DESEMBER DAN GADIS BERGAUN MERAH JAMBU

Oleh: Anggarani Ahliah Citra


Ve termenung di dipan panjang  yang berada di teras depan rumahnya. Rumah Ba'anjung yang terbuat dari kayu dengan atap yang membubung tinggi. Lama sekali ia kehilangan suasana seperti ini, terlepas dari kebisingan kota, memberikan ruang pada diri untuk melepaskan penat.

"Apa nang nyawa pikirakan, Ve?"[1]

"Kadada, Ma. Ulun handak manikmati malam ni ja."[2]

Ve tersenyum, lalu menghampiri dan merebahkan kepala dalam naungan bayangan wanita yang telah melahirkannya.

"Maafkan ulun, Ma. Ulun sangat menyasal."[3]

"Sudahlah, nyawa masih anum. Jalan nyawa masih panjang."[4]

Mereka berdua terdiam, menikmati kebersamaan diiringi irama jangkrik yang bersahutan.

Ve larut dalam suasana. Ia tak menyangka akan menghabiskan hari-hari di penghujung tahun seperti ini. Kembali ke sebuah desa yang telah lama ditinggalkan, mencari perlindungan dari kesalahan-kesalahan fatal yang ia perbuat saat tinggal di Ibu Kota. Ia menarik napas panjang, menatap malam, mencoba menikmati pelarian dalam hidupnya.

~O~

Seorang gadis bergaun merah jambu terdiam, hampir tiga jam ia berada di belakang meja tamu sebuah kafe. Menu yang telah ia pesan untuk kedua kalinya hampir tak tersentuh. 
Ia menatap layar ponsel yang bergetar dalam tasnya.

"Maaf, aku tak bisa datang."

Gadis bergaun merah jambu pun keluar dari kafe setelah menutup ponsel dan membayar menu pesanannya. Ia berjalan, menyusuri taman yang menjadi penghubung kafe dan apartemen tempat tinggalnya.

Taman kota itu tak pernah mati. Selalu ramai muda-mudi kota Jakarta yang bercengkrama. Gadis itu duduk di salah satu bangku taman dan kembali termenung, beberapa kali artis dadakan penghuni taman kota menghampirinya, berharap  recehan dengan  memberi sedikit hiburan. Tapi bagi gadis bergaun merah jambu, malam ini tetaplah hening.

Rasa carut marut bergemuruh. Ia sadar bahwa penantian yang ia lakukan tak berujung. Rasa yang tabu  itu telah mengikatnya begitu erat, hingga menyesakkan dada. Ia sadar sepenuhnya bahwa hanya dirinya yang sanggup melepaskan, pergi menjauh, dan berpaling dari semua masalah yang ia ciptakan.

Pandangan gadis itu tertuju ke langit. Ia berharap dapat kekuatan yang mampu membuatnya berpaling. Tapi sayang, bulan dan bintang tetap terdiam. Dan akhirnya gadis itu memutuskan meninggalkan taman, kembali ke apartemen miliknya. Bukan! Milik lelaki yang selama ini dinantinya.

Sesampainya di kamar ia berbaring, berharap lelah terlepas dan berpindah pada ranjang di kamarnya. Tapi percuma, ranjang ini terlalu besar untuk tidur sendirian. Tanpa tubuh itu, tubuh yang sanggup memberinya kehangatan dalam dekapan, yang aromanya selalu tersebar ke seluruh ruangan walau tubuh itu tidak ada di sana.

Tak lama ponsel gadis bergaun merah jambu kembali bergetar. Sebuah nama lelaki yang selalu dinantikan tertera di layar. Ia segera menyapa dengan penuh semangat. 

"Ya, Kak ...."

"Jauhi suamiku!"

Sambungan ponsel tertutup. Gadis bergaun merah jambu sama sekali tak menduga bahwa suara seorang perempuan yang keluar dari ponsel itu. Suara perempuan yang sebentar itu berhasil  merusak segala khayalnya.

Tidak! 
Gadis bergaun merah jambu itulah perusak ikatan suci yang telah terjalin puluhan tahun antara wanita pemilik suara di ponsel itu dan lelaki yang selama ini memenuhi segala kebutuhannya. 

Hingga kini, akhirnya gadis bergaun merah jambu tersiksa karena rindu yang setiap hari menjeratnya, rasa rindu yang ia bawa terlelap   malam ini.

Matahari telah terbit. Bel pintu berdering tanpa henti membuatnya bangun. Masih dengan gaun merah jambu dan juga make up yang lengkap, gadis itu berjalan menuju pintu.

'Akhirnya kau datang juga, Kak,' batinnya berseru gembira.

Senyumnya merekah indah, tangannya segera menyambar daun pintu. Ia ingat betul bahwa wajah bangun tidurnyalah yang sangat disuka oleh laki-laki yang dinantikan.

