan melalui
imajinasi belaka. Lama-lama aku menjadi bosan, dan ingin keluar dari tempat
ini. Aku ingin merasakan sentuhan langsung tangan dan ciuman kedua orang tua
dan kakak perempuanku.
Jika mereka
datang, aku merengek-rengek agar bisa ikut mereka. Aku ingin tinggal bersama
mereka, tapi kenapa mereka tak pernah mengabulkannya. Mereka selalu berkata, “Di
luar sana banyak sekali musuh yang selalu mengintai dan siap menyerang,
sementara dalam diriku tidak mempunyai kekuatan untuk melawan semua itu.”
Siapa yang akan
menyerang? Aku tak mengerti. Kalau mereka bisa, kenapa aku tidak bisa? Bukankah
aku juga seperti mereka? Memiliki fisik yang sama dan bukankah aku anak mereka?
Itu artinya aku juga seperti mereka.
Mereka selalu datang
dengan membawakan mainan dan makanan kesukaanku, bahkan mereka menyediakan
televisi agar aku betah tinggal di sini. Tetap saja, keinginanku untuk tinggal
bersama mereka tidak pernah padam.
Kini jamnya Briel
datang dan masuk ke dalam ruangan
membawakan makanan dan pakaian. Tangannya selalu memakai sarung, sehingga kami
tak pernah bersentuhan kulit, walaupun semua urusan melepas dan ganti baju
adalah dia. Katanya dia yang mengasuhku sejak aku lahir.
Setiap makanan
dan barang yang akan dimasukkan ke ruanganku, selalu harus melewati serangkaian
pemeriksaan dan penyetrilan. Briel mengatakan, “Agar tidak ada kuman yang
menyusup dan menyerang tubuhku.”
Ada apa ini?
Bukankah tubuhku dengan mereka sama? Mungkinkah ini akal-akalan mereka saja?
Entah kenapa, aku tergoda
menyembunyikan garpu tanpa sepengetahuan Briel.
Setelah dia pergi, langsung saja aku
ber-aksi dengan menusuk-nusuk ujung garpu ke dinding tipis itu. Walaupun tipis,
transparant dan kelihatannya lentur, ternyata dinding itu cukup kuat. Aku
semakin penasaran dan terus saja menusuk-nusukkan garpu itu dengan sekuat tenaga. Dan blash,
akhirnya berhasil. Langsung udara sejuk menerubus dicelah-celah lubang kecil akibat
tusukan garpu. Aku semakin senang dan kembali menusuk-nusuk dinding itu. Tiba-tiba,
huaasin. … haha, aku bersin. Aku pernah lihat ibu bersin. Haha … lucu sekali.
Tiba-tiba saja ada yang datang. Ia
terkejut sekali melihat tanganku memegang garpu dan gelembung yang mulai
mengempis. Bergegas dia memencit bel merah yang mengeluarkan bunyi yang
menjerit-jerit dan hanya dalam hitungan beberapa detik berdatanganlah
orang-orang dengan wajah panik.
Barkali-kali aku bersin, tapi aku
menyukainya. Terlebih lagi melihat wajah-wajah panik mereka, seakan-akan aku menemukan
permainan baru dan seru. Satu orang langsung mengisolasiku ke ruangan lain dan
yang lainnya sepertinya memperbaiki gelembung itu. Aku tak bisa berhenti
tertawa.
Tak lama aku dikembalikan lagi ke
ruangan semula dengan penjagaan semakin ketat. Ah membosankan, ada apa ini?
Memangnya aku ini siapa?
Kebosananku berkurang, karena mereka
mendatangkan beberapa orang secara bergiliran untuk mengajariku membaca,
menulis dan mengenal berbagai hal. Dengan belajar, aku semakin mengenal dunia
luar dan keinginanku untuk merasakan indahnya dunia luar semakin kuat.
Beberapa bulan kemudian, mereka
mendatangkan baju yang sangat lucu. Bukankah ini pakaian astronot, seperti yang
pernah aku lihat di televisi? Katanya, dengan baju ini aku bisa keluar dari
ruangan ini. Ah, sepertinya menyenangkan sekali.
Benar saja, aku bisa keluar
menjenguk rumah orang tua, bahkan dibolehkan tidur sekamar dengan kakak
perempuanku. Mereka penyayang sekali. Aku juga bisa bermain-main dengan
anak-anak seusiaku. Aku cukup bahagia, walaupun masih belum bisa merasakan langsung
sentuhan hangat mereka.
