Judul : Dari Warung Jablai ke Selat Bosphorus (Kumpulan cerpan dan kisah handap)
Penulis : Ewin Adhia dan
Hatmiati Masy’ud
Penerbit : Tuas Media.
Tahun 2016
Hal : 165
Melalui buku ini, kita bisa mengetahui banyak lokasi,
budaya, kehidupan, dan cara pandang orang Banjar Umumnya.
Di awalinya dengan cerpen olahan Ewin Adhia. Memang
tokoh-tokohnya berasal dari Banjar, akan
tetapi, Ewin juga mengajak kita menengok ke berbagai belahan dunia lainnya, seperti
Somalia, salju Mongolia, pasir gunung Sinai, sekilas kehidupan di India, Mekkah
sampai Selat Bosphorus.
Alur cerita gaya penulisan Ewin cenderung santai, tapi hati-hati—endingnya
kadang membuat kita terperangah.
Salah satunya, pada judul Pertigaan di Roma (hal 35). Kisah tiga
orang bersahabat—Sari, Jannah dan Nawi, yang sama-sama mempunyai mimpi.
Nawi, yang takut pada gerobak sapi. Ia akan menutup wajahnya
di antara paha jika lonceng gerobak sapi yang lewat di depan ibunya. Nawi hanya
takut pada sapi, ia akan menjadi superhero bagi kedua sahabatnya selepas
maghrib untuk mengaji sebuah langgar di ujung kampung Lokdalam. Ia akan
berjalan di depan kedua sahabatnya, memastikan tidak ada ular atau apa saja
yang mengancam keselamatan dua sahabatnya.
Mereka berpisah ketika lulus dari sekolah Dasar. Sari meneruskan
sekolah ke Banjarbaru, tinggallah Jannah dan Nawi di kampung. Jannah dan Nawi
tergolong religius karena mereka sekolah di pesantren. Sari digambarkan dengan
sosok yang berbeda dari keduanya. Sari datang dengan celana jeans yang ketat,
kemeja yang menunjukkan belahan dada dan rambut sebahu berwarna cerah.
Kehangatan persahabatan masih terlihat ketika sudah beranjak
remaja bahkan menunjukkan di hati mereka tersimpan rasa cinta. Baik Jannah atau
Sari kepada Nawi, dan Nawi pun tak bisa berlepas dari pesona kedua gadis itu.
Dari awal, hanyalah menceritakan kehangatan tiga
persahabatan, hingga mereka berpisah untuk menggapai mimpi masing-masing. Jannah
memutuskan mengambil Farmasi di ITB, Nawi ke Madinah, dan Sari ke belahan Bumi
lainnya.
Tak ada satu pun yang dipilih Nawi, hingga akhirnya dia
sampai ke Roma. Di Roma inilah kita akan dibuat tercengang oleh endingnya.
Lalu kisah-kisah handap olahan Hatmiati Masy’ud. Kisah-kisah
sehari-hari yang sering terjadi dan dilakoni orang-orang Banjar. Ide cerita
tergolong biasa, namun menjadi sangat istimewa ketika dibuat cerita dengan
bahasa daerah. Cerita benar-benar terasa hidup, alami dan penuh pesona.
Salah satunya dalam cerita Pilanggur (hal : 73)
Menceritakan seorang gadis yang tergolong lambat menikah,
Mariana. Mariana diduga terkena pilanggur. Mitos yang mengakar kuat di
budaya Banjar, pilanggur dipercaya
penyebab gadis-gadis lambat menemukan jodohnya.
Umur Mariana menginjak kepala tiga. Adik-adiknya pun sudah menikah,
bahkan mempunyai anak. Namun, Mariana tetap bergeming untuk menikah, padahal
beberapa pemuda telah melamarnya, semuanya ia tolak.
Ternyata, diam-diam Mariana menunggu janji seorang pemuda. Ia
memilih diam karena ia sendiri tidak tahu akhir kesudahan penantiannya. Apakah pemuda
itu akan menepati janji menikahinya atau akan menjadi gadis selamanya hingga
benarlah dugaan orang, ia memang terkena pilanggur.
Banyak cerita yang serupa dengan pilanggur. Hanya saja,
Hatmiati mengolahnya menjadi istimewa—cerita penantian seorang gadis polos di
era zaman yang serba canggih. Bagaimana mungkin Mariana menanti tanpa mencari
kepastian, padahal jaman sekarang sangat mudah untuk mencari informasi. Tapi,
itulah keistimewaannya.
Adapun krisannya.
Ini hanyalah sebagi krisan pembaca amatiran, jadi ga usah
diambil hati.. hehe..
Gaya penulisan Ewin, menurutku tergolong berat. Ewin
seakan-akan menginginkan setiap kalimat yang dia tulis mengandung sastra dan
penuh makna. Good job… hanya saja, tidak semua pembaca tergolong pintar. Terkhusus aku yang mempunyai keterbatasan IQ,
kadang dua tiga kali, aku membaca satu paragraph agar bisa memahaminya.
Sarannya, ke depan menulisnya santai aja. Kadang aku
berpikir, jika dihemat, mungkin wawasanmu yang luas di buku itu, bisa untuk
sepuluh novel. #serius.
Untuk tulisan Hatmiati, mungkin tidak ada krisan. Hanya saja,
untuk komersil, dengan bahasa daerah, jangkauan pasarnya jadi terbatas.… hehe.. #pembacamatre.. Yang ini jangan diambil
hati.
Mengenai sampulnya. Menurut aku, ini kurang menarik karena
penampilannya yang buram. Tapi, mengingat kata Jablai dari judulnya, mungkin
buku itu mewakili gambaran warung jablai. Warung di malam hari dengan
pencahayaan yang redup… Cuma dengar-dengar sih, aku belum pernah ke
sana. ^-^
Congrats atas karyanya. Mengenal kalian berdua, salah satu
anugerah terindah untukku. Terima kasih.
0 Response to "Dari Warung Jablai ke Selat Bosphorus"
Post a Comment
Tinggalkan jejakmu di sini :)
Maaf, mohon tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar. Thanks.