"Ve, Sang Sekretaris!"
Seorang wanita cantik penuh wibawa berdiri di depan pintu. Melangkah masuk tanpa peduli pemilik rumah yang masih tercengang.

"Kau menikmatinya bukan? Apartemen mewah, pakaian indah, dan fasilitas lainnya."

Tak ada kata yang sanggup keluar dari lisan gadis bergaun merah jambu. Ia tetap terpaku di dekat pintu. Wanita cantik berwibawa itu berjalan berkeliling ruangan sambil sesekali berkomentar sinis, sesaat wanita berwibawa itu berhenti di depan lukisan, memandangnya sebentar lalu kembali mengelilingi gadis bergaun merah jambu.

"Kalian berdua sungguh serasi. Apakah ini takdir? Entahlah, aku sendiri tak mengerti. Tapi, harus kau ketahui, Ve. Aku adalah wanita yang terlahir sempurna. Apa pun yang kuinginkan selalu ada, tapi kini,  kau merusak segalanya. Kau kira dapat merebut lelakiku semudah itu?"

Secepat kilat wanita berwibawa itu menarik rambut dan menyodorkan pisau dari dalam tas ke leher gadis bergaun merah jambu  dengan penuh dendam.

~O~

"Guringlah, Ve. Sudah jauh malam."[5]

"Ulun masih handak bagana di sini, Ma. Ulun karindangan wan desa ni wan pian."[6]

Malam semakin larut, angin mengiringi daun bersenandung. Malam-malam seperti ini sering ia lewati, dulu, sebelum ia berangkat menuntut ilmu hingga bekerja ke kota. Belajar mengaji selepas maghrib, berselawat bersama, sesekali belajar tari japin bersama sampai terlelap melepas lelah dalam pangkuan ibunya. 

"'Caka ulun mandangari nasehat pian, Ma. Tentu ulun masih bagana di sini, mangawani masa tuha, mengajari kakanakan mangaji wan maurus melati di belakang rumah kita. Kawa juakah waktu baulang pulang."[7]

Ve merasakan keningnya dibelai lembut. Ia melirik jam tangan yang ia kenakan. 

"Sudah masuk sepertiga malam, Ve. Kita manggawi tarus. Nyawa masih ingat kan?"[8]

Ve mengangguk, ia bangun dan melangkah menuju pancuran air di samping rumah. Dipan panjang itu menjadi saksi kepasrahan seorang hamba yang tenggelam dalam sujud panjangnya hingga subuh menjelang.

Matahari mengintip, memberikan siluet indah Kota Seribu Sungai. Dari kejauhan terdengar derap langkah menyusuri jalan setapak yang tak dapat dilalui kendaraan. Beberapa regu pasukan berseragam mengepung rumah panggung lengkap dengan persenjataannya.

"Saudari, Ve. Keluar! Anda ditahan atas tuduhan pembunuhan! Ikut kami!"

Ve menyerahkan tangannya yang langsung dilingkari gelang oleh seorang polisi wanita. Ia tertunduk pasrah lalu berjalan meninggalkan halaman rumah diiringi pandangan bayangan putih yang menemaninya semalam, bayangan yang selalu berharap gemintangnya tak lagi lesap dan kembali sadar, agar mengirimkannya doa-doa hingga tiba hari kebangkitan.

~O~

Seorang pengusaha berada di belakang meja kerjanya pagi hari. Pandangannya terpaku pada headline sebuah berita on line. Sebuah berita menuliskan tertangkapnya seorang buronan wanita dalam rumah tua yang telah lama kosong, di desa terpencil di sebelah selatan daerah  Kalimantan saat tahun baru menjelang.

"Aku yakin kau hanya membela diri, Ve. Tapi aku juga tak dapat membantumu, aku tak bisa mengorbankan reputasiku. Dan juga reputasi keluarga besar almarhumah istriku yang telah terbunuh olehmu."


~~END~~

[1]. "Apa yang kaupikirkan, Ve?"
[2.] "Tak ada, Bu. Aku hanya menikmati malam ini.”
[3.] "Maafkan aku, Bu. Aku sungguh menyesal."
[4.] "Sudahlah, kau masih muda. Jalanmu masih panjang."
[5.] "Tidurlah, Ve. Sudah larut."
[6.] "Aku masih ingin di sini, Bu. Aku rindu desa ini, dan juga sangat merindukan dirimu."
[7.] "Andai saja aku menuruti nasehatmu, Bu. Tentu aku akan tetap berada di sini, menemani masa tua, mengajar anak-anak mengaji dan juga mengurus taman melati di belakang rumah kita. Dapatkah waktu itu terulang, Bu?"
[8.] "Sudah masuk sepertiga malam, Ve. Kita selalu melakukannya bersama. Kau masih ingat bukan?"



Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "DESEMBER DAN GADIS BERGAUN MERAH JAMBU"

Post a Comment

Tinggalkan jejakmu di sini :)
Maaf, mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar. Thanks.