Cukup lama aku mematut dalam cermin di kamar. Mencoba mengenakan
jilbab langsung pakae cadar.
“Ga jelek. Cantik malah,” gumamku dalam hati. Tepatnya aku menguatkan hati, untuk
mengenakan cadar. Namun, tiba-tiba wajah di cermin itu berubah murung. Masih
banyak pikiran buruk berkelabat mengganggu pikiran. Di antaranya, orang-orang
akan heran melihaku jika tiba-tiba aku keluar pakai cadar.
Keinginan bercadar terbit setelah membaca buku FIKIH WANITA
karya Syeikh Muhammad Jamal. Di buku itu menjelaskan pendapat Mazhab Imam
Syafi’e mewajibkan menutup muka, sedangkan Imam Hanafi, hanya memustahabkan,
dan mewajibkan jika itu bisa mengundang fitnah. Tak banyak alasan yang dapat kuberikan
pada diriku sendiri. Aku hanya ingin Tuhanku senang pada diriku. itu saja! Tapi,
kapan? Entahlah!
***
“Eh, tadi aku lihat si Zakiyah sekarang pakai cadar lo. Cantik.”
Kuletakkan dagu di atas kedua tangan yang bertupang di atas
meja. Cerita Yuli mengingatkan keinginanku lama yang tak terpenuhi.
Bercadar. Bagiku cantik tak cantik, bukan lah penghalang atau pun tujuan. Aku
hanya ingin mentaati Robbku.
Beruntung sekali ya dia. Aku kapan ya?
“Hah... jangan pakai pakaian yang aneh!”
Aku kaget mendengar suara cetus mamaku. Rupanya tadi aku telah
menyuarakan isi hatiku.
“Aneh gimana, Ma?” tanyaku pada mama.
“Ya, aneh. ini Indonesia Azizah, bukan Arab!” Mama menekankan
lebih suaranya. Rupanya mama tak suka dengan jalan pikiranku.
“Iya, tapi kan, bercadar itu ada dalam agama. Dalam kalangan
para ‘ulama ada yang mengatakan menutup muka itu mustahab, artinya sangat di
anjurkan. Bahkan ada yang mewajibkan, Ma. Jadi di mana pun kita bisa
memakainya, Ma. Karena cadar ada anjurannya dalam agama. Cadar bukanlah ciri
kebudayaan suatu negeri, ya.. kebetulan saja banyak yang menutup muka itu di
Arab,” jelasku panjang lebar. Aku sendiri tak yakin, apakah mama mengerti apa
yang kuucapkan. Tapi dari raut wajah beliau, sepertinya beliau berusaha
mencerna apa yang beliau dengar dariku. Sesaat kulirik Yuli, mulutnya masih
menganga.
“Tadi kamu bilang, ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa
menutup muka itu mus… apa? Atau dianjurkan, itu artinya tidak berdosa jika
tidak mengamalkan!” kata Mama.
Aku hanya mengangguk, “Tapi, apa salahnya kan kita melakukan
keutamaan tersebut,” kataku melunak. Aku berharap mama menyetujui pendapatku.
Jika beliau menyetujui, langkahku akan semakin ringan karena ada yang
mendukungku.
“Ah, nanti sajalah, setelah menikah. Kalau sekarang, nanti malah
tak menikah-menikah karena tak ada laki-laki yang suka padamu,” tukas mama
sambil berlalu meninggalkanku.
Kupandangi punggung mama dengan kepasrahan. Dengan tidak
setujunya Mama, langkahku terasa semakin berat. Kulirik Yuli, sepertinya dia
masih syok dengan pendapatku. Melihat ekspresi Yuli, aku merasa benar-benar
sendiri di dunia ini.
Ah… rupanya, jika kita hanya memikirkan pendapat manusia, tidak
akan ada habisnya. Dan kita tidak akan bisa mengambil keputusan yang finish.
Bantu aku, ya Allah.
***
“Wajah adik cantik sekali.” Kurebahkan kepalaku di pangkuan
laki-laki itu. Laki-laki yang baru saja menikahiku. Ada rasa senang dengan
kebiasaannya padaku. Suamiku sangat suka membelai rambut dan memandang wajahku,
dan aku pun menikmatinya. Di sisi lain, aku mulai menyadari bahwa dalam diri
laki-laki ada rasa suka dan senang terhadap wanita.
