PEMBELAH DADA DI KWITANG
oleh. Patrianur Patria
Bagaimana cara menceritakan tentang kekasih hati yang membuatku jatuh cinta sejak pandangan pertama?
Gagah, tampan, digilai para gadis.
Sebenarnya bukan cuma itu kelebihannya. Tapi, tiga hal itu saja sanggup membuatku bertekuk lutut.
Beruntung benar diriku yang biasa-biasa ini dapat bersanding dengannya. Memang ada sih yang mengatakan hal-hal buruk tentang dia. Tapi manalah aku percaya omongan yang keluar dari mulut orang-orang yang mencemburui kebersamaan kami.
Ia bilang mencintaiku apa adanya. Ia juga mampu melihat bintang besar bersinar terang, yang telah lama tersimpan rapat dalam hatiku. Sungguh, aku pun sangat mencintainya.
Sampai suatu hari ia menatapku lekat-lekat dan mengatakan sesuatu yang membuatku tertegun.
"Bolehkah kuminta bintang hatimu, Aura?"
"Untuk apa?" Tanyaku dengan senyum yang menggagap.
"Aku ingin seluruh dunia melihatnya."
"Ah, tak usah lah, Ay. Dunia tidak harus tahu tentang hal itu." Aku mengelak dengan manis, meski sebenarnya aku tak akan menolak bila ia menginginkan satu-satunya bintang yang berada di hati kecil ini.
Ia pun terus memaksa. Menatapku dengan kilat mata yang dalam. Dan aku, menyerah.
~~000~~
Di salah satu sudut simpang lima, di antara Jalan Senen Raya dan Jalan Kwitang Raya, tak jauh dari Terminal Senen toko-toko buku berjejer, para pedagang yang menyambut para pengunjung tak segan mencarikan buku apa saja yang hendak dicari.
"Si Parasit Lajang, Gema Tanah Air, dan Sekayu."
Kami duduk di bangku kecil yang disediakan, sementara pedagang tadi mencarikan buku yang baru saja disebut oleh kekasihku. Bukan sekali atau dua kali kami menghabiskan waktu di sini. Berburu buku-buku materi kuliah atau pun buku-buku langka untuk selingan penghilang penat.
Wajahku pias, angin dingin tiba-tiba menerpa membuat semua urat wajah kaku. Angin dingin itu berasal dari sebuah tatapan lembut yang dilontarkan kekasihku. Rasa kaku itu semakin merambat menuju leher hingga ke dada, membuat jantungku pun berhenti berdetak.
"Bintang dalam dadamu bahkan lebih terang dari sinar matahari."
Aku tersenyum mendengarnya. Pedagang makanan dan minuman gerobak yang berada di dekat kami pasti merasa aneh melihat wajahku saat ini.
Kekasihku menghampiri salah satu pedagang makanan, tak lama ia kembali, berlutut di hadapanku, memperlihatkan pisau yang baru saja ia pinjam.
"Aku sangat menginginkan bintang itu."
Kekasihku mengarahkan pisau itu, lalu ia tancapkan ke dada, menembus kemeja, kulit, daging juga tulangku.
"Pisau yang tajam," ujarku yang hanya dijawabnya dengan seulas senyum.
Pisau mulai menembus semua lapisan daging di dada, membuat goresan, menyayat, hingga membentuk sebuah lubang. Rasa cintanya adalah penghilang sakit bagiku.
Ia memasukkan tangannya ke dalam lubang yang telah ia buat. Ada sebentuk rasa aneh berdesir, pelan-pelan ia mengeluarkan hatiku teriring seberkas sinar menyilaukan, hingga kami sama sama memicingkan mata.
"Berhasil! Aku mendapatkannya!"
Jeritannya membuatku tersenyum. Ia mengangkat sebongkah hati segar berlumuran darah yang baru saja keluar dari dadaku.
"Kau lihat? Daerah kwitang menjadi semakin terang benderang."
Kekasihku buru-buru membungkus hati itu dengan selembar kain hitam.
Tapi sinar hatiku tetap terang-benderang. Ia pun membungkusnya berkali-kali lalu memasukkannya ke dalam kotak kayu hitam yang ia bawa dalam tas.
"Terima kasih, Aura."
Ia tersenyum puas lalu duduk di sebelahku sambil memeluk kotak hitamnya erat-erat. Aku terharu. Ia menjaga hatiku dengan sungguh-sungguh.
Waktu bergulir, hingga tak terasa kami berada di sini sampai senja hampir menguning.
"Aku telah mendapatkan hatimu, kini aku harus segera pulang."
Ia bangkit, lalu berjalan pergi. Aku mengeryitkan alis, ada sesuatu yang ganjil.
Beberapa langkah, kulihat seorang gadis menghampirinya tanpa kutahu arah datangnya. Kekasihku tersenyum lalu menyerahkan kotak kayu berisi hati milikku. Gadis itu terlihat terkejut, tapi wajahnya terpancar rona bahagia. Gadis itu menerima kotak dan memeluknya. Mereka pergi menjauh sambil bergandengan tanpa peduli padaku.
Aku tertegun, tanpa sadar kuikuti mereka. Tapi hanya beberapa langkah, aku kembali terduduk, ada rasa nyeri yang menjalar ke seluruh tubuh. Sepertinya aku butuh obat penahan sakit. Sekarang.
Perlahan kusentuh dada.
Aku menunduk, kulihat sebuah lubang yang berukuran sangat besar.
Kosong.
Melompong.
Hampa.
Entah bagaimana cara untuk menutupnya kembali.
"Neng, ini buku-buku yang tadi dipesan."
~END~
0 Response to "PEMBELAH DADA DI KWITANG"
Post a Comment
Tinggalkan jejakmu di sini :)
Maaf, mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar. Thanks.