Waktu telah berlalu dan begitulah
terus keadaanku. Sepuluh tahun sudah usiaku. Dan aku mulai mengerti kenapa harus
tinggal di gelembung ini. Katanya aku mempunyai penyakit kelainan timus atau
gangguan sistem kekebalan tubuh. Aku tidak mempunyai sistem pertahanan dalam
tubuh dari serangan makhluk-makhluk tak kasat mata seperti bakteri, virus,
parasit dan mikroorganisme lainnya. Dan aku baru tau, kakak laki-lakiku hanya
bertahan beberapa bulan karena memiliki
penyakit yang sama. Jadi aku beruntung sekali, karena usiaku sudah sepuluh
tahun.
Sejak itu aku mulai bersabar tinggal
di gelembung ini, beruntungnya mereka membolehkan aku keluar atau pulang ke
rumah orang tuaku walaupun hanya sebentar dan tetap memakai baju ala astronot.
Sthefanie, sosok kakak perempuan
yang sangat penyayang, sehingga aku selalu merindukannya. Ia selalu bisa
memotivasi dan menghiburku. Katanya, aku harus bisa menjadi laki-laki yang tabah
dan menginspirasi walaupun dengan segala keterbatasan. Walaupun seumur hidupku
harus hidup di dalam gelembung.
Kata dokter dengan tranplantasi
tulang sumsum dari orang lain, aku bisa hidup normal. Pada usiaku 12 tahun, Sthefanie ingin mendonorkan tulang sumsumnya. Aku sudah
berusaha mencegah Sthefanie, tapi dia berkata, “Tenang saja, aku masih bisa
hidup dengan normal. Walaupun nanti dengan kondisi keterbatasan, aku sudah
cukup bahagia dengan usiaku sampai menginjak remaja. Dan aku akan bahagia, jika
adik yang kusayangi bisa merasakan kebebasan dan indahnya dunia luar.”
Langsung saja aku memeluknya dengan
tangisan yang menderu. “Mungkinkah akan berhasil, setelah dengan pengorbanan
kakak yang begitu besar?”
Dia melepaskan pelukannya dan
menatap mataku. “Kita harus mencoba. Jika berhasil, itulah harapan kita. Jika
tidak, kakak sudah bahagia karena pernah memberimu sesuatu yang sangat
berharga.”
“Kakaaak.” Kembali kami berpelukan
dengan tangisan bahagia dan penuh harapan.
Operasi tranplantasi tulang sumsum telah
dilakukan. Aku masih tinggal di dalam gelembung sambil harap cemas menunggu
hasil dari operasi.
Entah kenapa tiba-tiba badanku panas
dan diare. Tubuhku semakin lemas karena kekurangan cairan. Akhirnya para dokter
mengeluarkanku dari gelembung dan menempatkan di ruangan isolasi yang terjaga kesetrilannya.
Ayah, ibu dan Sthefanie terus saja
menjagaku bergiliran. Penyakitku tak kunjung sembuh bahkan penyakit lain yang cukup parah kini menyerang. Walaupun
mereka tak menjelaskan semua itu padaku, tapi aku bisa melihatnya dari tatapan
mata mereka. Kondisiku semangat memprihatinkan.
Namun di sinilah, aku merasakan
kebahagiaan yang luar biasa. Akhirnya bisa merasakan sentuhan kasih sayang
ayah, ibu dan Sthefanie. Sentuhan mereka sangat menyejukkan dan menenangkan
hati.
Tubuhku semakin lemah, bahkan tak
kuasa lagi untuk membuka mata. Tapi, aku tetap bahagia, karena masih bisa
merasakan kasih sayang mereka. Masih bisa mendengar tangisan ibu, panggilan
jagoan dari ayah dan masih bisa mendengar cerita pahlawan dari Sthefanie.
Tangisan ibu semakin nyaring, ayah
pun terdengar menangis. Sthefanie berkali-kali menggoncang tubuh dan memanggil
namaku.
Sebuah pintu telah terbuka di depan mataku. Aku begitu
takjub dengan keindahan di dalamnya. Perlahan semilir angin lembut nan harum membelai-belai tubuhku sehingga terasa ringan
dan melayang. Menuju ke sebuah dunia
baru yang sangat indah dan lebih indah dari yang selama ini kuharapkan. Ayah,
ibu, Sthefanie berhentilah menangis! Aku baik-baik saja.
Ah, aku jadi sedih bacanya
ReplyDelete