Yang jadi pikiranku sekarang, adakah juga laki-laki yang suka
memandang wajahku? Astaghfirullah. Ampuni aku ya Allah, ternyata wajah ini bisa
saja menjadi fitnah bagi laki-laki lain, selain suami dan laki-laki mahramku.
“Apakah Adik, ada niat memakai cadar?”
Mataku langsung terbuka mendengar pertanyaan suamiku. ada
secercah harapan muncul lagi dalam hatiku. Kutatap lurus-lurus matanya. Tapi…
“Belum?” jawabku asal. Perkataan yang sebenarnya ingin ku
ucapkan, ‘Ada, bahkan sejak lama, mau kan Kakak membantuku?” Namun, kata-kata
itu aku tahan karena aku masih belum mengenal jauh siapa suamiku. Aku takut dia
malah tak menyetujuinya.
Mukanya menengadah, alisnya berkerut. Bertanda dia sedang
berpikir. Kutatap wajahnya dengan masih menyimpan harap.
“Begitu,” katanya datar, diam sesaat, lalu berkata, “besok kita
silaturrahmi ke keluargaku, ya? Di Balangan.”
Tiba-tiba saja semangatku menguap. Aku sangat kecewa. Kenapa dia
tiba-tiba mengalihkan pembicaraan. Apakah dia juga tak sependapat denganku. Aku
kecewa sekali. Nyeri, rasanya ingin menangis saking nyerinya. Kekecawaanku kali
ini, lebih kecewa pada saat pelarangan mama kemarin. Suamiku adalah harapan
terbesar dan terakhirku. Ya Allah, bantu aku.
“Lo, Adik, kenapa mukanya dipolesi kosmetik?” tanya Mas Rahman,
suamiku heran.
“La, biasanya kan saya memang selalu pakai ini. Mas selalu
melihatnya, kan?” tanyaku protes.
“Iya, itu kan di rumah! Di rumah memang dianjurkan wanita
bercantik demi suami. Kalau keluar rumah itu beda lagi. Malah ga boleh karena akan
di lihat banyak laki-laki,” katanya sambil merangkul pundakku menuntunku ke
kamar.
Kenapa tidak suruh saja, istrimu yang cantik ini pakai cadar?
Dia hanya tersenyum, melihat ekspresi sewotku, dan menyerahkan
sebungkus kapas.
“Ini, bersihkan dulu, ya. Kalau bisa di percepat nanti kita kemalaman!”
***
“Sepertinya mereka mengikuti kita?” kataku agak cemas. Entah
sejak kapan, tapi aku merasa motor yag dinaiki dua pemuda itu mengikuti kami.
Suasana jalanan yang sepi membuatku semakin cemas.
“Sepertinya begitu,” jawab suamiku.
“Tapi.. kelihatannya tidak mencerminkan mereka orang jahat.”
Motor itu sudah beriringan dengan motor kami. Sempat kulihat
satu di antara mereka tersenyum padaku. Hatiku mulai was-was. Cara senyum
mereka… seperti… suamiku. Tidakkah mereka melihat aku bersama suami? Apakah
karena wajahku tanpa polesan sehingga mereka menyangka dia bukan suamiku? Entahlah.
“Pegang yang erat!”
Belum sempat ku bertanya, tiba-tiba saja Mas Rahman mulai
melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Jalannya mulai perlahan ketika kami
merasa sudah sangat jauh dari motor dua orang pemuda tadi. Sepanjang perjalanan
aku hanya diam. Pikiranku benar-benar tak karuan. Rasa bersalah telah
menyergapku. Aku tak bisa melupakan cara tatapan laki-laki tadi.
***
“Lo, ini bidadari dari mana?” celutuk Mas Rahman ketika
melihatku yang mengenakan purdah. Purdah yang kuselipkan diantara pakaian dalam
tas kami, diam-diam purdah ini selalu menemaniku dalam setiap perjalanan.
Ekspresi wajahnya yang kulihat dari bayangan cermin, benar-benar membuatku
salah tingkah.
“Ayolah, jangan memandangku seperti itu,” rengekku manja. Orang
bilang wanita itu memang selalu manja di depan suami. Entahlah. Yang ku tau,
saat ini hanyalah ingin menutupi rasa canggung, malu, kikuk, takut, dan entah
apalagi. Aku masih tidak tau harus bagaimana jika keluar dari kamar ini.
Bagaimana menghadapi keluarga Mas Rahman yang masih belum terlalu akrab
denganku. Bagaimana respon mereka. Tapi aku harus memulainya.
Aku tercengang, tiba-tiba saja dia menarik lembut tanganku dan
namun dalam sekejap tubuhku sudah ada dalam pelukannya. Walaupun sudah beberapa
hari menikahiku, dan ini bukan pertama kalinya ia memelukku, tapi aku merasakan
keanehan dalam pelukannya kali ini. Aku masih belum mengerti.
“Aku bahagia sekali, Dik,” lirihnya pelan. Ia menyandarkan
dagunya di atas kepalaku. “Allah telah memberiku seorang bidadari yang
shalehah.”
Mas Rahman melepaskan pelukannya. Tangannya masih memegang tanganku. Ia melepaskan nafasnya keras-keras, seakan-akan baru saja bisa bernafas. Aku melihat kebahagiaan dari siratan matanya. Aku tak bisa menghindari tatapannya.
“Saat ta’aruf, aku terpesona dengan wajahmu. Itu di antaranya
yang membuatku ingin menikahimu semakin mantab. Namun, bersamaan dengan itu
pula, ada rasa cemburu dalam hatiku. Aku tak suka laki-laki lain juga memandang
wajahmu. Terlebih lagi saat kau jadi istriku, kecemburuanku semakin kuat. Aku
ingin sekali memintamu memakai cadar. Namun, keinginan itu aku tahan. Aku
tak ingin aku menyuruhmu hanya disebabkan cemburu, dan juga tak ingin kau
memakainya hanya karena ingin mematuhiku. Aku ingin kau memakainya, murni dari
panggilan jiwamu, dan hari ini Allah telah mengabulkan keinginanku.”
Giliranku yang membenamkan diri dalam pelukannya. Aku tak bisa
berkata apa-apa, namun aku merasa lega sekali, beban yang selama ini aku pendam
menguap begitu saja. Berganti dengan kebahagiaan. Ternyata Mas Rahman sangat di
luar dari dugaanku.
“Semuanya sudah siap? Kita pulang, ya!”
Perlahan kulepaskan pelukannya. Tiba-tiba keraguan mulai terbit
lagi.
“Kenapa?”
“Hmmm… Bagaimana dengan keluarga Mas?”
“Oh, itu.. Tak apa. Kurasa mereka juga kenal siapa aku, jadi kurasa
mereka tidak heran dengan penampilan istriku.” Gaya bicaranya membuatku
seakan-akan baru jatuh cinta.
Aku hanya mengangguk dengan tersenyum.
“Ayo..”
Kusambut uluran tangan Mas Rahman. Ah... seperti orang pacaran
saja.
“Ada apa lagi?” tanya Mas Rahman heran dengan sikap yang
tiba-tiba menghentikan langkahnya.
“Bagaimana dengan keluargaku?” Aku tak bisa menyembunyikan
kekhawatiranku.
“Aku akan selalu mendukungmu,” jawabnya dengan meyakinkan. “Kita
berdoa saja, mudahan mereka memakluminya, atau bahkan mereka pun mengikuti
jejakmu.”
“Aamiin.”
“Nek, kami pulang dulu, doakan kami ya, Nek. Mudahan pernikahan
kami berkah.” Mas Rahman duduk bersimpuh dan menyelami tangannya neneknya yang
sudah keriput. Aku mengikutinya.
Nenek mengangguk dengan seulas senyum.
“Hati-hati di jalan, ya,” pesan nenek tersenyum. Walau tak dapat
menutupi ekspersi kekagetan yang beliau rasakan. Aku memahaminya.
“Iya, Nek, insya Allah.”
Mas Rahman menjalankan motornya dengan sangat perlahan, padahal
hari sudah mulai gelap. Entah apa maksudnya, aku memutuskan untuk tidak
mengganggu dengan berbagai pertanyaan dalam perjalanan yang menyenangkan ini.
Kudekap erat pinggangnya dan kusandarkan kepala di atas bahunya. Aku merasakan
bahagia yang luar biasa. aku merasa nyaman keluar rumah dengan pakaian seperti
ini.
0 Response to "AKU INGIN BERCADAR"
Post a Comment
Tinggalkan jejakmu di sini :)
Maaf, mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar. Thanks.